Nama :
Akhmad Syaifuddin (12-11-1983)
NIM :
311020
Matakul : Sejarah Pemikiran Hadist
Tugas : Ulangan / Tes Akhir Semester
Dosen Pengap: Drs. Ma’mun Mu’min, M.
Ag.
Perkembangan
Hadis
Tahap
IV pada abad ke-18 – 19, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap
syariah. Ini memberi dampak besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat
sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian
memberikan perhatian pada aktivisme keduniaan. Pada abad ke-18 dan 19 M proses
ortodoksi ini mendorong lahirnya gerakan anti-kolonial yang merata di seluruh
kepulauan Nusantara. Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi
pada akhir abad ke-18, Wahabisme, semakin memperkuat kecenderungan pada syariat
dan fiqih. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada
tahapan ini Islam muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme.
Sementara itu proses islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan
Islam semakin mengukuhkan diri sebagai faktor inetgratif atau pemersatu bangsa
Indonesia.
Tahap
V munculnya gerakan pembaharuan (tajdid). Gerakan-gerakan keagamaan tumbuh
menjadi gerakan kebangsaan. Sebagian seperti SI (Sarekat Islam) menekankan pada
perjuangan politik, sebagian lagi seperti Muhammadiyah menekankan pada bidang
sosial seperti pendidikan dan dakwah. Islam tradisional juga bangkit, ditandai
dengan berdirinya organisasi seperti NU.
Lembaga
pendidikan tradisional, khususnya pesantren, mengalami revitalisasi dan dari
waktu ke waktu kian relevan sebagai model pendidikan alternatif di tengah
derasnya proses sekularisasi pendidikan nasional. Walaupun umat Islam tidak
berhasil menyalurkan aspirasinya dalam bidang politik sejak Pemilu 1955, namun
bangunan budayanya masih tetap utuh.
Peranan
ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga
semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan
kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam
yang telah terrsebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba
melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik
ialah : Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daud al-Fatani, Nawawi
al-Bantani, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung
menekankan signifikansi syariah dan fiqih.
Telaah-telaah
hadis bagi para ulama merupakan subjek paling penting dalam keahlian mereka. Al-Kurani
mempunyai isnad hadis melaui ‘Abd Allah Al-Lahuri (w. 1083/1672), yang
menghubungkannya dengan Quthb al-Din Al-Nahrawali, yang pada puncaknya sampai
pada Ibnu Hajar Al-’Asqalani. Mengingat betapa pentingnya kajian hadis,
Al-Kurani bahkan menegaskan, ” Aku tidak menyimpan keraguan bahwa ia (hadis)
akan abadi di atas bumi.”, Ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah
tokoh paling penting bagi tarekat, sebab beliau adalah sumber syari’at setelah
Tuhan.
Jaringan Ulama di Nusantara
Banyak
ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang mengembangkan Islam
di Indonesia. Tercatat dalam sejarah, ulama-ulama tersebut adalah Ahmad Khatib
(Minangkabau); Muhammad Nawawi (Banten); Diponegoro, Ahmad Rifa’I (Jawa
Tengah)’ Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari (Kalimantan) dimana seluruh
ulama tersebut “Mekah based” dan secara fiqih Syafiiyah. Keseluruh ulama
berpengaruh abad XIX tersebur berjuang secara lokal dan gerakannya sangat
tipikal pada saat itu, meski kemudian ada yang buah fikirannya diakui secara
nasional, bahkan internasional. Dengan mengambil kriteria-kriteria tertentu,
seperti kualifikasi keilmuan, integritas kepribadian dan keperduliannya
terhadap problema umat Islam.
Sebagaimana
jaringan ulama pada abad sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad
ke-19 pun tak bisa dilepaskan dari peran timur tengah seperti Mekah di Jazirah
Arab dan Mesir mengingat adanya keterkaitan yang erat antara pemikiran para
ulama di wilayah tersebut dengan murid muridanya dari nusantara yang belajar di
wilayah tersebut. Jaringan ulama di nusantara pada abad ke 19, tak pelak lagi
memiliki keterkaitan dengan ulama ulama di luar negeri utamanya adalah ulama
timur tengah sebagai gudang ilmu pengetahuan islam pada masanya.
Ulama
ulama pada abad 19 seperti Imam Nawawi,
Pangeran Dipongoro, Kiai Maja, Imam Bonjol, Ulama ulama gerakan paderi, Ahmad
Rifa’I, Imam Syekh Nawawi Al Bantani, Arsyad Al Banjari adalah sebagian dari
ulama ulama utama pada abad ke 19. Hal yang menonjol dari peranan ulama
pada abad 19 adalah mulai dikenalnya istilah pembaharuan dalam dunia islam
dimana sebagian dari para ulama itu mengambil peran sebagai ulama pembaharu
dalam dunia islam di nusantara. Selain itu peranan ulama pada abad ini tak bisa
dilepaskan dalam upaya untuk membebaskan negeri dari penjajahan, maka para
ulama memiliki minimal dua peran, yaitu sebagai ulama pengajar, pendidikan,
pemikir maupun pembaharu juga sebagai panglima atau pemimpin perang melawan
imperialisme barat. Peran-peran inilah yang menjadi ciri khas dari keberadaan
jaringan ulama pada sekitar abad ke 19.
Pasca mereka muncullah para ulama yang
berusaha menghabiskan waktu mereka dalam melakukan penelitian terhadap
hadis-hadis yang terkodifikasi untuk merumuskan sebuah bentuk pemikiran
metodologis dalam melakukan pengkajian hadis sehingga bentuk peristilahan yang
dipergunakan tidak mengalami kekalutan dan ketidakpastian, diantara mereka yang
melakukan kajian untuk menentukan rumusan metodologis adalah Ar-Ramahurmudzi,
al-Hakim an-Naisabury, al-Bagdady, al-Qadhy ‘Iyadh dan generasi-generasi ulama
setelah mereka.
Namun perkembangan pengkajian Hadis dan
kaedahnya di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya dan bahkan semakin pesat
adalah pada awal abad ke-20 dimana bermunculan para tokoh yang secara
latarbelakang intelektual mereka tidak berasal dari pendidikan hadis, hanya
karena disebabkan mereka adalah pengajar-pengajar hadis dan kaedahnya atau
karena kajian-kajian mereka tentang permasalahan ke-Indonesia-an bersinggungan
langsung dengan hadis-hadis Nabi Saw, sehingga mereka secara tidak langsung
harus melakukan kajian terhadap hadis dan kaedahnya baik secara parsial maupun
komprehensif.
Namun meskipun
demikian tidak dapat dipungkiri bahwa studi hadis dan kaedahnya di indonesia
dapat dikatakan baru disebabkan karena sangat sedikitnya karya-karya dibidang
hadis dan kaedahnya yang dihasilkan oleh ulama Indonesia.
Adapun karya-karya Hadis dan kaedahnya
yang dihasilkan oleh ulama Indonesia di awali oleh karya Syekh Muhammad Mahfudh
al-Tirmisi dalam bidang Ilmu Hadis yang berjudul Dzawi An-Nazhar merupakan
penjelasan dari kitab karya Imam as-Syuthy Manzhumah Ilmu al-Atsar, kemudian
karya Mahmud Yunus (1899-1983) dalam bidang Ilmu Hadis yang berjudul Mushthalah
al-hadits kedua karya ulama Indonesia ini ditulis dalam Bahasa Arab, kemudian
lahirlah karya T.M Hasbi Ash-Shiddiqie (1904-1975) dalam bidang Hadis dan
Ilmunya yang sangat banyak diantaranya adalah Koleksi Hadis-Hadis Hukum (9
volume), Mutiara Hadis (6 Volume), Beberapa Rangkuman Hadis, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (2 Volume), Problematika
Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Rijalul Hadis, Sejarah perkembangan
Hadis.
Selain itu beliau juga memiliki sebuah
karya yang merupakan keritik terhadap hadap hadis-hadis yang terdapat dalam
karya monumental Imam al-Ghazaly yang berjudul Ihya’ulum al-Din. Selain beliau
terdapat pula ulama indonesia lainnya yang memiliki karya-karya dalam hadis dan
ilmunya seperti Muhammad Syuhudi Ismail (1943-1997) dengan karya beliau dalam
ilmu hadis seperti; Pengantar Ilmu Hadis, Metodologi Penelitian Hadis, Kaidah
Keshahihan Sanad, Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Kemudian
Fatchir Rahman dengan karyanya ikhtishar Mushthalahul Hadis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar