Sabtu, 08 Juni 2013

Transformasi Pemikiran Hadist Abad ke 18,19,20 Ulama’ dan Serta Karangan Kitab - Kitabnya.


Nama              : Akhmad Syaifuddin (12-11-1983)
NIM                : 311020
Matakul          : Sejarah Pemikiran Hadist
Tugas              : Ulangan / Tes Akhir Semester
Dosen Pengap: Drs. Ma’mun Mu’min, M. Ag.



Perkembangan Hadis
Tahap IV pada abad ke-18 – 19, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syariah. Ini memberi dampak besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada aktivisme keduniaan. Pada abad ke-18 dan 19 M proses ortodoksi ini mendorong lahirnya gerakan anti-kolonial yang merata di seluruh kepulauan Nusantara. Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir abad ke-18, Wahabisme, semakin memperkuat kecenderungan pada syariat dan fiqih. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan ini Islam muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu proses islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin mengukuhkan diri sebagai faktor inetgratif atau pemersatu bangsa Indonesia.
Tahap V munculnya gerakan pembaharuan (tajdid). Gerakan-gerakan keagamaan tumbuh menjadi gerakan kebangsaan. Sebagian seperti SI (Sarekat Islam) menekankan pada perjuangan politik, sebagian lagi seperti Muhammadiyah menekankan pada bidang sosial seperti pendidikan dan dakwah. Islam tradisional juga bangkit, ditandai dengan berdirinya organisasi seperti NU.
Lembaga pendidikan tradisional, khususnya pesantren, mengalami revitalisasi dan dari waktu ke waktu kian relevan sebagai model pendidikan alternatif di tengah derasnya proses sekularisasi pendidikan nasional. Walaupun umat Islam tidak berhasil menyalurkan aspirasinya dalam bidang politik sejak Pemilu 1955, namun bangunan budayanya masih tetap utuh.
Peranan ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah terrsebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah :  Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daud al-Fatani, Nawawi al-Bantani, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung menekankan signifikansi syariah dan fiqih.

Telaah-telaah hadis bagi para ulama merupakan subjek paling penting dalam keahlian mereka. Al-Kurani mempunyai isnad hadis melaui ‘Abd Allah Al-Lahuri (w. 1083/1672), yang menghubungkannya dengan Quthb al-Din Al-Nahrawali, yang pada puncaknya sampai pada Ibnu Hajar Al-’Asqalani. Mengingat betapa pentingnya kajian hadis, Al-Kurani bahkan menegaskan, ” Aku tidak menyimpan keraguan bahwa ia (hadis) akan abadi di atas bumi.”, Ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah tokoh paling penting bagi tarekat, sebab beliau adalah sumber syari’at setelah Tuhan.

Jaringan Ulama di Nusantara
Banyak ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang mengembangkan Islam di Indonesia. Tercatat dalam sejarah, ulama-ulama tersebut adalah Ahmad Khatib (Minangkabau); Muhammad Nawawi (Banten); Diponegoro, Ahmad Rifa’I (Jawa Tengah)’ Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari (Kalimantan) dimana seluruh ulama tersebut “Mekah based” dan secara fiqih Syafiiyah. Keseluruh ulama berpengaruh abad XIX tersebur berjuang secara lokal dan gerakannya sangat tipikal pada saat itu, meski kemudian ada yang buah fikirannya diakui secara nasional, bahkan internasional. Dengan mengambil kriteria-kriteria tertentu, seperti kualifikasi keilmuan, integritas kepribadian dan keperduliannya terhadap problema umat Islam.
Sebagaimana jaringan ulama pada abad sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad ke-19 pun tak bisa dilepaskan dari peran timur tengah seperti Mekah di Jazirah Arab dan Mesir mengingat adanya keterkaitan yang erat antara pemikiran para ulama di wilayah tersebut dengan murid muridanya dari nusantara yang belajar di wilayah tersebut. Jaringan ulama di nusantara pada abad ke 19, tak pelak lagi memiliki keterkaitan dengan ulama ulama di luar negeri utamanya adalah ulama timur tengah sebagai gudang ilmu pengetahuan islam pada masanya.
Ulama ulama pada abad 19 seperti Imam Nawawi, Pangeran Dipongoro, Kiai Maja, Imam Bonjol, Ulama ulama gerakan paderi, Ahmad Rifa’I, Imam Syekh Nawawi Al Bantani, Arsyad Al Banjari adalah sebagian dari ulama ulama utama pada abad ke 19. Hal yang menonjol dari peranan ulama pada abad 19 adalah mulai dikenalnya istilah pembaharuan dalam dunia islam dimana sebagian dari para ulama itu mengambil peran sebagai ulama pembaharu dalam dunia islam di nusantara. Selain itu peranan ulama pada abad ini tak bisa dilepaskan dalam upaya untuk membebaskan negeri dari penjajahan, maka para ulama memiliki minimal dua peran, yaitu sebagai ulama pengajar, pendidikan, pemikir maupun pembaharu juga sebagai panglima atau pemimpin perang melawan imperialisme barat. Peran-peran inilah yang menjadi ciri khas dari keberadaan jaringan ulama pada sekitar abad ke 19.
Pasca mereka muncullah para ulama yang berusaha menghabiskan waktu mereka dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang terkodifikasi untuk merumuskan sebuah bentuk pemikiran metodologis dalam melakukan pengkajian hadis sehingga bentuk peristilahan yang dipergunakan tidak mengalami kekalutan dan ketidakpastian, diantara mereka yang melakukan kajian untuk menentukan rumusan metodologis adalah Ar-Ramahurmudzi, al-Hakim an-Naisabury, al-Bagdady, al-Qadhy ‘Iyadh dan generasi-generasi ulama setelah mereka.
Namun perkembangan pengkajian Hadis dan kaedahnya di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya dan bahkan semakin pesat adalah pada awal abad ke-20 dimana bermunculan para tokoh yang secara latarbelakang intelektual mereka tidak berasal dari pendidikan hadis, hanya karena disebabkan mereka adalah pengajar-pengajar hadis dan kaedahnya atau karena kajian-kajian mereka tentang permasalahan ke-Indonesia-an bersinggungan langsung dengan hadis-hadis Nabi Saw, sehingga mereka secara tidak langsung harus melakukan kajian terhadap hadis dan kaedahnya baik secara parsial maupun komprehensif.
Namun meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa studi hadis dan kaedahnya di indonesia dapat dikatakan baru disebabkan karena sangat sedikitnya karya-karya dibidang hadis dan kaedahnya yang dihasilkan oleh ulama Indonesia.
Adapun karya-karya Hadis dan kaedahnya yang dihasilkan oleh ulama Indonesia di awali oleh karya Syekh Muhammad Mahfudh al-Tirmisi dalam bidang Ilmu Hadis yang berjudul Dzawi An-Nazhar merupakan penjelasan dari kitab karya Imam as-Syuthy Manzhumah Ilmu al-Atsar, kemudian karya Mahmud Yunus (1899-1983) dalam bidang Ilmu Hadis yang berjudul Mushthalah al-hadits kedua karya ulama Indonesia ini ditulis dalam Bahasa Arab, kemudian lahirlah karya T.M Hasbi Ash-Shiddiqie (1904-1975) dalam bidang Hadis dan Ilmunya yang sangat banyak diantaranya adalah Koleksi Hadis-Hadis Hukum (9 volume), Mutiara Hadis (6 Volume), Beberapa Rangkuman Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (2 Volume), Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Rijalul Hadis, Sejarah perkembangan Hadis.
Selain itu beliau juga memiliki sebuah karya yang merupakan keritik terhadap hadap hadis-hadis yang terdapat dalam karya monumental Imam al-Ghazaly yang berjudul Ihya’ulum al-Din. Selain beliau terdapat pula ulama indonesia lainnya yang memiliki karya-karya dalam hadis dan ilmunya seperti Muhammad Syuhudi Ismail (1943-1997) dengan karya beliau dalam ilmu hadis seperti; Pengantar Ilmu Hadis, Metodologi Penelitian Hadis, Kaidah Keshahihan Sanad, Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Kemudian Fatchir Rahman dengan karyanya ikhtishar Mushthalahul Hadis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar