Makalah Sejarah Pemikiran Hadist
Oleh : Akhmad Syaifuddin
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengkaji sejarah perkembangan hadis
sangat penting dan mendasar sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang hadits.
Anjar nugroho mengungkapkan dalam makalahnya yang ia kutip dalam dari tulisan
pakar hadits Indonesia Prof. Hasbi ash-Shidieqy (1987)[1],
bahwa mempelajari sejarah dipandang perlu yaitu dengan memeriksa
periode-periode yang telah dilalui oleh hadits (sejarah perkembangannya), maka
dapat mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa kemasa
yang begitu dinamis dan kompleks. Mengetahui perkembangan hadits, baik
perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena
dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi hadits.
Perkembangan hadits pada masa awal
lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits.
Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash
al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para
sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut
sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat
menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodisasi
penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).[2]
B. Tujuan
Pengkajian sejarah hadits dari masa
kemasa ini bertujuan agar para pembaca mengetahui eksistensi dan perkembangan
hadits pada masa Nabi, masa sahabat, dan tabi’in, pada masa abad ke II, III,
IV, H hingga sampai sekarang.
C. Rumusan Masalah
A. Pengertian sejarah hadits
B. Sejarah hadits pada masa NAbi
Muhammad Saw
C. Sejarah hadits pada masa Sahabat
dan Tabi’in
D. Sejarah hadits pada masa abad ke II,
III, dan IV H
E. Sejarah pada abad ke V H sampai
sekarang
F. Analisis
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sejarah Hadits
Sejarah hadits terdiri dari dua kata
yaitu kata “sejarah” dan kata “hadits”. Kata sejarah yang kita gunakan pada
masa sekarang ini bersumber dari perkataan arab yaitu syajaratun yang berarti
pohon. Dari sisi lain, istilah history merupakan terjemahan dari kata dalam
bahasa yunani yakni histories yang memberikan arti suatu pengkajian. Dalam
sebuah tulisan yang berjudul definisi sejarah (2007)
mengutip pandangan "Bapa Sejarah" Herodotus, Sejarah ialah satu
kajian untuk menceritakan satu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh,
masyarakat dan peradaban. Sedangkan menurut pendapat Aristoteles Sejarah adalah
peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekaman-rekaman atau
bukti-bukti yang kukuh.[3]
Hadits secara Lughowi (Harfiyah) adalah ism
masdar, yang fi’il madhi dan mudhori’nya, hadatsa – yahdutsu yang berarti baru.
Hadits secara istilah ialah segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan
persetujuan (taqrir) dan sifat Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian dapat
disimpukan bahwa sejarah hadits ialah suatu kajian peristiwa-peristiwa masa
lalu dari segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir)
dan sifat Nabi Muhammad Saw.[4]
B. Sejarah hadits pada masa Nabi
Muhammad Saw
Pada masa pertama ini disebut masa
pembentukan dan penyebaran hadits. Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat
dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau
larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala
perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi
sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik
dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung
bertanya pada Nabi.[5]
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh
dari kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala
permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi
mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan ketika mereka
kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang
baru mereka terima.
Selain itu, para pedagang dari kota
Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi
berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka
peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.
Penyebaran hadits-hadits pada masa
Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini
dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena
Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur
dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut Al-Bagdadi[6]
(w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang
masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid
ibnu Tsabit. Namun yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits
Abu Sa’id al-Khudri yang berbunyi ,
" لا
تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا
فليكتبوّأ مقعده من النار"
“Janganlah kamu sekalian menulis
sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa yang menulis dariku selain
Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa
yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di
neraka”. (HR. Muslim).
Di sini Nabi melarang para sahabat
menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan
meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan
hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan
menulis hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan
terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits
adalah :[7]
a. Khawatir terjadi kekaburan antara
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b. Takut berpegangan atau cenderung
menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c. Khawatir orang-orang awam
berpedoman pada hadits saja.
Nabi telah mengeluarkan ijin menulis
hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada
sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu
Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau
berpidato didepan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman
bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian
Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.[8]
"يا رسول
الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"
“WAhai Rasulullah, tuliskanlah
untukku, Nabi bersabda (pada para sahabat yang lain), tuliskannya untuknya.”
C. Sejarah hadits pada masa Sahabat
dan Tabi’in
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan
Umar Ibn Khattab
Setelah Rasulullah wafat, banyak
sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk
percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat
meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut.
Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits.
Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode
tersebut disebut dengan Masa Pembatasan periwayatan hadits.
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar
tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam
berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun
pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut
anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan
hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan
mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan
oleh Imam Malik.
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak
meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak
meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, "Sekiranya aku
meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu
(memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya."[9]
Riwayat Abu Hurairah tersebut
menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan
riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab
bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk
menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata,
"Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul,
apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan
al-Qur'an dan hadits kepada kamu semua."
2. Masa Pemerintahan Utsman Ibn
Affan dan Ali bin Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan
Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda
dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah
yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam
sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits
yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya,
periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahn
sebelumnya.
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin,
timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits.
Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara
periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan
hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. kegiatan priwayatan hadits pada masa
itu lebih luas dan banyak daripada periwayatan pada masa khulafa’ur rasyidin.
Kalangan tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun banyak hadits yang
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan
lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara
periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan
memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa
Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan
golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada masa kekhalifahan Daulah
Umayyah.
D. Sejarah hadits pada masa abad ke
II, III, dan IV H
Pada masa abad ke II ini disebut
masa pengkodifikasian Hadits. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni
yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya pembukuan dan
penghimpunan hadits, karena beliau kawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah
wafatnya para ulama’ baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau
perintahkan kepada para gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para
ulama’dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits.
Penghimpunan hadits pada abad ini
masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan
pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf) yang hanya
dikumpulkan tanpa klasifikasi kedalam beberapa bab secara tertib.
Di antara kitab-kitab yang muncul
pada masa ini adalah:[10]
4. Al Jami’ oleh
Abdurrazzaq Ash Shan’ani
5. Mushannaf Syu’bah
oleh Syu’bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
6. Mushannaf Sufyan oleh
Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
7. Mushannaf Al Laist
oleh Al Laist bin Sa’ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
8. As Sunan Al Auza’i
oleh Al Auza’i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
9. As Sunan Al Humaidi
(wafat tahun 219 H / 834 M)
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan
(pembukuan) dan penyusunan Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat
Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama
mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu’
(yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat)
dan mana yang maqthu’ (berisi prilaku tabi’in). Usaha pembukuan Hadits pada
masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga
dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud
tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Hadits yang ada maupun yang dihafal.
Di antara kitab-kitab yang muncul
pada abad 3 H ini adalah:[11]
Selanjutnya pada abad 4 H, usaha
pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini
telah selesai melakukan pembukuan Hadits.
Di antara kitab-kitab yang muncul
pada abad 4 H ini adalah:[12]
1. Al Mu’jamul Kabir oleh Ath
Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2. Al Mu’jamul Ausath oleh Ath
Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3. Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath
Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
4. Al Mustadrak oleh Al Hakim
(321-405 H / 933-1014 M)
5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah
(233-311 H / 838-924 M)
6. At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu
Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7. As Shahih oleh Abu Hatim bin
Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat
353 H / 964 M)
9. As Sunan oleh Ad Daruquthni
(306-385 H / 919-995 M)
10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi
(239-321 H / 853-933 M)
11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar
Razi (wafat 301 H / 913 M)
E. Sejarah pada abad ke V H sampai
sekarang
Sedangkan abad 5 H dan seterusnya
adalah masa memperbaiki susunan kitab Hadits seperti menghimpun yang terserakan
atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya
kitab-kitab Hadits abad 4 H.[13]
Kitab-kitab yang muncul pada abad 5
H ini adalah[14]:
- Hasil penghimpunan
· Bersumber dari kutubus sittah saja
1. Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al
Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz
Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)
· Bersumber dari kkutubus sittah dan
kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
· Bersumber dari selain kutubus
sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
- Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
· Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya
:
1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385
H / 919-995 M)
2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi
(384-458 H / 994-1066 M)
3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id
(625-702 H / 1228-1302 M)
4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al
Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al
Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
6. ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani
Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
7. Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al
Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
· Kitab Al Hadits Akhlaq
1. At Targhib wat Tarhib oleh Al
Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
- Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)[15]
1. Untuk Shahih Bukhari terdapat
Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
2. Untuk Shahih Muslim terdapat
Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al
Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat
Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
5. Untuk Bulughul Maram terdapat
Subulussalam oleh Ash Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M)
- Mukhtashar (ringkasan)
1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya
Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
2. Untuk Shahih Muslim diantaranya
Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
- Lain-lain
1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh
Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim
(321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang shahih menurut syarat
Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
Perkembangan penulisan dan
pengkodifikasian hadits pada abad 12 H. mulai abad terakhir ini sampai sekarang
dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama’ dalam bidang
hadits, kecuali hanya membaca, memahami, dan memberikan syarah hadits-hadits
yang telah terhimpun sebelumnya.
F. Analisis
Dari pembahasan sejarah di atas
telah terjadi beberapa peristiwa yang tentunya memiliki latar belakang seperti
pada masa pembentukan dan penyebaran hadits, Nabi melarang penulisan hadits hal
ini dilatar belakangi oleh kekhawatiran terjadinya kekaburan antara ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam karena penyampaian
ayat-ayat al-Qur’an pada semua umat Islam bersumber dari Nabi dan ucapan dari
nabi sendiri (hadits)
Pada masa sahabat yaitu Khalifah Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib telah terjadi
perbedaan masa yakni masa pembatasan riwayat dan masa banyaknya riwayat dan
juga pemalsuan hadits. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab beliau
berdua membatasi periwayatan hadits. yang melatar belakangi hal ini ialah
karena banyak dari para sahabat yang mempermudah mempergunakan nama Rasulullah
dalam berbagai urusan, ini dapat membahayakan otentisitas hadits tersebut.
Meski karena pembatasan tersebut seakan-akan kedua Khalifah tersebut anti
periwayatan.
Sedangkan pada masa Khalifah Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya kebijakan mereka tidak berbeda
dengan pendahulu beliau akan tetapi karena karakteristik beliau yang lebih
lunak dibandingkan dengan Khalifah Umar, selain itu wilayah kekuasaan Islam
yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan
riwayat secara maksimal hingga pada masa beliau ini disebut masa banyaknya
periwayatan hadits. Sedang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib terjadi
pemalsuan hadits, yang melatar belakangi ialah pada masa Khalifah Ali telah
terjadi masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antara
beberapa kelompok kepentingan politik. Secara tidak langsung hal ini membawa
dampak negative dalam periwayatan hadits. kepentingan politik mendorong untuk
melakukan pemalsuan hadits.
Sejarah hadits pada abad ke II H
terjadi penghimpunan hadits yang melatar belakangi hal ini adalah karena
banyaknya hadits palsu. Akhirnya para sahabat dan tabi’in meneliti dan
memeriksa semua hadits-hadits baru dengan cermat dan puncaknya pada masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menghimpun hadits.
Pada abad ke III H merupakan masa
pendiwanan (pembukuan) dan penyususnan hadits, yang melatar belakangi hal
tersebut ialah guna menghindari salah pengertian dalam memahami sebagai
perilaku Nabi Muhammad
Pada abad ke V H adalah masa
pengelompokkan dalam bidang-bidang agar mempermudah para pembaca hadits.
Perkembangan dan penulisan hadits
sampai pada abad 12 H. mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan
tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama’ dalam bidang hadits, kecuali
hanya membaca, memahami hadits.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan
hadits dimulai dari masa Nabi yakni masa pembentukan dan penyebaran hadits,
emudian dilanjutkan masa sahabat Khulafa’ur Rasyidin yaitu masa pembatasan, banyaknya,
dan pemalsuan hadits.
Pada
abad II, III, IV dan V H adalah masa pembukuan hadits, masa penyaringan dan
seleksi ketat dan penyusunan kitab-kitab koleksi.
Penulisan
dan pengkodifikasian hadits sampai pada abad 12 H setelah itu sampai sekarang
tidak ada lagi kegiatan dari para ulama’ dalam bidang hadits, kecuali membaca
dan memahami hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
http://denologis.blogspot.com/2008/03/makalahku-sejarah-perkembangan-hadits.html
http://Ispa.wordpress.com/2007/11/14/definisi-sejarah/
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/05/studi-sejarah-hadis/
http://belajar.tiganetwork.com
Drs. Atang Abdul Hakim, MA. DR. Jaih
Mubarak. Metodologi Studi Islam. Penerbit PT Remaja Roda Karya Bandung 2004
[3]
http://mus_1981.tripod.com/definisi_sejarah.htm.
http:/Ispa.wordpress.com/2007/11/14/definisi-sejarah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar