Sabtu, 08 Juni 2013

METODE TAFSIR MUQARIN DAN MAUDHU’I



Oleh : Akhmad Syaifuddin

       I.            PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang terakhir diturunkan ke bumi. Sebagai kitab penutup, Al-Qur’an melengkapi dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an terdiri dari beberapa ayat. Akan tetapi, isinya mencangkup semua aspek-aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Dari satu ayat dapat ditarik beberapa hukum bahkan antara seseorang dengan orang yang lain berbeda pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan maksud yang terkandung dalam ayat tesebut. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan ayat sudah menjadi tradisi dan merupakan rahmat bagi umat manusia. Terjadinya perbedaan di antara para ulama ahli tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an di antaranya karena berbedanya pengetahuan dan kepandaian yang diperoleh ulama ahli tafsir tersebut. Para ulama ahli tafsir mempunyai berbagai cara, teknik dan metode dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dari perbedaan cara, teknik dan metode tersebut, tersusunlah sebuah kitab-kitab tafsir karya para ulama ahli tafsir dengan berbagai macam corak dan ragamnya. Metode atau teknik sangat menentukan dalam mengetahui kemanakah para ulama ahli tafsir lebih codong pada satu tema tertentu. Lalu, apakah yang disebut dengan teknik atau metode penafsiran, dan apa saja corak dan ragamnya khususnya tentang metode muqarin dan maudhu’i?

Dalam makalah ini penulis mencoba memberi pengetahuan tentang teknik atau metode penafsiran yang ditempuh para ulama ahli tafsir khususnya tentang metode muqarin dan maudhu’i. Penulis mengakui masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik oleh pembaca selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah pada masa yang akan datang. Atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terima kasih.



    II.            PEMBAHAASAN

A. Pengertian
Kata teknik berarti “cara atau jalan” . Bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut menngandung arti cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Pengertian serupa ini juga dijumpai di dalam kamus webster.
pengertian teknik yang umum dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran dan penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi, dapat dikatakan teknik adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini studi tafsir Al-Qur’an tidak lepas dari teknik atau metode, yakni suatu cara yang teratur yang terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkannnya kepada nabi Muhammad saw.
Definisi itu memberikan gambaran bahwa metode tafsir Al-Qur’an tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila seseorang menafsirkan Al-Qur’an tanpa menempuh alur-alur yang telah ditetapkan dalam metode tafsir, maka tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ra’yi al-mahdhah (tafsir berdasarkan pemikiran semata) yang dilarang oleh Nabi saw. bahkan ada yang menegaskan bahwa penafsiran serupa itu adalah haram.
Adapun metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode penafsiran Al-Qur’an. Dengan demikian dapat dibedakan antara dua istilah itu, yakni: metode tafsir, cara-cara menafsirkan Al-Qur’an. Sementara metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara tersebut. Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin, misalnya, disebut analisis metodologis. Sedangkan jika pembahaasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode itu terhadap ayat-ayat Al-Qur’an ini disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan tafsir tersebut dinamakan teknik penafsiran atau seni. Jadi, teknik tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan metode tafsir ialah pembahasan ilmiah dan konseptual tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an.

B. Perkembangan Teknik Tafsir

Metode tafsir telah lahir sejalan dengan lahirnya tafsir. Tapi telah disebutkan bahwa di masa awal Islam belum dimulai pembukuan ilmu-ilmu Islam, termasuk metode tafsir, apalagi mengkajinya secara ilmiah. Hal ini menyebabkan tidak dijumpai di kalangan ulama salaf kitab yang membahas metodologi tafsir secara khusus. Selain itu, para ulama generasi pertama umumnya menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Qur’an seperti ilmu bahasa arab, balaghah, sastra, dan sebagainya. Lagi pula para sahabat menyaksikan dan mengalami langsung situasi dan kondisi ketika wahyu diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw. Semua itu membantu mereka dalam mendalami Al-Qur’an secara benar dan utuh. Oleh karena itu, mereka tidak memerlukan kajian khusus mengenai metodologi tafsir. Akan tetapi, tidak berarti mereka menafsirkan Al-Qur’an tanpa metode malah sebaliknya, metode yang diterapkan oleh generasi petama itulah yang dikembangkan para ulama ahli tafsir yang datang kemudian.
Dari perkembangan tafsir yang dikemukakan, dapat dikatakan bahwa metode global merupakan metode tafsir yang pertama lahir dengan mengambil bentuk al-ma’tsur, kemudian baru diikuti oleh bentuk al-ra’yi seperti tanpak dalam tafsir Al-Jalalain karya Al-Mahalli dan Al-Suyuthi. Metode ini kemudian berkembang terus sehingga melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan metode analitis (manhaj tahlili). Ini ditandai dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir yang memberikan uraian yang cukup luas dan mendalam tentang pemahaman suatu ayat separti tafsir Al-Thabari dalam bentuk al-ma’tsur, tafsir Al-Razi dalam bentuk al-ra’yi, dan lain-lain. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, maka ulama tafsir berusaha menafsirkan Al-Qur’an lebih spesifik lagi, lalu mereka mengkhususkan tafsirannya pada bidang-bidang tertentu, maka lahirlah tafsir fiqih, tasawuf, teologi, bahasa, dan sebagainya.
Agaknya pola pikir ini kemudian di abad modern mengilhami para ulama tafsir untuk menyusun metode baru dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu metode tematik sebagaimana akan dibahas. Pada periode berikutnya sekitar abad ke-5 hijriyah lahir pula metode komparatif dalam bidang ini tercatat kitab Durrat Al-Tanzil Wa Ghurrat Al-Ta’wil oleh Al Khatib Al-Iskafi (w. 420 H.) dan Al-Burhan Fi Taujih Mutasyabih Al-Qur’an oleh Taj Al-Qurra Al-Karmani (w.505 H.) terakhir lahirlah metode tematik sebagaimana telah disebut meskipun pola penasiran tematik ini secara embriotik tersirat telah lama dikenal dalam sejarah tafsir Al-Qur’an, namun dalam bentuknya yang dikenal sekarang pertama kali dicetuskan oleh Ustad Prof. Dr. Ahmad Al-Kumi (ketua jurusan tafsir pada fakultas ushuluddin Universitas Al-Azhar). Berarti metode tematik baru lahir secara faktual pada paruh kedua abad ke-20 yang lalu.

C. Macam-macam Teknik Penafsiran

Seiring perjalanan waktu ilmu tafsir terus berkembang dan jumlah kitab-kitab tafsir terus bertambah dalam beraneka ragam. Para ulama tafsir belakangan kemudian memilah kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisannya ke dalam empat bentuk tafsir, yaitu: metode tahlili, ijmali, muqarin, dan maudhu’i.
1. Metode Tafsir Tahlili
2. Metode Tafsir al-Ijmali(Tafsir dengan metode Ijmal/Global)
3. Metode Tafsir Al-Muqarin (tafsir dengan metode komparatif)
Sesuai dengan namanya, Al-Tafsir Al-Muqarin adalah tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparasi). Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu:
a. perbandingannya Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Perlu ditegaskan bahwa objek kajian metode tafsir ini hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, bukan dalam bidang pertentangan makna. Pertentangan makna di antara ayat-ayat Al-Qur’an dibahas dalam ilmu nasikh wa al-mansukh.

Di dalam Al-Qur’an ditemukan banyak ayat yang memilki kemiripan redaksi atau lafal, tersebar di berbagai surat. Kemiripan itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk yang menyebabkan adanya nuansa makna tertentu, misalnya perbedaan dalam susunan kalimat.
Ada delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai berikut :
a. Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti:
#$;ùlçy3 dèqu #$!« dèy )Îcž %è@ö
Artinya: ”katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”
#$!« dèy )Îcž#$9øgßy3 %è@ö
Artinya: ".Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk ( yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah”.
b. pengurangan dan penambahan huruf, seperti:
ƒãs÷BÏZãqbt wŸ ?èZÉödèNö 9sNö &rP÷ äu&rRxö?sgßNö æt=nŠøgÎOó yqu#!äí
Artinya: ”Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman”
ruyqu#!äí ƒãs÷BÏZãqbt wŸ ?èZÉödèNö 9sOó &rQô äu&rRxö?sgßNö ãt=nŽökÍNö
Artinya: ”Sama saja bagi mereka Apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman”.
c. pengawalan dan pengakhiran, seperti:
ruƒãt.jÏŽkÍNö ru#$:øtÏ3õJyps #$9ø3ÅGt»=| ruƒãèy=kÏJßgßOÞ äu#ƒt»GÏ7y æt=nŽökÍNö ƒtG÷=èq( .
Artinya: ”Yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka”.
ru#$:øtÏ3õJyps #$9ø3ÅGt»=| ruƒãèy=kÏJßgßNã ruƒãt.jÏŽkÍNö äu#ƒt»GÏmϾ ãt=nŽökÍNö ƒtF÷=èq#(
Artinya: ”Yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab (al-Qur’an) dan Hikmah (As Sunnah).
d. perbedaan nakirah dan ma’rifah, seperti:
#$9øèy=ΊOÞ #$9¡¡JÏŠìß dèqu )ÎR¯mç¼ ( /Î$$!« ùs$$óGtèÏõ
Artinya: ”Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
æt=ΊOí yJÏìì )ÎR¯mç¼ 4 /Î$$!« ùs$$óGtèÏõ
Artinya: ”Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya dia maha mendengar lagi maha mengetahui.
e. perbedaan bentuk jamak dab bentuk tunggal, seperti:
Bè÷ßrŠyoZ &rƒ­$BY$ )ÎwH #$9Y$â ?sJy¡¡Zu$ 9s`
Artinya: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja”.
Bè÷ßrŠyºN; &rƒ­$BY$ )ÎwH #$9Y$â ?sJy¡¡Yo$ 9s`ó
Artinya: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.
f. perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti:
ru)ÎŒø ùs6à=èq#( #$9ø)sóƒtps dy»ÉnÍ #$Š÷zä=èq#( %è=ùYo$
Artinya: “dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah”.
ru)ÎŒø ru2à=èq#( #$9ø)söƒtps dy»ÉnÍ #$ó3äZãq#( 9sgßNã %ÏŠ@Ÿ
Artinya: “dan (ingatlah), ketika dikatakan kepada mereka (Bani Israil): "Diamlah di negeri ini saja (Baitul Maqdis) dan makanlah.
(g. perbedaan penggunaan kosa kata, seperti:
%s$9äq# äu#/t$!äuRt$! ãt=nømÏ &r9øÿxøZu$ Bt$! RtK®6Îìß /t@ö
Artinya: ”mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".
äu#/t$!äuRt$! ãt=nømÏ ru`yôRt$ Bt$ RtK®7Îìß /t@ö %s$9äq#(
Artinya: ”mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya) mengikuti apa yang Kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.
h. perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf yang lain), seperti:
#$9øèÏ)s$>É ©xÏƒß #$!© ùs*Îb#$!© ç±t$!-eÉ ruBt` ( ruußq!s&ã¼ #$!© ©x$!%q#( /Î'rXkåNö Œsº9Ï7y
Artinya: ”Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
#$9øèÏ)s$>É ©xÏƒß #$!© ùs*Îc  ruußq!s&ã¼ #$!© ç±t$%Ï,È ruBt` 4 ruußq!s&ã¼ #$!© ©x$!%q#( /Î'rR¯gßNö Œsº9ρš
Artinya: ” (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan Barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya Allah Amat keras siksaan-Nya.
Dalam mengadakan perbandingan ayat-ayat yang berbeda redaksi di atas ditempuh beberapa langkah:
(1) menginventarisasi ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam
kasus yang sama atau yang sama dalam kasus pertama.
(2) mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya.
(3) meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus
yang dibicarakan ayat bersangkutan.
(4) melakukan perbandingan.
Perbedaan-perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya nuansa perbedaan makna seringkali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat dan konteks turunnya ayat bersangkutan. Karena itu, Ilmu al-munasabah dan ilmu asbab al-nuzul sangat membantu melakukan tafsir al-muqarin dalam hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain. Namun, esensi nilainya pada dasarnya tidak berbeda.
1. perbandingan ayat Al-Qur’an dengan Hadis
Mufasir membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadis Nabi saw. yang terkesan bertentangan. Di antara hadis-hadis Nabi saw. memang ada yang terkesan bertentangan atau berbeda dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Mufafsir berusaha menemukan kompromi antara keduanya.
Dalam melakukan perbandingan ayat Al-Qur’an dengan Hadis yang terkesan berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai Hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat Al-Qur’an, Hadis itu haruslah sahih. Hadis dhaif tidak diperbandingkan. karena, di samping nilai otentisitasnya rendah, dia justru semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat Al-Qur’an. Setelah itu mufasir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antar keduanya.
Contohnnya adalah perbedaan antara ayat Al-Qur’an dengan Hadis,
?sè÷Jy=èqbt .äYFçOó /ÎJy$ #$9øfyYps #$Š÷zä=èq#(
Artinya: ”masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan".

لن يد خل أحد كم الجنة بعمله (رواه الترميذي)
Artinya: “tidak akan masuk seseorang pun di antara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya”(H.R. Tirmidzi).
Antara ayat Al-Qur’an dan Hadis di atas terkesan ada pertentangan itu. Untuk menghilangkan pertentangan itu, ada dua cara.
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah Hadis, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat tuhan. Akan tetapi ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia manentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadis lain, yaitu:

إن أهل الجنة إذا دخلوها نزلوا فيها بفضل عملهم (رواه الترميذي)
Artinya: ”sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”(H.R. Tirmidzi).
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada Hadis tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada Hadis berarti sebab. Dengan penafsiran dan penjelasan seperti itu, maka pesan kontradiksi antara ayat Al-Qur’an dan Hadis di atas dapat dihilangkan.
2. Perbandingan penafsiran mufasir dengan mufasir lain.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir al-ra’yi). Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tertentu ditemukan adanya perbedaan di antara ulama tafsir. Perbedaan itu dapat terjadi karena perbedaan hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-masing.
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah:
(1) Membuktikan ketelitian Al-Qur’an.
(2) Membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat Al-Qur’an yang kontradiktif.
(3) Memperjelas makna ayat Al-Qur’an.
(4) Tidak menggugurkan suatu Hadis yang berkualitas sahih.
Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Di antara kitab yang menggunakan metode ini adalah Durrah Al-Tanzil Wa Gurrah Al-Ta’wil (Mutiara Al-Qur’an dan Wajah Ta’wil) karya Al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat dan Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthubi yang membandingkan penafsiran para mufasir.
4. Al-Tafsir Al-Mawdhu’i (Tafsir Dengan Metode Tematis)
Secara semantik, Al-Tafsir Al-Mawdhu’i berarti tafsir tematis. Metode ini mempunyai dua bentuk:
1. tafsir yang membahas satu surat Al-Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan
menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan ayat yang satu dengan yang lain, dan atau antara satu pokok masalah dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini surat tersebut tampak dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat, teliti, dan sempurna. Berkenaan dengan tafsir tematis bentuk ini, meskipun mengandung banyak masalah, masalah-masalah itu sebenarnya adalah satu, karena pada hakikatnya menunjuk kepada satu maksud.
Kandungan pesan suatu surat diisaratkan oleh nama surat tersebut, selama nama tersebut bersumber dari Rasulullah saw. Contohnya surat Al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa surat itu dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum surat tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat di dalam surat itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungan itu.
Tafsir tematis dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr Al-Din Al-Razi. Namun, pada masa belakangan beberapa ulama tafsir lebih menekuninya secara serius. Contoh kitab tafsir bentuk ini adalah Al-Tafsir Al-Wadhih karya Muhammad Mahmud Al-Hijazi dan Nahwu Tafsir maudhu’i li Suar Al-Qur’an Al-Karim karya Muhammad Al-Ghazali.
2. Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan
arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu bahasan tema tertentu.
Melalui kajian seperti itu mufasir mencoba menetapkan pandangan Al-Qur’an yang mengacu kepada tema khusus dari berbagai macam tema yang berkaitan dengan alam dan kehidupan. Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat lainnya itu pada akhirnya akan mengantar mufasir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan Al-Qur’an. Bahkan melalui metode ini, mufasir dapat mengajukan pertanyaan pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan Al-Qur’an mengenai hal tersebut.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode ini adalah:
a. Menentukan topik behasan setelah menentukan batas-batasnya dan mengetahui jangkauannya di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut.
c. Merangkai urutan-urutan ayat sesuai dengan masa turunnya, misalnya dengan mendahulukan ayat makiyyah dari pada ayat madaniah.
d. Kajian tafsir memerlukan bantuan kitab-kitab tafsir tahlili, pengetahuan tentang sebab nuzul, munasabat dan pengetahuan tentang dilalah suatu lafal dan penggunaannya.
e. Menyusun pembahasan dalam suatu kerangka yang sempurna.
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah yang dibahas itu.
g. Mempelajari semua ayat-ayat yang terpilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya, atau mengkompromikan antara ’Am dan Khash, yang mutlak dengan muqayyad, atau yang kelihatannya kontradiktif sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran.
h. Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa pasal, dan setiap pasal itu di bahas kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi macam-macam pembahasan yang terdapat pada bab, kemudian menjadikan unsur yang bersifat cabang sebagai satu macam dari pasal.
Al-tafsir Al-Maudhu’i sebagai bentuk penafsiran dengan metode spesifik baru dikenal pada masa belakangan yang diperkenalkan oleh Ahmad Al-Sayyid Al-Kumi, ketua jurusan tafsir di Universitas Al-Azhar bersama sejumlah kolega dan murid-muridnya.
Contoh kitab tafsir dalam metode ini di antaranya adalah Al-Mar’ah Fi Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Insan Fi Al-Qur’an Al-Karim karya Abbas Mahmud Al-‘Aqqad, Al-Riba Fi Al-Qur’an Al-Karim karya Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Washaya Al-Asyr karya Syaikh Mahmud Syaltut, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an karya Fazlu Al-Rahman dan Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Madhu’i Atas Bebagai Persoalan Umat karya Muhammad Quraisy Syihab.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpukan bahawa metode penafsiran Al-Qur’an adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Allah swt dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Para ulama ahli tafsir memakai beberapa metode atau teknik dalam penafsirannya sehingga terdapat berbagai macam teknik penafsiran dengan menitik beratkan kepada suatu persoalan tertentu yang diambil dari Al-Qur’an. Di antara tekniknya adalah penafsiran secara tahlili, ijmali, muqarin dan maudhu’i. Para ulama ahli tafsir dalam melakukan penafsiran hanya memberika pengertian dan menerangkan maksud yang dikehendaki Allah swt melalui kitab suci Al-Qur’an. Penafsiran adalah salah satu jalan untuk mengetahui maksud dan tujuan Al-Qur’an, sedangkan kebenaran yang hakiki dan mutlak tentang maksud Al-Qur’an hanya Allah yang paling tahu.



Daftar pustaka

Abd Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i (Beirut: Dar al-Fikr, 1977)
Fuad Hasan dan koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiyah ( Jakarta: Gramedia,
1977)
Ibnu Taimiyah, Muqaddimat fi Ushul Al-Tafsir (Kuwait: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1971)
Muhammad Baqir Al-Shadri, Al-Tafsir Al-Maudhu’i Wa Al-Tafsir Al-Ta’jizi Fi Al-Qur’an Al-
Karim, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1984)
M. Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun (Beirut: Dar Al-Fikr, 1976)
M. Quraisy Syihab, Tafsir Al-Qur’an Dengan Metode Maudhu’i (Jakarta: Perguruan Tinggi
Ilmu Al-Qur’an, 1986)

_______ Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)
_______ Beberapa Aspek Ilmiyah Tentang Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)
Nasrudin Baidan, Metode penafsiran Al-Qur’an (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Poerwadarminta, Kamus umum bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 1986)
Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an (Kairo: Mushthafa Al-Bab Al-Halabi,
1350H)
William Collins, Noah Webster, (New York: Century, 1980)