I.
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Al Quran, berarti membahas tentang suatu
kitab yang suci nan sakral. Al Quran sebagai rahamat linnas wa rahmatal lil
‘alamiin, menjadikan kitab suci ini sebagai landasan dan huda dalam
menapak jejak kehidupan di dunia ini.Dalam Al Quran yang menjadi mukjizat
Rasulullah Saw, didalamnya banyak terkandung hikmah dan interpretasi yang
luas, sehingga ketika membaca Al Quran maka kita akan mendapatkan makna-makna
yang lain ketika kita membacanya lagi. Inilah yang menjadikan Al Quran terasa
nikmat ketika dibaca dan terasa tenang dihati ketika mendengarnya, walaupun
yang mendengarnya itu seorang ‘Ajami yang tidak paham bahasa Al Quran.
Dalam bermuamalah dengan Al Quran, terkadang kita
mendapatkan ayat-ayat yang sulit untuk dipahami maksudnya. kita memerlukan
sebuah perangkat untuk memahami kandungan Al Quran, yang kita kenal dengan
istilah tafsir. bahkan sahabat nabi terkadang masih sulit untuk memahami Al
Quran. Sehingga ketika para sahabat tidak mengetahui makna atau maksud
suatu ayat dalam Al Quran, mereka langsung merujuk kepada Rasulullah dan
menanyakan hal tersebut.
Sebagai umat Islam yang baik, tentunya kita tidak pernah
luput dalam bersentuhan dengan Al Quran, setidaknya dengan senantiasa
membacanya. Salah satu jalan yang ditempuh dalam bergelut dalam dunia tafsir,
setidaknya dengan mengetahui pengarang dan metodologi yang dipakai dalam
menginterpretasi Al Quran. Pada makalah yang singkat ini, kami mencoba
memaparkan salah satu mufassir terkenal, mufassir yang keilmuannya tidak ada
yang menandingi pada zamannya, dialah Fakhruddin Ar Razi.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dari
pemaparan di atas serta untuk menjelaskan tentang makalah ini, kami akan
merumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut :
A.
Bagaimana Biografi
dan Karya-karya Imam Fakhruddin Ar-Razi serta latar belakang kehidupannya?.
B.
Apa Sajakah Introduksi
yang terdapat dalam Kitab Tafsir Mafaatihul Goib?.
III.
PEMBAHASAN
A.
Beografi Imam Fakhruddin
Ar-Razi.
1.
Biografinya.
Nama lengkap beliau Abu Abdillah, Muhammad bin
Umar bin Alhusain bin Alhasan Ali, At Tamimi, Al Bakri At Thabaristani Ar
Rozi. beliau di juluki sebagai Fakhruddiin ( kebanggaan islam), dan
dikenal dengan nama Ibnu Al khatiib, yang bermadzhabkan Syafi’i. Beliau lahir
pada tahun 544 H[1].
Imam Fakhruddin Ar Razi tidak ada yang menyamai
keilmuan pada masanya, ia seorang mutakallim pada zamannya, ia ahli
bahasa, ia Imam tafsir dan beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu.
Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk
meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau. Imam Fakhruddin dalam
memberikan hikmah pelajaran beliau menggunakan bahasa arab dan bahasa asing.
Imam Fakhruddin telah menulis beberapa komentar
terhadap buku-buku kedokteran. Pada usia 35 tahun, ia telah menerangkan
bagian-bagian yang sulit dari al-qanun fi al-tibb kepada seorang dokter
terkemuka di Sarkhes, yaitu Abd al-Rahman bin Abd al-Karim.
Imam Fakhruddin Ar Razi wafat pada tahun 606 H.
Dikatakan beliau meninggal, ketika beliau berselisih pendapat dengan kelompok
Al karamiah tentang urusan aqidah, mereka sampai mengkafirkan Fakhruddin Ar
Razi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka meracuni Ar Razi,
sehingga beliau meninggal dan menghadap pada Rabbi Nya[2].
2.
Karya - Karyanya.
Imam Fakhruddin Ar Razi menguasai berbagai bidang keilmuan
seperti al-Qur’an, al-Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab,
perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika, dan kedokteran.
Selain telah menghafal al-Qur’an dan banyak al-Hadits, Fakhruddin al-Razi telah
menghafal beberapa buku seperti al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam
al-Haramain, al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri dan al-Mustasfa
karya al-Ghazali. Intelektual sezaman dengan Fakhruddin al-Razi; di antaranya
Ibn Rushd, Ibn Arabi, Sayfuddin al-Amidi dan Al-Suhrawardi.
Kecerdasan dan keilmuan beliau sangat tinggi, berbagai macam
ilmu dipelajari dan dikuasainya, hal itu bisa dibuktikan dengan kitab-kitab
karangan beliau, yang terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan,
dan tak heran jika Ibnu Katsir dalam bidayah wan nihayahnya menyebutkan,
bahwa karya tulis beliau mencapai sekitar dua ratusan buku. Dan kini
karangan-karangan beliau tersebar diseluruh Negara, diantaranya adalah :
Ø At Tafsir Al Kabiir atau yang kita kenal dengan Mafaatihul
Gaib,
Ø Al arba’in fi ushuluddiin, Ahkamul qiyaasi As syar’I,
Ø Al mahsul fi ilmi usul fiqh, Mukhtashar akhlak,
Ø Al mantiqul kabiir, Tafsir
Al-Fatihah,
Ø Tafsir Surah Al-Baqarah ala Wajhi
Aqli la Naqli,
Ø Tafsir Mafatihul Ulum, Nihayatul Uqul fi Dirayatil
Ushul,
Ø Ta’sisut Taqdis, Tahshilul Haq, Al-Khamishin fi
Ushuliddin,
Ø Ishmatul Anbiya’, Hudutsul Alaam, Sarh
Asmaulllah Al-Husna,
Ø AL-Muhshil fi Ilmil Kalam, Az-Zubdah
fi Ilmil Kalam,
Ø AL-Mulakhash fil Falsafah, Lubabul
Isyaraat,
Dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau yang
kami tidak bisa sebutkan disini. Setidaknya kita bisa mengambil contoh
dari kehidupan Intelektual Imam Fakhruddin Ar-Razi yang mampu menulis banyak
karya. 6 karya dalam ilmu Tafsir, 20 karya dalam ilmu Kalam, 9 karya dalam
bidang filsafat, 6 karya dalam ilmu Filsafat dan Kalam, 5 karya dalam Logika, 2
dalam Matematika, 6 karya dalam ilmu Kedokteran,(48 karya dalam MIPA) 9 karya
dalam ilmu Syariah, 4 karya dalam bidang sastra, dan masih puluhan lagi karyanya
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya.
3.
Latar
Belakang
Kehidupannya
a)
Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat
Fakhruddin ar-Razi
hidup di tengah kondisi masyarakat yang komplek. Kompletifitas masyarakat
tersebut terlihat dari keragaman agama dan aliran agama yang dianut masyarakat.
Sebagai seorang ilmuan, kematangan ilmunya terbangun dari sebuah dinamika dan
dialektika dengan kondisi yang mengitarinya. Misalnya, terjadi dialog pertama
dengan kaum mu’tazilah di Khawarizmi. Di samping itu, pernah pula terjdi dialog
dengan para ahli agama lain, terutama dengan seorang pendeta besar yang
dikagumi pengetahuannya oleh masyarakat Kristen pada waktu itu. Rekaman dialog
itu dituangkan dalam tulisannya yang berjudul al-Munazarat bayn al-Nasara.
Benturan pemikiran tidak
hanya terjadi dengan kaum mu’tazilah dan penganut agama non-Islam. Kelompok
pengagum pemikiran filsafat Ibnu Sina dikritik habis oleh Fakhruddin ar-Razi.
Sementara itu, ketika di Transaksonia, ia harus berhadapan dengan kelompok yang
menamakan dirinya sebagai aliran Karamiyah, yang menyebabkan ia harus eksodus
ke Ghazna-Afganistan[4].
b)
Kondisi Sosial Politik
Secara sosio-politik,
sebagai akibat jatuhnya dinasti Abbasiyah ke tangan bangsa Tartar, terjadi
kemunduran semangat intelektualitas Islam, baik dalam aspek politik, agama
maupun peradaban secara umum, terutama di daerah yang dikuasai kaum Sunni.
Kajian pemikiran filsafat di dunia Islam mengalami keterpurukan sebagai akibat
penjajahan.
Keadaan semacam inilah
yang mendorong Fakhruddin ar-Razi untuk mencoba menghubungkan kembali tradisi
pemikiran filsafat dalam dunia Islam. Karena perjuangan itu, Fakhruddin ar-Razi
dapat dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam abad ke-6 H, sebagaimana
Abu Hamid al-Ghazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh
pembangun sistem teologi melalui pendekatan filsafat.
Peranan Fakhruddin
ar-Razi dalam pengembangan keilmuan Islam tidak dapat dilepaskan dari perhatian
yang diberikan penguasa paada saat itu, ketika Fakhruddin ar-Razi meninggalkan
Khawarizmi menuju Transoksania (Asia tengah), ia disambut hangat penguasa
dinasti Guri, Giyatuddin, dan saudaranya, Syihabuddin. Hanya saja, keadaan
semacam ini tidak berjalan lama, karena ia mendapat serangan tajam dari
golongan Karamiyah.
B.
Kitab Tafsir Mafaatihul Goib.
1.
Karakteristik tafsir Mafaatihul Goib
Tafsir Mafaihul Ghaib atau yang dikenal sebagai
Tafsir al-Kabir dikategorikan sebagai tafsir bir ra’yi (tafsir yang menggunakan
pendekatan aqli), dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan Asy’ariyah. Tafsir
ini merujuk pada kitab Az-Zujaj fi Ma’anil Quran, Al-Farra’ wal Barrad dan
Gharibul Quran, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika.
Riwayat-riwayat tafsir bil ma’tsur yang jadi
rujukan adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Sudai, Said bin
Jubair, riwayat dalam tafsir At-Thabari dan tafsir Ats-Tsa’labi, juga berbagai
riwayat dari Nabi saw, keluarga, para sahabatnya serta tabi’in. Sedangkan
tafsir bir ra’yi yang jadi rujukan adalah tafsir Abu Ali Al-Juba’i, Abu Muslim
Al-Asfahani, Qadhi Abdul Jabbar, Abu Bakar Al-Ashmam, Ali bin Isa Ar-Rumaini,
Az-Zamakhsyari dan tafsir Abul Futuh Ar-Razi.
Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Ar-Razi
tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh. Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam
Ar Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajalnya menjemputnya sebelum ia
menyelesaikan tafsir Al Kabiir. Ibnu Khulakan dalam kitabnya wafiyatul
a’yan nya juga berkata demikian.Jadi siapa yang menyempurnakan dan
menyelesaikan tafsir ini?dan sampai dimana beliau mengerjakan tafsirnya?[5].
Ibnu hajar Al ‘Asqalani menyatakan pada
kitabnya ,” Yang menyempurnakan tafsir Ar Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin
Abi Al Hazm Makky Najamuddin Al Makhzumi Al Qammuli, wafat pada tahun 727 H,
beliau orang mesir[6].
Dan penulis kasyfu Ad dzunuun juga menuturkan,” Yang merampungkan tafsir
Ar Razi adalah Najamuddin Ahmad bin Muhammad Al Qamuli, dan beliau wafat
tahun 727 H. Qadi Al Qudat Syahabuddin bin Khalil Al Khuway Ad Dimasyqy, juga
menyempurnakan apa yang belum terselesaikan, beliau wafat tahun 639 H[7].
Kemudian, sampai dimana Ar Razi terhenti dalam
menulis tafsirnya? DR. Muhammad Husain Ad Zahabi menjelaskan pada kitabnya tafsir
al mufassiruun,” Imam Fakhruddin telah menulis tafsirnya sampai surah Al
Anbiya, setelah itu datang Syihabuddin Al Khaubi melanjutkan tafsir
ini, namun beliau belum menyelesaikan seluruhnya, kemudian datang Najamuddin
Al Qamuli menyempurnakan tafsir Ar Razi[8].
Ad Zahabi juga mengatakan bisa jadi yang menyelesaikan tafsir Ar Razi sampai
akhir adalah Al Khuway. Namun, Sayyid Muhammad Ali Iyazi, dengan merujuk pada
keterangan Syaikh Muhsin Abdul Hamid, memberikan klarifikasi bahwa sekelompok
mufasir era belakangan yang meneliti tafsir ini menetapkan kitab tafsir
ini sebagai karya mandiri dari Ar-Razi secara utuh.
Adapun maksud tafsir ini dan segala uraiannya,
antara lain:
Pertama; menjaga dan
membersihkan Al Quran beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan
rasional yang dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadap Al
Quran.
Kedua; pada sisi
lain, Ar-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah swt dengan dua hal. Yaitu
“bukti terlihat”, dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti
terbaca”, dalam bentuk Al Quran. Apabila merenungi hal yang pertama secara
mendalam, kita akan semakin memahami hal yang kedua. Karena itu Ar-Razi
merelevansikan keyakinan ilmiyah dengan kebenaran ilmiyah dalam tafsirnya.
Ketiga; Ar-Razi ingin
menegaskan sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai
materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat Al Quran, selama
berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang jelas, yaitu kaidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.
2.
Volume Kitab
Imam
Fahruddin Ar-Razy melalui kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib atau At-Tafsir Kabir.
Dalam kitab yang cukup kontroversial di kalangan mufassir konservatif tersebut
Imam Fahruddin Ar-Razy memaparkan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang sangat
menonjol dalam ilmu-ilmu naqli dan ‘aqli bahkan ia anggap memiliki keterkaitan
dengan ayat-ayat Al-Quran[9].
Sementara
bagi ulama lain yang menerima karyanya, Mafatih Al-Ghaib atau At-Tafsir
Al-Kabir yang terdiri dari 8 jilid itu justru dilihat memiliki berbagai
keistimewaan. Di antaranya dalam penjelasan munasabah atau korelasi
(keterkaitan) antar ayat atau antar surah. Dalam menguraikan penafsiran
suatu ayat, ia selalu menguraikan pembahasan yang memadai tentang munasabah
antar ayat tersebut dengan ayat-ayat lain, bahkan antara surah dengan surah
yang lain[10].
3.
Sistematika Penulisan Tafsir
Adapun sistematika penulisan Tafsir aar-Razy,
yaitu menyebut nama surat, tempat turunnya, bilangan ayatnya,
perkataan-perkataan yang terdapat didalamnya, kemudian menyebut satu atau
beberapa ayat, lalu mengulas munasabah antara satu ayat dengan ayat sesudahnya,
sehingga pembaca dapat terfokus pada satu topic tertentu pada sekumpulan ayat.
Namun ar-Razi tidak hanya munasabah antara ayat saja, ia juga menyebut
munasabah antara surat.
Setelah itu ar-Razi mulai menjelaskan maslah
dan jumlah masalah tersebut, misalnya ia mengatakanj bahwa dalam sebuah ayat
al-Qur’an terdapat beberapa yang jumlahnya mencapai sepuluh atau lebih. Lalu
menjelaskan masalah tersebut dari sisi nahwunya, ushul, sabab al-nuzul, dan
perbedaan qiraat dan lain sebagainya.
Sebelum ia menjelaska suatu ayat, ar-Razi
terlebih dahulu mengungkapkan penafsiran yang bersumber dari Nabi, Sahabat,
tabi’in ataupun memaparkan masalah antara nasikh dan mansukh, bahkan jarh
wat’ta’dil barulah ia menafsirkan ayat disertai argumentasi ilmiyahnya dibidang
ilmu pengtahuan, filsafat, ilmu alam maupun yang lainnya.
4.
Metode Penafsiran
a)
Sumber penafsiran.
Kitab tafsir Mafatihul ghoib tergolong tafsir
bi al-ra’yi atau bil ijtihad, al-dirayah atau bi al-ma’qul, karena
penafsirannya didasarkana ats sumber ijtihat dan pemikiran terhadap tuntutan kaidah
bahasa arab dan kesusastraan, serta teori ilmu pengetahuan. Karena didalam
karya ini fakhruddin ar-razi banyak mengemukakan ijtihadnya mengenai arti yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an disertai dengan penukilan dari
pendapat-pendapat ulama’ dan fuqaha’. Dalam menafsirkan ayat demi ayat
fakhruddin ar-razy memberika porsi yang terbatas untuk hadis, bahkan ketika ia
memaparkan pendapat para fuqaha’ terkait perdebatan seputar fiqih beliau
mempaparkannya dan mendebatnya tanpa menjadikan hadis sebagai dasr pijakan. Ini
adalah salah satu kitab tafsir yang komperhensif, karena menjelaskan seluruh
ayat al-Qur’an, sang pengarang berusaha menangkap substansi ruh yang terkandung
dalan setia ayat al-Qur’an[11].
b)
cara penjelasan.
Adapun cara penjelasan kitab ini bisa di
kategorikan sebagai kitab tafsir muqarin. Karena Fakhruddin ar-razy dalam
penafsirannya sering mengkoperasikan pendapatnya atau pendapat seorang ulama
lainnya. Nama beberapa ulama’ selain sahabat dan tabiin dalam berbagai disiplin
ilmu yang sering kali disebutkan pendapatnya dan dikomperasikan antara lain
adalah: al-syafi’I, abu hanifah, malik ahmad ibn hambal, al-ashary, al-Ghazali,
kelompok Mu’tazilah dan Ash’ariyah, hasan al-Bisyri, al-Zamahsary, al-Farrah,
ibn Katir dan masih banyak lagi.
c)
keluasan penjelasan
Di tinjau dari segi keluasan penjelasan, kitab
tafsir mafatihul ghaib bisa dikategorikan sebagai kitab tafsir yang sangat luas
penjelasannya dan mendetail (rinci) atau tafsili, bahkan mungkin bisa dikatan
terlalu luas untuk ukuran kitab tafsir. Karena dalam kitab tersebut terdapat
berbagai pembahasan, mulai dari kebahasaan sastra, fiqih, ilmu kalam, filsafat,
ilmu eksakta, fisika, falak dan lain sebagainya.
Dalam kitab tersebut terdapat penafsiran yang
begitu luas, satu ayat dengan 3-7 masail
dan satu surat dijelaskan dengan 8-10 fasal, tentulah ini cukup menggambarkan
keluasan pembahaan dalam penafsiran kitab Mafatihul ghaib.
d)
sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan
tafsir Mafatihul ghaib disusun oleh Fakgruddin
ar-Razy secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat. Semuanya sesuai
dengan urutan yang ada dalam mushaf, dimulai dari penafsiran terhadap surat
al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai. Karena disusun secara berurutan
ayat demi ayat maka kitab tersebut dikategorikan tahlily. Dan karena disusun
berurutan surat demi surat maka kitab tersebut bisa dikategorikan Mushafy.[12]
5.
Corak Tafsi.
a)
Perhatiannya dengan menjelaskan munasabah
antar surah.
Dr. Ad Zahabi menjelaskan, bahwa Ar Razi sangat
mementingkan munasabah antar ayat dengan ayat lain, dan surah dengan
surah yang lain, bahkan Ar Razi tidak hanya menyebutkan satu munasabah
saja, tapi menyebutkan banyak munasabah.
b)
Perhatian Ar Razi pada ilmu riyadhiyah,
dan fisafat.
Ar Razi dalam tafsirnya sangat memperhatikan
terhadap ilmu riyadhiyah ( ilmu pasti), filsafat dan lain sebagainya.
Beliau juga memaparkan argumen-argumen filsafat kemudian membantahnya dengan
argumen yang lebih kuat.Walaupun beliau membantah dengan menggunakan dalil
akal, namun tetap sejalan dengan keyakinan ahlusunnah. Penulis kasyfu
ad zunuun mengatakan,” Didalam tafsir Ar Razi terdapat begitu banyak
perkataan-perkataan mutakallimiin dan filosof. Ia keluar dari
permasalahan kepermasalahan yang lain, sehinggga membuat pembaca mengagumi
tafsir beliau”.
c)
Sikap beliau terhadap Muktazilah
Ar Razi, beliau sangat serius dalam menghadapi
muktazilah, dalam tafsirnya, terlebih dahulu beliau memaparakan
pendapat-pendapat muktazilah dan kemudian beliau membantah dengan argumen yang
kuat. Ibnu Hajar pernah mengatakan,” Bahwa Ar Razi dicela karena banyak
meriwayatkan syubhat secara tunai dan mengatasinya secara kredit”. Namun hal
ini tidak mengurangi kehebatan beliau sebagai seorang ulama yang memperjuangkan
agama islam.
d)
Pandangannya terhadap Ilmu Fiqih, Usul, Nahwu
dan Balaghah.
Fakhru Ar Razi hampir-hampir tidak melewatkan
ayat-ayat hukum kecuali beliau sebutkan semua mazhab-mazhab fiqih[13]. Begitu
juga ketika beliau memaparkan masalah-masalah fiqih, nahwu dan balaghah, namun
beliau tidak berbicara panjang lebar pada masalah tersebut lebih dari
pembahasan beliau yang berkaitan dengan alam ini, dan riyadhiah[14].
Dengan keluasan dan pemahaman beliau terhadap
ilmu fiqih, sampai-sampai beliau pernah mengutarakan,”Ketahuilah suatu waktu,
terlintas pada lisanku, bahwa surat yang mulia ini yaitu Al fatihah bisa
ditarik hikmah-hikmah dan permasalahan sebanyak sepuluh ribu[15].
Al-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap
seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan
ayat terakhir surah al-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan
kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode
tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan
aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani.
Aspek lain
yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di
mana ketika al-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau
kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata ان قلت, in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian,
ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan قلت, qultu (saya
menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog
dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas
pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab
al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid al-Zamakhsyari dan
ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang
kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya :
"Sesungguhnya
aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa
Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk
menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat
yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka
merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari
hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat
menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang
diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai
aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang
berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian
hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya
menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban,
serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".
Penyusunan
kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada
kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik
dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra. Pada sisi lain
karya al-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik
ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap
berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para
ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif.
Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang
secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj al-Zamakhsyari fi
Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa
al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir
al-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa[16].
Dari
kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir
al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir
itu, yaitu:
1) Al-Zamakhsyari telah menampilkan
dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah.
2) Penampilan dirinya sebagai penafsir
atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi.
3) Penampilan dirinya sebagai ahli
bahasa.
4) Penampilan dirinya sebagai ahli
nahwu.
5) Penampilan dirinya sebagai ahli
qira’at.
6) Penampilan dirinya sebagai seorang
ahli fiqh.
7) Penampilan dirinya sebagai seorang
sastrawan,
8) Penampilan dirinya sebagai seorang
pendidik spiritual[17].
6.
Timbangan Terhadap Kitab
a)
Kelebihan Tafsir
dari
sekian banyak ulama yang meneliti tentang tafsirnya al-rozi, maka di temukanlah
beberapa kelebihan yang terdapat dalam tafsirnya antara lain:
1)
Dia sangat mengutamakan munasabah (korelasi)
surat dan ayat dengan keilmuan yang berkembang. Bahkan tak jarang beliau
menyebutkan lebih dari satu munasabah untuk satu ayat tertentu atau surat
tertentu.
2)
Beliau bisa menghubungkan tafsir itu dengan
ilmu riadhiyah (matematika) dan falsafah, serta ilmu lainnya yang di anggap
baru di kalangan agama pada masanya.
3)
Beliau bisa menjelaskan tentang akidah yang
berbeda dan bisa mencocokkan di mana perbedaan itu.
4)
Beliau mengemukakan tentang balaghoh al quran
dan menjelaskan beberapa kaidah usul.
b)
Keterbatasan Tafsir
Ada
beberapa ulama yang telah mengkritik kitab tafsir mafatihul ghoib karya
fahrudin ar rozi di antaranya adalah :
1)
Fahrudin ar rozi terlalu banyak
mengumpulkan masalah dan pembahasan
dalam tafsirnya. Sampai pembahasan yang tidak bersangkutpaut dengan ayat atau
yang ditafsirkan pun ia sebutkan. Bahkan lebih tegas lagi, beberapa ulama
mengatakan bahwa di dalam nya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.
2)
Dalam tafsir tersebut, ia terlalu banyak
mencantumkan hal-hal yang tidak berhubungan tafsir, secara berlebihan.
3)
At-Tufi mengatakan bahwa banyak kekurangan yang
ditemukan dalam kitab tafsir mafatihul ghaib.
IV.
KESIMPULAN
Ar-Razi merupakan sosok intelektual
islam yang hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah. Nama lengkapnya Abu Abdullah
Muhammad bin Umar bin Husain bin al-Hasan bin Ali al-Quraisyi At-taini al-Bakri
ath-Tabrasani al-Razi dan ia mendapat gelar Fakgruddin, tapi dia juga masyhur
dengan nama al-Khattab al-Razi dilahirkan pada pada tanggal 15 Ramadlan 543
H/1149 M di Ray.
Penulis tafsir Mafatihul ghaib ialah
menggunakan metode tahlily, tafsir ar-Razi banyak membahas masalah ketuhanan
atau ilmu kalam, ilmu kalam dan kosmografi dan keilmuan lain dan sebagainya.
Al-Razi merelefansikan antara keyakinan ilmiyah dengan kebenaran ilmiyah dalam
tafsirnya tersebut.
Demikianlah makalah yang dapat saya
sampaikan, dan kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam makalah
ini, karenanya saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan, baik
dari kalangan pembaca maupun dosen untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
v Abidu, Yunus Hasan, Dirasat wa Mabahits fi Tarikh al-Tafsir wa
Manahij al-
Mufassirin (Tafsir Al-Qur’an Sejarah Tafsir dan
Metode Para Mufassir),terj. Qadirun Nur, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2007.
v Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, ( Beirut : Darul Kutub al-‘Alamiyah) 2003.
v Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut : Darul
al-Fikr), 1994.
v Muhammad husai az zahabi, at
tafsir wal mufassiruun, darul hadits kairo,th. 2005.
v Manna’ Khalil al Qattan, Mabahist fi ulumil Qur’an, perj,
Mudzakir, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta.
v Mahmud, Mani’ Abdul Haklim, Metodologi Tafsir (kajian komprehensif
metode para tafsir), (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2006).
[1] Muhammad husai az zahabi, at
tafsir wal mufassiruun, darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1 hal. 248.
[3]
Manna’ Khalil al Qattan, Mabahist fi ulumil Qur’an, perj,
Mudzakir, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, hlm, 529.
[5]
Muhammad Husain Az zahabi, , at tafsir wal mufassiruun,
darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1, hal 249.
[8]
Manna’ Khalil al Qattan, Mabahist fi ulumil Qur’an, perj,
Mudzakir, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, hlm, 507.
[9]
Mabahist fi ulumil Qur’an, perj, Mudzakir, Pustaka Litera
AntarNusa, Jakarta, hlm, 506.
[10]
Ibit, hlm 506 – 507.
para tafsir), (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada,
2006)
[13]
Muhammad Husain Az zahabi, , at tafsir wal mufassiruun,
darul hadits kairo,th. 2005, jilid 1, hal 253.
[16] Abidu, Yunus Hasan, Dirasat
wa Mabahits fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin (Tafsir Al-Qur’an
Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir),terj. Qadirun Nur, (Jakarta : Gaya
Media Pratama), 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar