Sabtu, 08 Juni 2013

PANDANGAN PARA SAHABAT TERHADAP EKSISTENSI HADITS



Makalah

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Sejarah Pemikiran Hadits
Dosen Pengampu: Drs. Ma’mun Mu’min, M.Ag.




Disusun Oleh :

Akhmad Syaifuddin : 311020



 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
Program Studi Tafsir Hadits



I.     PENDAHULUAN
       Para sahabat hidup bersama Rasul s.a.w, mereka berinteraksi dengan Rasul s.a.w setiap harinya, di berbagai waktu dan tempat. Walaupun tidak semua sahabat dapat bersama-sama berinteraksi secara rutinitas dengan Rasul s.a.w, dan ketidak-hadiran mereka disebabkan beberapa hal, diantaranya karena kesibukan akan tugas sehari-hari, karena tempat tinggalnya yang jauh, dan karena rasa malu jika bertanya secara langsung kepada Rasul s.a.w.
       Keberadaan sahabat memiliki peranan penting dalam proses yang berkesinambungan, mereka seperti jembatan menuju perubahan dan peradaban. Mereka adalah generasi pertama yang mengukir sejarah yang telah berjalan ribuan tahun dan mereka adalah lulusan terbaik dari madrasah yang diasuh Rasul s.a.w.

II.  RUMUSAN MASALAH
       1. Bagaimana para Sahabat menerima hadis dan menyampaikannya?
       2. Bagaimana para sahabat menjaga hadits?

III.   PEMBAHASAN
A.  Cara Sahabat Menerima Hadits dan Menyampaikannya
            Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi sasaran perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan sebagai pedoman hidup[1].
Berdasarkan kondisi para sahabat yang beragam, M. Ajaj Al-Khatib menuliskan empat cara sahabat memperoleh sunnah dari Rasul s.a.w yaitu sebagai berikut :
a. Majlis – majlis Rasul. b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Rasul. c. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin.d. Berbagai peristiwa dan kejadian yang disaksikan oleh sahabat, bagaimana Rasul s.a.w melaksanakannya[2].
Dari keempat cara tersebut, secara mendalam  dapat dibagi lagi kepada dua cara, yaitu :
a.       Secara Langsung dan, b. Secara Tidak Langsung,

.      Cara sahabat menyampaikan hadis.
Setelah mereka menerima hadis dari Rasul s.a.w, para sahabatpun menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak hadir. Ada perbedaan lafaz saat sahabat menyampaikan ayat-ayat Alquran dan saat menyampaikan hadis dari Rasul s.a.w, M. Noor Sulaiman menjelaskan jika berkenaan dengan wahyu, maka sahabat menyampaikannya secara lafdzi (harfiah) sebagaimana yang mereka terima dari Rasul s.a.w.[3]
Sedangkan penyampaian hadis, dilakukan dengan dua cara, yaitu :
       1)  Dengan lafaz asli atau disebut juga lafzhiyyah,
Maksudnya  adalah  mereka  melafazkan  sesuai  dengan lafaz  yang mereka terima dari Rasul. Sahabat yang melakukan cara ini karena kuat daya ingat dan daya hafalnya, di samping itu saat Rasulullah menyampaikan hadis yang khusus dalam kajian ini adalah hadis qauli.
       2)  Dengan makna (ma’nawi)
Maksudnya para sahabat menyampaikan hadis yang diisinya berdasarkan apa yang disampaikan Rasul s.a.w tetapi redaksinya disusun sendiri oleh mereka.

Faktor-Faktor yang Menjamin Kesinambungan Hadis
Nawir Yuslem menyatakan ada empat faktor yang menjamin kesinambung-an hadis, Yaitu;
a. Quwwat al-dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para saabat yang menerima dan mendengarkan langsung hadis-hadis dari Nabi s.a.w, dan ketika mereka meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada sahabat atau generasi berikutnya, serupa seperti yang mereka hafal dari Nabi.
b. Kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah s.a.w, karena dikhawatirkan terdapat kesalahan atau tercampur sesuatu yang bukan hadis.
c. Kehati-hatian mereka dalam menerima hadis, mereka tidak tergesa-gesa dalam menerima hadis dari seseorang, kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain yang ikut mendengarkannya dari Nabi s.a.w, atau dari perawi lain.
d. Pemahaman terhadap ayat, Mushthafa al-Siba’i berpendapat, bahwa yang dijamin terpelihara dari usaha pengubahan (pemutarbalikan) adalah Al-Dzikr (Al-quran), selain dari al-quran juga meliputi hadis[4].

B.  Pemeliharaan Hadis pada Masa Sahabat
Menurut Ramli Abdul Wahid, ada dua poin penting tentang metode sahabat memelihara kemurnian sunnah Rasul s.a.w, sebagai berikut[5]:
a.  Taqil ar-Riwayah Dalam Taqil ar-Riwayah dimaksudkan adanya upaya untuk meminimalisasi periwayatan hadis. 
b.  Man’u ar-Ruwat min at-Tahdits bima Ya’lu ‘ala Fahm al-‘Ammah.
Metode kedua ini merupakan gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tertentu. Pelarangan ini sendiri dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sama.

Penyebar-luasan Periwayatan Hadis
Ketika terjadi perluasan daerah Islam khususnya pada masa kekhalifahan Utsman ibn ‘affan,  para sahabat mendirikan masjid-masjid didaerah-daerah baru seperti jazirah Arabiya, wilayah Syam (Paestina, Yordania, Siria dan Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia dan kawasan Samarkand, para sahabat menyebarkan ajaran Islam dengan mengajarkan Al-quran dan hadis Nabi s.a.w kepada penduduk setempat, para sahabat pada masa ini mulai mengeluarkan khazanah dan koleksi hadis yang selama ini mereka miliki, mereka saling mentransfer hadis sehingga terjadilah peningktan kuantitas periwayatan hadis.
Berikut beberapa kota yang banyak terdapat para sahabat dan  aktivitas periwayatan hadis:[6]
a. Madinah, di kota Madinah ini terdapat para sahabat yang mempunyai ilmu yang luas dan mendalam tentang hadis, diantaranya Khulafa’ al-Rasyidin yang empat, Aisyah r.a, Abd Allah ibn Umar,Abu Sa’id al-Khudri, Zaid ibn Tsabit dan lainnya.
b. Mekah, setelah Mekah ditaklukkan, Mu’adz ibn Jabal ditunjuk sebagai guru yang mengajarkan ajaran Islam dan hadis pada penduduk setempat, peranan kota Mekah dalam hal penyebarluasan hadis sangat signifikan, terutama pada musim haji, karena para sahabat saling bertemu. Di kota Mekah ini muncul para ulama hadis seperti Mujahid, Atha’ ibn Rabah, Thawus ibn Kisan, Ikrimah maula ibn Abbas, dan lainnya.
c. Kufah, di Kuffah terdapat sejumlah sahabat  penyeb ajaran Islam, termasuk hadis, diantaranya Ali ibn Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqas, Abd Allah ibn Mas’ud, dan lainnya.
d. Basrah, di kota Basraah ini terdapat sejumlah sahabat, seperti anas ibn Malik, Abu Musa al-Asy’ari, dan lainya.

Penulisan Hadis di Masa Sahabat
Periode kedua perkembangan hadis adalah pada masa sahabat khususnya khulafa’ ar-rasyidin. Masa ini terhitung sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang disebut dengan masa sahabat besar.
Pada masa khulafa’ ar-rasyidin, perhatian sahabat tertuju hanya pada pemeliharaan dan penyebaran Alquran, karena itu periwayatan hadis bukan saja tidak berkembang akan tetapi dibatasi, dan diperketat periwayatannya.
Walaupun ada hadis yang membolehkan untuk menulis hadis. Para sahabat seperti enggan untuk melakukannya dengan alasan untuk memelihara Alquran. Dalam catatan sejarah, Abu Bakar adalah seorang sahabat yang berpendirian tidak menuliskan hadis, walaupun ia mengumpulkan sebanyak 500 hadis dari Rasul s.a.w, dan ia lebih memilih untuk membakarnya.
Umar bin Khathtab memiliki keinginan untuk membukukan sunnah, kemudian ia meminta fatwa dari sahabat lain dan ketika ia sudah mendapat izin untuk menuliskannya, Umar melakukan shalat istikharah selama sebulan. Hasilnya adalah Umar mengurungkan niatnya untuk membukukan sunnah disebabkan kekhawatirannya terhadap umat yang akan berpaling untuk mempelajari sesuatu dan menyenyampingkan Alquran. Dan karena kehati-hatian para sahabat dalam menerima hadis, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathtab tidak menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain, dan ‘Ali bin  Abi Thalib tidak menerima hadis sebelum yag meriwayatkan itu disumpah[7]. Atas dasar inilah, pada masa khulafa Ar-Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan (taqlil ar-riwayah).
Abdul Majid menuliskan enam orang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu :
a.  Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis
b. Abdullah bin Umar bin al-Khaththab sebanyak 2.635 buah hadis.
c.  Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis
d. Aisyah Ummi al-Mukmini sebanyak 2.210 buah hadis.
e. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis dan
f. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.[8]


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid, Ulumul Hadis, cet. 4, Jakarta: Amzah, 2010.
Ajaj Khathib, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,  cet.5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010.
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Nawir Yuslem,  Ulumul Hadis, Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005.



[1]. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,  cet.5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010, hal. 10.
[2] Ajaj Khathib, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, hal. 57.
[3]. M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008, hal.15.
[4]  Nawir Yuslem,  Ulumul Hadis, Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001, hal. 106.
[5] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005, hal. 154.
[6] Ibid. hal. 123.
[7] Ibid. hal. 108.
[8] Abdul Majid, Ulumul Hadis, cet. 4, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 203.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar