Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Sejarah Pemikiran Hadits
Dosen Pengampu: Drs. Ma’mun Mu’min, M.Ag.
Disusun Oleh :
Akhmad Syaifuddin : 311020
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
Program Studi Tafsir Hadits
I.
PENDAHULUAN
Para sahabat hidup bersama Rasul s.a.w, mereka berinteraksi
dengan Rasul s.a.w setiap harinya, di berbagai waktu dan tempat. Walaupun tidak
semua sahabat dapat bersama-sama berinteraksi secara rutinitas dengan Rasul
s.a.w, dan ketidak-hadiran mereka disebabkan beberapa hal, diantaranya karena
kesibukan akan tugas sehari-hari, karena tempat tinggalnya yang jauh, dan
karena rasa malu jika bertanya secara langsung kepada Rasul s.a.w.
Keberadaan
sahabat memiliki peranan penting dalam proses yang berkesinambungan, mereka
seperti jembatan menuju perubahan dan peradaban. Mereka adalah generasi pertama
yang mengukir sejarah yang telah berjalan ribuan tahun dan mereka adalah
lulusan terbaik dari madrasah yang diasuh Rasul s.a.w.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana para Sahabat menerima hadis dan menyampaikannya?
2. Bagaimana para sahabat menjaga hadits?
III. PEMBAHASAN
A.
Cara Sahabat Menerima Hadits dan
Menyampaikannya
Seluruh
perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi
sasaran perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan
sebagai pedoman hidup[1].
Berdasarkan kondisi para
sahabat yang beragam, M. Ajaj Al-Khatib menuliskan empat cara sahabat
memperoleh sunnah dari Rasul s.a.w
yaitu sebagai berikut :
a. Majlis – majlis
Rasul. b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Rasul. c.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin.d. Berbagai peristiwa
dan kejadian yang disaksikan oleh sahabat, bagaimana Rasul s.a.w
melaksanakannya[2].
Dari keempat
cara tersebut, secara mendalam dapat dibagi lagi kepada dua cara, yaitu :
a.
Secara Langsung dan, b. Secara Tidak
Langsung,
. Cara
sahabat menyampaikan hadis.
Setelah mereka menerima hadis dari Rasul s.a.w,
para sahabatpun menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak hadir. Ada perbedaan
lafaz saat sahabat menyampaikan ayat-ayat Alquran dan saat menyampaikan hadis
dari Rasul s.a.w, M. Noor Sulaiman menjelaskan jika berkenaan dengan wahyu,
maka sahabat menyampaikannya secara lafdzi
(harfiah) sebagaimana yang mereka terima dari Rasul s.a.w.[3]
Sedangkan penyampaian hadis, dilakukan dengan
dua cara, yaitu :
1) Dengan lafaz asli atau
disebut juga lafzhiyyah,
Maksudnya
adalah mereka melafazkan sesuai dengan lafaz
yang mereka terima dari Rasul. Sahabat yang melakukan cara ini karena
kuat daya ingat dan daya hafalnya, di samping itu saat Rasulullah menyampaikan
hadis yang khusus dalam kajian ini adalah hadis qauli.
2) Dengan makna (ma’nawi)
Maksudnya para
sahabat menyampaikan hadis yang diisinya berdasarkan apa yang disampaikan Rasul
s.a.w tetapi redaksinya disusun sendiri oleh mereka.
Faktor-Faktor yang Menjamin Kesinambungan Hadis
Nawir Yuslem menyatakan ada empat faktor yang
menjamin kesinambung-an hadis, Yaitu;
a. Quwwat al-dzakirah, yaitu kuatnya hafalan
para saabat yang menerima dan mendengarkan langsung hadis-hadis dari Nabi
s.a.w, dan ketika mereka meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada sahabat atau
generasi berikutnya, serupa seperti yang mereka hafal dari Nabi.
b. Kehati-hatian para sahabat dalam
meriwayatkan hadis dari Rasulullah s.a.w, karena dikhawatirkan terdapat
kesalahan atau tercampur sesuatu yang bukan hadis.
c. Kehati-hatian mereka
dalam menerima hadis, mereka tidak tergesa-gesa dalam menerima hadis dari
seseorang, kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain yang ikut
mendengarkannya dari Nabi s.a.w, atau dari perawi lain.
d. Pemahaman terhadap
ayat, Mushthafa al-Siba’i berpendapat, bahwa yang dijamin terpelihara dari
usaha pengubahan (pemutarbalikan) adalah Al-Dzikr
(Al-quran), selain dari al-quran juga meliputi hadis[4].
B. Pemeliharaan Hadis pada Masa Sahabat
Menurut Ramli Abdul Wahid, ada dua poin penting
tentang metode sahabat memelihara kemurnian sunnah Rasul s.a.w, sebagai berikut[5]:
a. Taqil
ar-Riwayah Dalam Taqil
ar-Riwayah dimaksudkan adanya upaya untuk meminimalisasi periwayatan
hadis.
b. Man’u ar-Ruwat min at-Tahdits bima Ya’lu ‘ala Fahm al-‘Ammah.
Metode kedua ini merupakan gerakan pelarangan
riwayat karena dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat
tertentu. Pelarangan ini sendiri dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif
untuk menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar.
Sebab, masyarakat umum tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sama.
Penyebar-luasan Periwayatan Hadis
Ketika terjadi perluasan daerah Islam khususnya
pada masa kekhalifahan Utsman ibn ‘affan, para sahabat mendirikan
masjid-masjid didaerah-daerah baru seperti jazirah Arabiya, wilayah Syam
(Paestina, Yordania, Siria dan Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia
dan kawasan Samarkand, para sahabat
menyebarkan ajaran Islam dengan mengajarkan Al-quran dan hadis Nabi s.a.w
kepada penduduk setempat, para sahabat pada masa ini mulai mengeluarkan
khazanah dan koleksi hadis yang selama ini mereka miliki, mereka saling
mentransfer hadis sehingga terjadilah peningktan kuantitas periwayatan hadis.
a. Madinah, di kota Madinah
ini terdapat para sahabat yang mempunyai ilmu yang luas dan mendalam tentang
hadis, diantaranya Khulafa’ al-Rasyidin yang empat, Aisyah r.a, Abd Allah ibn
Umar,Abu Sa’id al-Khudri, Zaid ibn Tsabit dan lainnya.
b. Mekah, setelah
Mekah ditaklukkan, Mu’adz ibn Jabal ditunjuk sebagai guru yang mengajarkan
ajaran Islam dan hadis pada penduduk setempat, peranan kota Mekah dalam hal
penyebarluasan hadis sangat signifikan, terutama pada musim haji, karena para
sahabat saling bertemu. Di kota Mekah ini muncul para ulama hadis
seperti Mujahid, Atha’ ibn Rabah, Thawus ibn Kisan, Ikrimah maula ibn Abbas,
dan lainnya.
c. Kufah, di Kuffah
terdapat sejumlah sahabat penyeb ajaran
Islam, termasuk hadis, diantaranya Ali ibn Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqas, Abd
Allah ibn Mas’ud, dan lainnya.
d. Basrah, di kota Basraah
ini terdapat sejumlah sahabat, seperti anas ibn Malik, Abu Musa al-Asy’ari, dan
lainya.
Penulisan Hadis di Masa Sahabat
Periode kedua perkembangan hadis adalah pada
masa sahabat khususnya khulafa’
ar-rasyidin. Masa ini terhitung sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang disebut
dengan masa sahabat besar.
Pada masa khulafa’ ar-rasyidin, perhatian sahabat
tertuju hanya pada pemeliharaan dan penyebaran Alquran, karena itu periwayatan
hadis bukan saja tidak berkembang akan tetapi dibatasi, dan diperketat
periwayatannya.
Walaupun ada hadis yang membolehkan untuk
menulis hadis. Para sahabat seperti enggan untuk melakukannya dengan alasan
untuk memelihara Alquran. Dalam catatan sejarah, Abu Bakar adalah seorang
sahabat yang berpendirian tidak menuliskan hadis, walaupun ia mengumpulkan
sebanyak 500 hadis dari Rasul s.a.w, dan ia lebih memilih untuk membakarnya.
Umar bin Khathtab memiliki
keinginan untuk membukukan sunnah,
kemudian ia meminta fatwa dari sahabat lain dan ketika ia sudah mendapat izin
untuk menuliskannya, Umar melakukan shalat istikharah selama sebulan. Hasilnya
adalah Umar mengurungkan niatnya untuk membukukan sunnah disebabkan kekhawatirannya terhadap umat yang akan berpaling
untuk mempelajari sesuatu dan menyenyampingkan Alquran. Dan karena kehati-hatian
para sahabat dalam menerima hadis, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathtab
tidak menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seseorang yang
lain, dan ‘Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadis sebelum yag
meriwayatkan itu disumpah[7]. Atas dasar
inilah, pada masa khulafa Ar-Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan
periwayatan (taqlil ar-riwayah).
Abdul Majid menuliskan enam orang sahabat yang
paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu :
a. Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah
hadis
b. Abdullah bin Umar bin al-Khaththab
sebanyak 2.635 buah hadis.
c. Anas bin Malik sebanyak 2.286
buah hadis
d. Aisyah Ummi al-Mukmini sebanyak 2.210
buah hadis.
e. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis
dan
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Majid, Ulumul Hadis, cet. 4, Jakarta:
Amzah, 2010.
Ajaj Khathib, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, cet.5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010.
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta:
Gaung Persada Press, 2008.
Nawir
Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta:
PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.
Ramli
Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,
Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar