A.
Pendahuluan
Periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
terjadi pada masa Rasul s.a.w. Para sahabat hidup bersama Rasul s.a.w, mereka
dapat berinteraksi secara langsung, baik melihat, mendengar ataupun menyaksikan
segala gerak-gerik yang dilakukan, diucapkan, bahkan taqrirnya Rasul s.a.w.
Keberadaan sahabat memiliki peranan penting dalam proses
yang berkesinambungan, mereka seperti jembatan menuju perubahan dan peradaban.
Mereka adalah generasi pertama yang mengukir sejarah yang telah berjalan ribuan
tahun dan mereka adalah lulusan terbaik dari madrasah yang diasuh Rasul s.a.w.
Dalam menerima, menyampaikan, memelihara, sampai menyebarkan
Alquran dan hadis. Para sahabat menggunakan kehati-hatian di tingkat level
tertinggi, mereka adalah orang yang sungguh-sungguh menjaga kemurnian Alquran
dan mempersempit gerak orang-orang yang ingin membuat kepalsuan. Para sahabat
memiliki dasar pijakan dalam mengambil keputusan terutama dalam masalah menuliskan
hadis, walaupun secara pribadi mereka memiliki catatan sendiri terhadap
hadis-hadis yang mereka terima dari Rasul s.a.w.
Muhammad s.a.w sebagai panutan umat, beliau adalah seorang
suami, ayah, , guru, hakim, panglima perang, kepala negara, pemimpin umat,
dan Rasul s.a.w. Karenanya para sahabat menjadikan beliau menjadi sasaran
penting sebagai sosok pribadi yang dijadikan teladan dalam kehidupan.
Secara garis besar pembahasan dalam makalah ini adalah
membicarakan tentang hadis pada masa Rasul s.a.w, yang dimulai dengan cara
Rasul s.a.w menyampaikan hadis, cara sahabat menerima hadis, dan cara sahabat
menyampaikan hadis pada sahabat lain. Kemudian pemakalah membahas adanya
larangan dan perintah membolehkan penulisan hadis, apa saja faktor yang menjaga
kesinambungan hadis, bagaimana cara sahabat memelihara hadis, bagaimana cara
penulisan hadis, dan pembahasan akan ditutup dengan materi penulisan hadis pada
masa sahabat. Semua topik pembahasan akan dijelaskan pada bab
selanjutnya.
B.
Hadis pada Masa Rasul s.a.w dan Sahabat
Nabi Muhammad s.a.w, adalah pribadi yang uswatun hasanah, seorang manusia
yang diberi tugas mulia sebagai pembawa risalah yang kehadirannya menjadi
rahmat bagi alam, Dalam catatan sejarah, Rasul s.a.w mendapat gelar al-Amin disebabkan pribadinya yang
selalu amanah dan dapat dipercaya, dalam hidupnya Rasul s.a.w dikenal baik
karena melakukan kebaikan dan menyebarkan kebaikan sehingga menjadi pengikat di
hati para sahabat dan umatnya. Beliau adalah referensi akhlak yang harus diteladani,
dalam berbicara, melakukan tindakan, dan taqrirnya,
selalu ada pelajaran yang mengandung makna dan tidak akan pernah membuat umat
berhenti mengagumi kepribadiannya.
Rasul s.a.w tidak pernah mengeluh atas amanah yang menjadi
tanggung-jawabnya, beliau adalah seorang suami, ayah, hakim, panglima perang,
pemimpin negara, dan Rasul. Perannya sebagai Rasul penyampai risalah, bukan
hanya membuatnya mendapatkan predikat guru sunnah
terbaik, bahkan ia mampu membimbing para sahabatnya menjadi pribadi unggul
dengan mengukir sejarah dalam perjalanan panjang pengaruh Islam di seluruh
penjuru dunia.
Rasul s.a.w adalah guru sunnah
terbaik, sang motivator, dan penabur hikmah. Beliau mencari cara agar
pembelajaran tidak membosankan dengan tujuan agar para sahabat selalu tertarik
untuk datang ke majlis pengajian. Sejumlah penulis ‘ulum al-hadis mencatat paling tidak ada tujuh metode yang dipakai
Rasul s.a.w dalam mengajarkan ilmu (Sunnah) yaitu tadarruj (gradual), markaz
at-ta’lim (memiliki pusat kegiatan belajar), husn at-tarbiyah wa ta’lim (metode pendidikan dan pengajaran yang
baik), tanwi’ wa taghyir (membagi dan
memilah masalah), tathbiq al-‘amali
(aplikasi langsung), mura’ah
al-mustawiyat al-mukhtalifah (berdasarkan tingkat perbedaan kecerdasan), taisir wa’adam at-tasydid (mempermudah
dan melenyapkan kesukaran), dan ta’lim
al-nisa’ (mengajari kaum wanita). [1] Terdapat hadis yang berkenaan dengan
cara Rasul s.a.w menyesuaikan suasana pengajian dengan keadaannya, sebagai
berikut :
“ Diriwayatkan dari Syaqiq Abu Wa’il : Abdullah (bin Mas’ud
r.a) biasa memberikan pengajaran kepada kami setiap hari Kamis. Lalu ada
seseorang berkata kepadanya, ‘ Wahai Aba Abdirrahman, kami senang sekali
mendengarkan pengajaran engkau, dan kami sangat berharap engkau sudi memberikan
pengajaran kepada kami setiap hari. ‘ Lalu Abdullah berkata, ‘ Tidak ada yang
menghalangiku untuk memberikan pengajaran (setiap hari) kepadamu, hanya saja
aku cemas kalau kamu merasa bosan. Sesuangguhnya Rasulullah s.a.w
mengamat-amati waktu untuk memberikan pengajaran kepada kami agar kami tidak
merasa jemu. “ [2] (HR. Muslim)
Hadis di atas memberikan penjelasan tentang kehati-hatian
Rasul s.a.w dalam memberikan pembelajaran kepada para sahabat, beliau
menyesuaikan kondisi mereka yang akan mendengarkan pengetahuan pada Rasul s.a.w
dengan suasana pengajian. Usahanya untuk tidak kaku dalam mengajar bertujuan
agar para sahabat tidak tidak dihinggapi rasa bosan, disadari ataupun tidak
rasa bosan akan mempengaruhi langkah seseorang untuk hadir kembali pada majlis
pengajian Rasulullah, apalagi jika kebosanan terjadi dalam proses transfer
pengetahuan, maka sudah jelas hasil pembelajaran tidak akan memuaskan.
Periode Rasul s.a.w merupakan periode pertama sejarah
pertumbuhaan dan perkembangan hadis. Masa ini berlangsung selama 23 tahun,
mulai tahun 13 SH/610 M sampai 11 H/632 M. Masa ini merupakan kurun waktu turun
wahyu dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan hadis. [3]
Untuk itu sebelum membahas tentang cara-cara sahabat
menerima hadis, ada baiknya pemakalah menguraikan penjelasan tentang cara-cara
Rasul s.a.w memberikan pembelajaran (hadis) .
1. Cara Rasul
s.a.w Menyampaikan Hadis.
Ada tujuh cara Rasul s.a.w dalam
menyampaikan hadis, yaitu :
a.
Tadarruj
ajaran Islam di dalam masyarakat.
b.
Markaz at-ta’lim :
Rasul s.a.w memiliki pusat-pusat pembelajaran, seperti
Dar al-Arqam bin Abdi Manaf di Makkah [5] yang digunakan sebagai markas dakwah
Islam pada masa awal kenabian. Selanjutnya Rasul s.a.w menjadikan rumahnya
menjadi pusat kegiatan, kemudian berkembang ke masjid-masjid. Bahkan tidak
terbatas pada tempat tertentu, Rasul s.a.w bersedia menyampaikan pembelajaran
di mana saja dan kapan saja dengan catatan tetap menyesuaikan kondisi pendengar
dengan situasi pada saat itu, jika memungkinkan untuk dilakukan, maka Rasul
s.a.w tidak akan membuang kesempatan yang ada.
c.
Husn at-tarbiyah wa ta’lim
Kebaikan pendidikan dan pengajaran
yang diberikan Rasul s.a.w memberikan ketenangan tersendiri bagi para sahabat.
Saat mengajar Rasul s.a.w adalah pribadi guru yang lembut dalam perkataan dan
sopan dalam penyampaian, perhatian serta penuh kasih sayang, memiliki kedalaman
ilmu, dan selalu siap mengulang penjelasan bagi sahabat yang belum faham.
d.
Tanwi’ wa taghyir
Rasul s.a.w memberikan pengajaran
dengan cara memilah dan membagi masalah yang dajarkan agar sahabat mudah
memahami dan tidak jemu. Demikian juga beliau merubah pola-pola penyampaian dan
pengajaran dengan variatif. [6]
e.
Tathbiq al-‘amali
Rasul s.a.w tidak hanya memberikan
penjelasan kepada sahabatnya tetapi juga dalam berbagai
kesempatan ia melakukan praktek langsung terhadap
apa
yang disampaikannya.[7]
f.
Mura’ah al-mustawiyat al-mukhtalifah
Dalam melakukan pengajaran Rasul
s.a.w selalu mempertimbangkan kondisi objektif, psikologis, dan kecerdasan
orang yang bertanya kepadanya. [8] Hal ini terlihat jelas ketika Rasul s.a.w ditanya
tentang permasalahan yang sama, maka beliau menjawab persoalannya dengan
jawaban yang tidak sama.
g.
Taisir wa’adam at-tasydid
Untuk menyebarkan dan
menyampaikan Islam, Rasul s.a.w menempuh jalan tegas, tetapi tetap memiih yang
termudah dan terlonggar. Dalam mengajarkan hukum-hukum agama kepada kaum
muslimin, begitu menggunakan metode paling mudah dan paling cepat diterima
masyarakat.[9] Rasul s.a.w dalam hal ini bersabda:
“ Diriwayatkan dari Anas bin Malik
r.a : Nabi Muhammad s.a.w pernah bersabda “ Ringankanlah orang-orang
(dalam masalah-masalah agama), dan janganlah membuatnya menjadi sukar bagi
mereka, dan berilah mereka kabar gembira dan jangan membuat mereka melarikan
diri (dari Islam).” (HR. Bukhari) [10]
h.
Ta’lim al-nisa’
Rasul s.a.w bersabda :
“ Diriwayatkan dari Abu Sa’id
al-Khudri r.a : Beberapa orang perempuan memohon kepada Nabi Muhammad s.a.w
untuk memberi mereka waktu secara terpisah selama sehari sebab kaum pria telah
mengambil seluruh waktunya. Mendengar permintaan itu Nabi Muhammad s.a.w
menjadikan kepada mereka satu hari untuk memberikan pelajaran dan
perintah-perintah agama… “ (HR. Bukhari) [11]
Hadis di atas menerangkan
bahwa Rasul s.a.w bukan saja memperhatikan
pendidikan untuk kaum pria saja, beliau bahkan menyediakan
waaktu belajar khusus buat kaum wanita. Demikianlah cara-cara yang ditempuh
Rasul s.a.w untuk menyampaikan pembelajaran, dan cara-cara ini membuktikan
bahwa beliau
adalah guru terbaik di dunia.
M. Syuhudi Ismail menuliskan Nabi
Muhammad s.a.w hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasinya dengan
masyarakat terjadi tidak hanya satu arah saja, tetapi juga dua arah secara
timbal balik. Tidak jarang, Nabi Muhammad menerima pertanyaan dari sahabatnya,
dan dalam kesempatan lain beliau memberi komentar peristiwa yang sedang
terjadi. Karena itu hadis Nabi s.a.w ada yang didahului oleh sebab dan ada juga
yang tanpa sebab. [12]
2. Cara Sahabat
Menerima Hadis pada Masa Rasul
Para sahabat hidup bersama Rasul
s.a.w, mereka berinteraksi dengan Rasul s.a.w setiap harinya, di berbagai waktu
dan tempat. Walaupun tidak semua sahabat dapat bersama-sama berinteraksi secara
rutinitas dengan Rasul s.a.w, dan ketidak-hadiran mereka disebabkan beberapa
hal, diantaranya karena kesibukan akan tugas sehari-hari, karena tempat
tinggalnya yang jauh, dan karena rasa malu jika bertanya secara langsung kepada
Rasul s.a.w.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan
bahwa seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata
beliau menjadi sasaran perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka
jadikan sebagai pedoman hidup.[13]
Berdasarkan kondisi para sahabat yang beragam, M. Ajaj
Al-Khatib menuliskan empat cara sahabat memperoleh sunnah dari Rasul s.a.w yaitu sebagai berikut :
a. Majlis – majlis Rasul
b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
diri Rasul
c. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
kaum muslimin
d. Berbagai peristiwa dan kejadian yang
disaksikan oleh sahabat,
bagaimana
Rasul s.a.w melaksanakannya. [14]
Dari keempat cara tersebut, secara
mendalam dapat dibagi lagi kepada dua cara, yaitu :
a. Secara
Langsung dan
b. Secara Tidak
Langsung[15]
Adapun maksud secara langsung adalah
para sahabat melihat, mendengar,
dan
menyaksikan secara langsung apa yang dilakukan oleh Rasulullah, baik saat
mengikuti pengajian, atau dalam keadaan lain, di mana para sahabat berada
bersama Rasul pada saat itu.
Secara langsung dapat bertempat di majlis-majlis Rasul
s.a.w. Di majlis-majlis ini para sahabat bukan saja melihat dan mendengar Rasul
s.a.w menyampaikan hadis, tapi lebih dalam daripada itu, mereka memahami dengan
jelas apa yang telah disampaikan oleh Rasul s.a.w. Di dalam pertemuan itu, para
sahabat dapat bertanya dan mendapatkan jawaban perihal masalah pribadi,
masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan kaum muslimin, masalah praktek
keagamaan dan masalah – masalah lainnya.
Pengertian secara tidak langsung adalah para sahabat tidak
langsung menerima hadis dari Rasul s.a.w, hal ini disebabkan karena kesibukan
yang menghalangi atau karena jarak yang ditempuh untuk mengikuti pengajian
Rasul s.a.w cukup jauh. Karena itu para sahabat yang hadir biasanya
memberitahukan kepada mereka yang tidak hadir apa yang mereka dapat saat
mengikuti majlis Rasul s.a.w, atau sebaliknya, dan juga ada sahabat disebabkan
rasa malu untuk bertanya masalah pribadinya, ia menitipkan pertanyaan kepada
sahabat lainnya untuk ditanyakan kepada Rasul s.a.w, atau Rasul s.a.w sendiri
meminta istrinya untuk menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan
kewanitaan
Berikut ini beberapa hadis Rasul mengenai pembahasan cara
sahabat menerima hadis dari Rasul s.a.w :
1) Hadis yang
diriwayatkan dari Abu Bakrah :
“ Diriwayatkan oleh Abu Bakrah : …
Adalah tugas yang hadir hari ini untuk memberitahukannya kepada orang-orang
yang tidak hadir (hari ini) sebab mereka yang tidak hadir barangkali lebih baik
pemahamannya daripada mereka yang tidak hadir hari ini. “ (HR. Bukhari) [16]
2) Hadis yang
diriwayatkan dari Ali r.a :
“ Diriwayatkan dari Ali r.a : Aku
sering keluar madzdza’ (cairan yang
keluar dari kemaluan bukan karena melakukan hubungan seksual) maka aku meminta
Miqdad untuk menanyakannya dan Nabi s.a.w menjawab. ‘Cukuplah berwudhu ‘.[17]
3) T.M. Hasbi Ash
Shiddieqy menuliskan Umar Ibn Khaththab, menurut
Riwayat al-Bukhary menerangkan :
“ Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshar
bertempat di kampung Umayyah Ibn Yazid, sebuah kampung yang juh dari kota
Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang
turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah.
Kalau dia yang pergi demikian juga. … “ [18]
c. Cara
sahabat menyampaikan hadis.
Setelah mereka menerima hadis dari Rasul s.a.w, para
sahabatpun menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak hadir. Ada
perbedaan lafaz saat sahabat menyampaikan ayat-ayat Alquran dan saat
menyampaikan hadis dari Rasul s.a.w, M. Noor Sulaiman menjelaskan jika
berkenaan dengan wahyu, maka sahabat menyampaikannya secara lafdzi (harfiah) sebagaimana yang mereka
terima dari Rasul s.a.w. [19] Dan jaminan kesucian dan kemurnian
Alquran sendiri
terdapat
dalam surah Al-Hijr (15) ayat 9, yaitu :
“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. “ [20]
Sedangkan penyampaian hadis, dilakukan dengan dua cara,
yaitu :
1)
Dengan lafaz asli atau disebut juga lafzhiyyah,
Maksudnya adalah mereka
melafazkan sesuai dengan lafaz yang mereka
terima dari Rasul. Sahabat yang melakukan cara ini karena
kuat daya ingat dan daya hafalnya, di samping itu saat Rasulullah menyampaikan
hadis yang khusus dalam kajian ini adalah hadis qauli.
2)
Dengan makna (ma’nawi)
Maksudnya para sahabat menyampaikan
hadis yang diisinya berdasarkan apa yang disampaikan Rasul s.a.w tetapi
redaksinya disusun sendiri oleh mereka.
3. Penulisan
Hadis pada Masa Rasul s.a.w : Larangan dan Perintah
(
Membolehkan ) Menuliskan Hadis.
Pembahasan ini cukup menarik untuk
dibahas, karena dalam sejarah penulisan hadis di masa Rasul s.a.w, beliau bukan
saja pernah melarang para sahabat untuk menulis hadis, akan tetapi juga pernah
menyuruh untuk menuliskan hadis beliau.
M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa
kebijaksanaan Nabi tersebut telah menimbulkan terjadinya perbedaan
pendapat di kalangan ulama, bahkan di kalangan sahabat Nabi, tentang boleh atau
tidak bolehnya penulisan hadis. [21]
a. Larangan
menuliskan Hadis
Rasul s.a.w pernah melarang para sahabat untuk menuliskan
hadis, beliau bersabda :
“ Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri : Rasulullah s.a.w
bersabda, ‘ Janganlah kalian mencatat Sunnahku.
Barang siapa mencatat selain Alquran, hendaklah ia menghapusnya. Dan ceritakan
saja tentangku, tidak ada dosa atasnya. Barang siapa berbuat bohong
mengatasnamakanku dengan sengaja (padahal aku tidak mengatakannya), hendaklah
ia bersiap-siap untuk menempati tempat duduknya dari apa neraka. “ (HR. Muslim)
[22]
b. Perintah
menuliskan Hadis
Rasul s.a.w memerintahkan penulisan hadis melalui sabdanya :
“ Dari Rafi’ Ibn Khudaij bahwa ia menceritakan, kami
bertanya kepada ‘ Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar
dari engkau banyak hadis, apakah boleh kami menuliskannya ?’ Rasulullah
menjawab, ‘ Tuliskanah
oleh
kamu untukku dan tidak ada kesulitan. “ (HR. Khatib) [23]
Kemudian hadis ‘Abd Allah ibn ‘Amr :
“ Dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr, aku berkata, ‘(Bolehkah) aku
menuliskan apa yang aku dengar dari engkau ?’ Rasulullah s.a.w menjawab,
‘Boleh’ Aku berkata selanjutnya, ‘ Dalam keadaan marah dan senang ? Rasul s.a.w
menjawab lagi, ‘ Ya, sesungguhnya aku tidak mengatkan sesuatu kecuali yang haq
(kebenaran). “ (HR. Ahmad) [24]
Sikap ulama dalam menghadapi permasalahan dalam menuliskan
hadis-hadis, menurut Ajjaj al-Khatib ada empat pendapat dalam rangka
mengkompromikan dua kelompok hadis yang bertentangan sebagai berikut:
1) Menurut Imam Bukhari, hadis Abu
Sa’id al- Khudri di atas adalah mawquf
[25],
dan karenanya tidak dapat dijadikan dalil. Tetapi, pendapat ini ditolak,
sebab menurut Imam Muslim hadis tersebut adalah sahih.
2) Larangan menuliskan hadis
terjadi pada masa awal Islam yang ketika itu dikhawatirkan terjadinya
pencampuradukan antara hadis dengan Alquran. Tetapi, setelah umat Islam
bertambah banyak dan mereka telah dapat membedakan antara hadis dan Alquran,
maka hilanglah kekhawatiran itu dan, karenanya mereka diperkenankan untuk
menuliskannya.
3) Larangan tersebut ditujukan
terhadap mereka yang memiliki hafalan yang kuat sehingga mereka tidak terbebani
dengan tulisan; sedangkan kebolehannya diberikan kepada mereka yang hafalannya
kurang baik seperti Abu Syah.
4) Larangan tersebut bersifat
umum, sedangkan kebolehan menulis diberikan khusus kepada mereka yang pandai
membaca dan menulis sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuliskannya,
seperti ‘Abd Allah ibn ‘Amr yang sangat dipercaya oleh Nabi s.a.w.
Pendapat ‘Ajjaj al-Khatib dalam menghadapi perbedaan di atas
yaitu menurutnya pendapat pertama dapat diterima bahwa hadis Abu Sa’id
al-Khudri adalah sahih dan dapat dijadikan hukum, sedangkan tiga pendapat
berikutnya, ‘Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa larangan menuliskan hadis dan
Alquran pada lembaran yang sama adalah logis dan dapat diterima, karena
kekhawatiran terjadi percampur-adukan antara hadis dan Alquran, begitu juga
penulisannya di awal Islam dengan maksud agar umat lebih fokus terhadap
Alquran. Namun, terkhusus bagi mereka yang sudah dapat membedakan antara
Alquran dan hadis, serta bagi mereka yang tidak kuat ingatnnya diperbolehkan
untuk menuliskannya. Dan pada perkembangan selanjutnya saat umat Islam sudah
bisa menghafal dan memelihara Alquran dan mampu membedakan antara Alquran
dan hadis, maka larangan menuliskan hadispun berakhir. [26]
Abdul Majid Khon menambahkan penulisan hadis secara pribadi
tidak untuk umum berfungsi untuk membantu hapalan mereka karena intinya
dihafal, setelah mereka hafal hadis-hadis yang mereka catat, kemudian catatan
itu dibakar seperti yang dilakukan oleh beberapa sahabat. [27]
4. Faktor-Faktor
yang Menjamin Kesinambungan Hadis
Nawir Yuslem menyatakan ada empat faktor yang menjamin
kesinambung-an hadis, Yaitu :
a. Quwwat
al-dzakirah,
yaitu kuatnya hafalan para saabat yang menerima dan mendengarkan langsung
hadis-hadis dari Nabi s.a.w, dan ketika mereka meriwayatkan hadis-hadis
tersebut kepada sahabat atau generasi berikutnya, serupa seperti yang mereka
hafal dari Nabi.
b. Kehati-hatian para sahabat dalam
meriwayatkan hadis dari Rasulullah s.a.w, karena dikhawatirkan terdapat
kesalahan atau tercampur sesuatu yang bukan hadis.
c. Kehati-hatian mereka dalam menerima
hadis, mereka tidak tergesa-gesa dalam menerima hadis dari seseorang, kecuali
jika bersama perawi itu ada orang lain yang ikut mendengarkannya dari Nabi
s.a.w, atau dari perawi lain.
d. Pemahaman terhadap ayat
Mushthafa
al-Siba’i berpendapat, bahwa yang dijamin terpelihara dari usaha pengubahan
(pemutarbalikan) adalah Al-Dzikr
(Al-quran), selain dari al-quran juga meliputi hadis. [28]
5. Pemeliharaan
Hadis pada Masa Sahabat
Menurut Ramli Abdul Wahid, ada dua poin penting tentang
metode sahabat memelihara kemurnian sunnah Rasul s.a.w, sebagai berikut :
a. Taqil
ar-Riwayah [29]
Dalam Taqil ar-Riwayah
dimaksudkan adanya upaya untuk meminimalisasi periwayatan hadis. Upaya
ini memiliki alasan tersendiri, yaitu :
1) Di masa pemerintahan Abu Bakar perhatian
tertuju khusus pada pemecahan masalah politik, sehingga gerakan periwayatan
hadis terbatas.
2) Era sahabat masih dekat dengan era Rasul
s.a.w, dan secara umum para
sahabat
masih mengetahui sunnah Rasul.
3) Para sahabat lebih memfokuskan diri pada
kegiatan penulisan dan kodifikasi Alquran. [30]
4) Adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa,
khususnya ‘Umar, agar menyedikitkan riwayat.[31]
5) Kekhawatiran para sahabat akan munculnya
hadis palsu. Karena itu, ‘Umar memberi syarat bahwa hadis yang diterima adalah
hadis yang harus dibuktikan dengan saksi dan dikuatkan dengan sumpah.
6)
Kehatian-hatian para sahabat disebabkan rasa takut akan dosa karena khawatir
mereka salah dalam meriwayatkan sunnah.
b. Man’u
ar-Ruwat min at-Tahdits bima Ya’lu ‘ala Fahm al-‘Ammah. [32]
Metode kedua ini merupakan gerakan pelarangan riwayat karena
dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tertentu [33].
Pelarangan ini sendiri dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk
menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar.
Sebab, masyarakat umum tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sama. [34]
6. Penyebar-luasan
Periwayatan Hadis
Ketika terjadi perluasan daerah Islam khususnya pada masa
kekhalifahan Utsman ibn ‘affan, para sahabat mendirikan masjid-masjid
didaerah-daerah baru seperti jazirah Arabiya, wilayah Syam (Paestina, Yordania,
Siria dan Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia dan kawasan Samarkand;[35]
para sahabat menyebarkan ajaran Islam dengan mengajarkan Al-quran dan hadis
Nabi s.a.w kepada penduduk setempat, para sahabat pada masa ini mulai
mengeluarkan khazanah dan koleksi hadis yang selama ini mereka miliki, mereka
saling mentransfer hadis sehingga terjadilah peningktan kuantitas periwayatan
hadis. Berikutnya pemakalah akan menguraikan tentang beberapa kota yang banyak
terdapat para sahabat dan aktivitas periwayatan hadis:
a. Madinah
Di kota Madinah ini terdapat para sahabat yang mempunyai
ilmu yang luas dan mendalam tentang hadis, diantaranya Khulafa’ al-Rasyidin
yang empat, Aisyah r.a, Abd Allah ibn Umar, Abu Sa’id al-Khudri, Zaid ibn
Tsabit dan lainnya. Dikota ini pula lahir beberapa nama besar dari kalangan tabi’in seperti Sa’id ibn Musayyab,
urwah ibn Zubair dan lainnya.
b. Mekah
Setelah Mekah ditaklukkan, Mu’adz ibn Jabal ditunjuk sebagai
guru yang mengajarkan ajaran Islam dan hadis pada penduduk setempat, peranan
kota Mekah dalam hal penyebarluasan hadis sangat signifikan, terutama pada
musim haji, karena para sahabat saling bertemu dan juga dengan para tabi’in, mereka saling bertukar hadis
yang mereka miliki yang selanjutnya mereka bawa pulang kedaerah masing-masing.
Di kota Mekah ini muncul para ulama hadis seperti Mujahid, Atha’ ibn Rabah,
Thawus ibn Kisan, Ikrimah maula ibn Abbas, dan lainnya.
c. Kufah
Di Kuffah terdapat sejumlah besar sahabat yang mempunyai
peranan yang penting dalam penyebaran ajaran Islam, termasuk hadis, diantaranya
Ali ibn Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqas, Abd Allah ibn Mas’ud, dan lainnya.
d. Basrah
Di kota Basraah ini terdapat sejumlah sahabat, seperti anas
ibn Malik, Abu Musa al-Asy’ari, dan lainya, dan dari mereka inilah muncul
tokoh-tokoh terkenal dari kalangan tabi’in, diantaranya Al-hasan
al-Bashri dan Muhammad ibn Sirin.
Utang Ranuwijaya menambahkan sahabat yang membina hadis di
Syam antara lain Abu Ubaidah al-Jarh, Bilal bin Rabbah, dan lain-lain. Sahabat
yang membina di Mesir di antaranya Amr bin al-‘Ash, Uqbah bin Amir, dan sahabat
lainnya. Sahabat yang membina di Maghrib dan Andalus, antara lain
adalah Mas’ud bin al-Aswad al-Balwi, dan lain-lain. Sahabat yang
membina hadis di Yaman di antaranya adalah Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa
al-‘Asy’ari, dan sahabat yang membina di Khurasan adalah Buraidah bin Husain
al-Aslami, dan sahabat lainnya.[36]
7. Penulisan
Hadis di Masa Sahabat
Periode kedua perkembangan hadis adalah pada masa sahabat
khususnya khulafa’ ar-rasyidin. Masa
ini terhitung sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang disebut dengan masa sahabat
besar. [37]
Pada masa khulafa’
ar-rasyidin, perhatian sahabat tertuju hanya pada pemeliharaan dan
penyebaran Alquran, karena itu periwayatan hadis bukan saja tidak berkembang
akan tetapi dibatasi, dan diperketat periwayatannya.
Walaupun ada hadis yang membolehkan untuk menulis hadis.
Para sahabat seperti enggan untuk melakukannya dengan alasan untuk memelihara
Alquran. Dalam catatan sejarah, Abu Bakar adalah seorang sahabat yang
berpendirian tidak menuliskan hadis, walaupun ia mengumpulkan sebanyak 500
hadis dari Rasul s.a.w, dan ia lebih memilih untuk membakarnya.[38]
Umar bin Khathtab memiliki keinginan untuk membukukan sunnah, kemudian ia meminta fatwa dari
sahabat lain dan ketika ia sudah mendapat izin untuk menuliskannya, Umar
melakukan shalat istikharah selama sebulan. Hasilnya adalah Umar mengurungkan
niatnya untuk membukukan sunnah
disebabkan kekhawatirannya terhadap umat yang akan berpaling untuk mempelajari
sesuatu dan menyenyampingkan Alquran. [39] Dan karena kehati-hatian para
sahabat dalam menerima hadis, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathtab
tidak menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seseorang yang
lain, dan ‘Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadis sebelum yag
meriwayatkan itu disumpah. [40] Atas dasar inilah, pada masa khulafa
Ar-Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan (taqlil ar-riwayah). [41]
Pemakalah membuat kesimpulan dengan melihat hadis yang
dibakar oleh Abu Bakar r.a atau syarat penerimaan hadis dari Umar r.a dan Ali
r.a, pada dasarnya para sahabat memiliki catatan-catatan hadis, namun
catatan itu hanya untuk catatan pribadi dan bukan untuk disebarluaskan.
Abdul Majid Khon menuliskan enam orang sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadis, yaitu :
a. Abu
Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis
b. Abdullah bin
Umar bin al-Khaththab sebanyak 2.635 buah hadis.
c. Anas bin
Malik sebanyak 2.286 buah hadis
d. Aisyah Ummi
al-Mukmini sebanyak 2.210 buah hadis.
e. Abdullah
bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis dan
f. Jabir bin
Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis[42]
Berikut
adalah faktor-faktor tidak dibukukannya hadis pada masa sahabat :
a. Sahabat
sepenuhnya ingin memelihara amanah Rasul s.a.w.
Rasul
s.a.w bersabda :
“ Aku
tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya,
niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Alquran) dan sunnah Rasul-Nya”.(H.R. al-Hakim).[43]
b. Sahabat
berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
Meskipun perhatian sahabat secara khusus terpusat terhadap
pemeliharaan dan penyebaraan Alquran yang sudah membuahkan hasil dibukukannya
Alquran pada masa Abu Bakar atas saran Umar, dan pada masa Utsman bin Affan,
sehingga lahirlah mushaf Ustmani yang ditulis sebanyak lima buah. [44]
Para sahabat tetap memperhatikan hadis namun mereka sangat membatasi diri dan
berhati-hati dalam meriwayatkan hadis.
c. Perbedaan
pendapat ulama tentang hadis yang melarang menulis hadis.
Untuk pendapat yang dikemukan para ulama sudah dibahas
secara rinci pada halaman 10 di dalam makalah ini. Namun, pemakalah ingin
menambahkan bahwa Abu Sa’id al-Khudri (sahabat yang meriwayatkan larangan Rasul
menulis hadis), dikatakan al-Khathib al Bagdadi, ternyata memiliki
catatan-catatan hadis yang diterimanya dari Rasul s.a.w. [45]
Dengan demikian penulisan hadis sebenarnya telah dilakukan
sahabat di masa Rasul, hanya mereka menyimpannya sebagai catatan pribadi. Dan
disebabkan alasan yang logis, di antaranya zaman Rasul dan zaman sahabat tidak
terpaut jauh, masih banyaknya penghafal Alquran maupun hadis, dan adanya
kekhawatiran yang besar akan terjadi pencampur-adukan antara hadis dengan
Alquran. Maka para sahabat membatasi diri dalam meriwayatkan hadis.
SIMPULAN DAN SARAN
Rasul s.a.w adalah guru terbaik, sang motivator, dan penabur
hikmah. Beliau memiliki cara agar pembelajaran tidak membosankan, agar para
sahabat selalu tertarik untuk datang ke majlis pengajian, cara yang dipakai di
antaranya tadarruj, markaz at-ta’lim, husn at-tarbiyah wa ta’lim, tanwi’
wa taghyir, tathbiq al-‘amali, mura’ah al-mustawiyat al-mukhtalifah, taisir wa’adam at-tasydid, dan ta’lim al-nisa.’
Cara sahabat dalam menerima hadis Rasul beragam, hal ini
berdasarkan kondisi dari para sahabat itu sendiri, seperti kesibukan akan
tugas-tugas mereka, tempat tinggal yang jauh, dan lain sebagainya, karena itu
para sahabat dalam menerima hadis dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung, di antaranya adalah dengan mengikuti langsung majelis-majelis
pengajian yang dilakukan Rasul s.a.w, dan para sahabat yang tidak dapat
mengikuti langsung majelis tersebut karena sebab tertentu akan mendapatkan
informasi dari para sahabat lain yang hadir dalam majelis Rasul, sesuai dengan
apa yang mereka dapatkan dari Rasul tanpa ada cela sedikitpun, baik dari segi
lafaz maupun maknanya.
Mengenai penulisan hadis, Rasul pernah melarang para sahabat
untuk menulis hadis pada awal keIslaman, hal ini terjadi disebabkan adanya
kekhawatiran akan tercampurnya dengan Al-quran. Pada perkembangan selanjutnya
Rasul memerintahkan penulisan hadis, karena jumlah umat Islam sudah semakin
banyak dan mampu untuk membedakan antara hadis dan Alquran ditambah lagi adanya
para sahabat yang memiliki kemampuan dalam hal membaca dan menulis.
Dan untuk menjamin kesinambungan hadis dapat ditinjau dari
beberapa faktor, diantaranya; kekuatan hafalan yang dimiliki para sahabat dalam
menerima hadis, kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis,
kehati-hatian para sahabat dalam menerima hadis, pemahaman yang kuat terhadap
firman Allah yang menjamin terpeliharanya Al-quran dan hadis.
Para sahabat dalam hal melakukan pemeliharaan terhadap hadis
dengan melakukan upaya meminimalisasi periwayatan hadis, dan sampai pada
pelarangan riwayat karena dikhawatirkan timbulnya kesalahfahaman terhadap
riwayat tertentu, disamping berbagai faktor lainnya.
Ketika Islam sudah memiliki daerah kekuasaan yang luas, para
sahabat menyebarkan ajaran Islam dengan mengajarkan Alquran dan hadis, seperti
yang terjadi dibeberapa kota diantaranya; kota Madinah, banyak terdapat para
sahabat yang mempunyai ilmu yang luas dan mendalam tentang hadis, kota Mekah,
tempat yang strategis untuk saling bertukar hadis terutama pada musim haji
karena para sahabat dapat saling bertemu, dan kota-kota lain yang juga
memiliki peranan dalam penyebaran hadis.
Setelah dipaparkan dengan cukup jelas tentang pokok bahasan
yang berkaitan dengan hadis pada masa Rasul dan sahabat, serta hal-hal lain
yang menjadi bahagian dari pembahasan pokok tersebut, dalam hal ini pemakalah
menyarankan pada kita semua agar tetap menjaga kemurnian nilai-nilai yang
terkandung dalam Al-quran dan hadis, dengan tidak memiliki pandangan yang
parsial terhadap makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran dan hadis,
seperti halnya para sahabat yang memiliki apresiasi yang tinggi terhadap upaya
pemeliharaAn dan menjaga eksistensi Al-quran dan hadis sebagai sumber hukum
Islam, yang di dalamnya tidak ada keraguan sedikitpun padanya dari sejak
awal turunnya hingga sampai kepada kita sekarang ini. Kemudian pemakalah
berharap agar kaum muslimin berhati-hati dalam menyampaikan hadis kepada orang
lain, telitilah sebelum menyampaikannya dan gunakanlah hadis-hadis dari ulama
yang sudah tidak diragukan lagi kesahihannya. Akhirnya semoga kita mampu
memiliki semangat sebagai mana semangat yang dimiliki para sahabat dalam
mengkaji ilmu dan menyampaikan ilmu kepada seluruh umat manusia dan agar Islam
ini menjadi rahmatan lil ‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M. Syuhudi, Hadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran
Islam yang Universitas, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, cet 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan, Arab Saudi: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li
Thiba’at al-Mushhaf, 1990.
Khathib, Ajaj, Ushul
al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998.
Khon, Abdul Majid, Ulumul
Hadis, cet. 4, Jakarta: Amzah, 2010.
Mundziri, Zaki al-Din Abd Al-Azhim, Ringkasan Shahih Muslim, terj. Syinqithy
Djamaluddin dan HM.Moctar Zoerni, cet 2, Bandung: Mizan, 2009.
Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, ed. Sulidar,
Medan: Perdana Publishing, 2011.
Ranuwijaya,Utang, Ilmu
Hadis, cet. 3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Shiddieqy, T. M. Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, cet.5, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2010.
Sulaiman PL, M.Noor, Antologi Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005.
Yuslem, Nawir, Ulumul
Hadis, Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zabidi, Imam, Ringkasan
Shahih al-Bukhari, terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis cet. 2,
Bandung: Mizan, 2009.
[1] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2005) h. 53.
[2] Zaki al-Din Abd
Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih
Muslim, terj. Syinqithy Djamaluddin dan HM.Moctar Zoerni, cet 2 (Bandung:
Mizan, 2009), h. 898.
[3] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, cet. 3 (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998), h.45.
[4] Ramli Abdul Wahid dan
Husnel Anwar Matondang, Kamus
Lengkap Ilmu Hadis, ed.
Sulidar
(Medan: Perdana Publishing, 2011), h. 233. Dinyatakan bahwa tadarruj menurut bahasa addalah
berangsur-angsur. Metode tadarruj
adalah metode menyampaikn sunnah dengan cara bertahap.
[5] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, cet 1 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) h, 49.
[6] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 55
[7] Ibid, h. 56.
[8] Ibid.
[9] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 54
[10] Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari, terj. Cecep
Syamsul Hari dan Tholib Anis cet. 2 (Bandung: Mizan, 2009), h.33.
[11] Ibid, h.43.
[12] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual :
Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universitas, Temporal, dan
Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) h, 5.
[13] T. M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, cet.5 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 10.
[14] M. Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 57-59.
[15] M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, h. 56
[16] Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari, h.33.
[17] Ibid, h. 54.
[18] T. M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, h. 26.
[19] M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, cet.1 (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2008), h.15.
[20] Kementerian Urusan
Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahan
(Arab Saudi: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mushhaf, 1990), h.391.
[21] M. Syuhudi Ismail,
Metodologi Penulisan Hadis Nabi, cet 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 11
[22] Zaki al-Din Abd
Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih
Muslim, h. 1073.
[23] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT.Mutiara Sumber
Widya, 2001), h. 98.
[25] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, cet. 4 (Jakarta: Amzah,
2010), h. 226, Mawquf menurut istilah adalah sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat, baik dari pekerjaan, perkataan, persetujuan, baik bersambung sanadnya
maupun terputus.
[26] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 103-106, dan M. Ajaj
al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.
134-136.
[27] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, cet. 4 (Jakarta: Amzah,
2010), h. 46.
[28] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 106-108
[29] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 69
[30] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 72
[31] Ibid, h. 73
[32] Ibid, h. 77
[33] Ibid
[34] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h.78
[35] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.118.
[36] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h.63-64.
[37] Ibid, h. 54.
[38] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.118.
[39] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.120.
[40] T. M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, h. 42.
[41] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 48.
[42] Ibid, h. 49.
[43] Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h, 28.
[44] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 56.
[45] Ibid, h. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar