PENDAHULUAN
Fungsi al-Qur’an bagi manusia: sebagai huda, bayyinat min al-huda, furqan dan adz-dzikr. Untuk itu, umat Islam harus menjadikan al-Qur’an sebagai compass dalam hidupnya di setiap aspek kehidupan.
Dalam rangka membumikan al-Qur’an diperlukan adanya tafsir oleh para pakar tafsir (mufassir) sebab kandungan al-Qur’an masih bersifat global yang bagi orang awam masih sulit menangkap maksud (pesan) yang terkandung di dalamnya. Hal ini terjadi karena tidak semua individu muslim mampu memahami ‘bahasa langit’, karena itu diperlukan Hermes-hermes yang bisa menghubungkan dengan bahasa bumi.
Alasan
Perlunya Tafsir :
Secara
eksplisit ada perintah untuk menyimak dan memahami ayat-ayat-Nya, “Apakah
mereka tidak menyimak al-Qur’an? Kalau sekiranya al-Qur’an itu bukan berasal
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan di dalamnya.” [QS.
Al-Nisa (4): 82]. Ayat lain, “Maka apakah mereka tidak menyimak al-Qur’an
ataukah hati mereka terkunci” [QS. Muhammad (47): 24].
Secara implisit upaya mencari penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bahwa ia diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk [QS. Al-Baqarah (2): 2,97,185; QS. Ali ‘Imran (3): 3,138] dan rahmat [QS. Al-A’raf (7): 51,203; QS. Yunus (10): 57] bagi manusia selaku individu maupun kelompok masyarakat (collective). Agar tujuan ini terwujud dengan baik, maka al-Qur’an yang umumnya berisi konsep dan prinsip pokok yang belum terjabarkan, aturan-aturan yang mansih bersifat umum perlu dijelaskan, dijabarkan dan diaktualisasikan agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
Secara implisit upaya mencari penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bahwa ia diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk [QS. Al-Baqarah (2): 2,97,185; QS. Ali ‘Imran (3): 3,138] dan rahmat [QS. Al-A’raf (7): 51,203; QS. Yunus (10): 57] bagi manusia selaku individu maupun kelompok masyarakat (collective). Agar tujuan ini terwujud dengan baik, maka al-Qur’an yang umumnya berisi konsep dan prinsip pokok yang belum terjabarkan, aturan-aturan yang mansih bersifat umum perlu dijelaskan, dijabarkan dan diaktualisasikan agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
Susunan
al-Qur’an yang tidak sistematis sehingga perlu penafsiran dan penggalian
terhadap makna ayat-ayatnya yang tidak pernah berakhir (unending task).
Jelasnya, selalu diperukan reaktualisasi nilai-nilai al-Qur’an sesuai dengan
dinamika masyarakat. Di sinilah letak ke-universalitas-an al-Qur’an.
Faktor
Penyebab Keragaman Tafsir
·perbedaan
kecenderungan, interest, motivasi mufassir,
·perbedaan
misi yang diemban,
·perbedaan
kedalaman (capasity) dan ragam ilmu yang dikuasai,
·perbedaan
masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situation-condition,
·semua
itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi
aliran tafsir yang beragam dengan metodenya sendiri-sendiri.
Bagaimana
al-Qur’an Berbicara ? Al-Qur’an merupakan respons langit terhadap permasalahan
bumi. Ia diturunkan Allah via Muhammad saw sebagai jawaban terhadap problem
vertikal [penyimpangan tauhid], dan problem horisontal [penyimpangan sosial,
seperti penindasan, ketidakadilan, dan eksploitasi ekonomi]. Rasulullah diutus
dalam rangka mendialogkan kedua bahasa yang sangat berbeda itu, yakni bahasa
langit (absolut) dengan bahasa bumi yang relatif. Sosok Muhammad sama
kedudukannya dengan Hermes dalam mitologi Yunani yang menghubungkan bahasa Dewa
dengan manusia. Dalam diri Muhammad ada intervensi wahyu Tuhan. Kandungan
al-Qur’an berlaku sepanjang zaman dan makan, meskipun secara lafdziyyah ia
banyak menggunakan terma yang familiar di Jazirah Arab [al-’ibrah bi-’umumi
lafdz, la bi-khusus al-sabab].
Metode Penafsiran
·
Terma metode dalam bahasa Arab berkaitan dengan istilah thariqah, manhaj,
ittijah dan lawn.
·
Menurut Hans Wehr thariqah (jamak: thara’iq) berarti cara (manner), mode, alat
(means), jalan (way), metode (method), prosedur (procedure) dan sistem
(system); manhaj (jamak: manahij) berarti terbuka (open), dataran (plain),
jalan mudah-tol (easy road), cara (manner), prosedur (procedure), metode
(method) dan program (programme); ittijah (jamak: ittijahat) berarti arah (direction),
kecenderungan/kecondongan (inclination), aliran (trend) orientasi
(orientation), tendency dan course; dan lawn (jamak: alwan) berarti warna
(color), mewarnai (coloring, tinge), corak (hue), macam (kind) dan contoh
(sample).
·Kata
thariqah dan manhaj mempunyai pengertian sama yaitu metode, sedangkan kata
ittijah berarti kecenderungan dan arah, dan kata lawn lebih bermakna corak dan
warna
·Dalam penerapannya di bidang penafsiran contoh manhaj dan thariqah adalah metode tahlily, muqarin, ijmaly dan mawdlu’y.
·Dalam penerapannya di bidang penafsiran contoh manhaj dan thariqah adalah metode tahlily, muqarin, ijmaly dan mawdlu’y.
·
Sedangkan ittijah berarti arah atau kecenderungan seorang mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an misalnya seorang faqih cenderung menafsirkan
ayat al-Qur’an ke arah fiqh. Seorang filosof ke arah filsafat, dan seterusnya.
·
Adapun lawn dalam penafsiran berartoi corak, warna dan macam dari penafsiran
itu sendiri, misalnya seorang filosof tentu saja dalam menafsirkan suatu ayat
Al-Qur’an lebih banyak diwarnai dengan penggunaan corak rasio, seorang sufi
akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawwuf. Argumen-argumen yang
digunakan masing-masing mufassir akan menentukan corak tafsirannya
Ada
beberapa Kitab Tafsir Al-Qur'an Bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh para
ulama, mahasiswa bahkan kini banyak masyarakat Islam yang memanfaatkan Tarjamah
dan Tafsir Al-Qur'an untuk memperdalam pengertian dan makna yang terkandung
dalam kitab suci ummat Islam - Al Qur'an. Salah satu diantaranya adalah Tafsir
Al-Maraghi yang disusun oleh Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, yang diterjemahkan
kedalam Bahasa Indonesia oleh Bahrun Abubakar.
Dalam
kitab tafsir ini Al-Maraghy mengatakan bahwa masyarakat tentu membutuhkan
kitab-kitab tafsir yang mampu memenuhi kebutuhan mereka, disajikan secara
sistematis, diungkapkan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, dan masalah-masalah
yang dibahas benar-benar didukung dengan hujjah , bukti-bukti nyata serta
berbagai percobaan yang diperlukan.
Bisa
pula dinukilkan pendapat-pendapat para ahli dalam berbagai cabang ilmu yang
berkait erat dengan Al-Qur'an, selaras dengan syarat penyajian yang harus
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Kita juga harus mengesampingkan
permasalahan yang berkait dengan ceritera-ceritera yang bisa dipakai oleh para
muffasir terdahulu, sebab ceritera-ceritera tersebut justru bertentangan dengan
kebenaran. Hanya kepada Allah kami memohon taufiq dan petunjuk, serta menuntun
kami kejalan yang lurus. (Awal Muharram 1365 H - Ahmad Musthafa Al-Maraghy).
Tafsir al-Maraghi merupakan salah satu tafsir Alquran yang sangat baik di masa sekarang ini. Nama al-Maraghi diambil dari nama belakang penulisnya, Ahmad Musthafa al-Maraghi. Tafsir ini merupakan hasil dari jerih payah dan keuletan sang penulis selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M.
Tafsir al-Maraghi merupakan salah satu tafsir Alquran yang sangat baik di masa sekarang ini. Nama al-Maraghi diambil dari nama belakang penulisnya, Ahmad Musthafa al-Maraghi. Tafsir ini merupakan hasil dari jerih payah dan keuletan sang penulis selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M.
Tafsir
al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan
yang pertama ini, Tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain
sesuai dengan pembagian juz Alquran. Kemudian, pada penerbitan yang kedua
terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah
diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Kebanyakan
yang beredar di Indonesia adalah Tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10
jilid.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Syekh Al-Maraghi
Nama
lengkap Al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa Ibn Mustafa Ibn Muhammad Ibn ‘Abd
al-Mu’im al-Qadi al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan
kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik. Ia berasal dari
keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan
peradilan secara turun-temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai
keluarga hakim.
Al-Maraghi
lahir di kota Maraghah, propinsi Suhaj, sebuah kota kabupaten di tepi barat
sungai Nil sekitar 70 Km di sebelah selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883
M.7 Nama Kota kelahirannya inilah yang kemudian melekat dan menjadi nisbah
(nama belakang) bagi dirinya, bukan keluarganya. Ini berarti nama al-Maraghi
bukan monopoli bagi dirinya dan keluarganya.
Ahmad Mustafa al-Maraghi berasal dari kalangan ulama yang taat dan mengusai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan bahwa 5 dari 7 orang saudaranya dan 4 dari 8 orang putra laki-laki Syekh Mustafa Al-Maraghi (ayah Ahmad Mustafa Al-Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal.
Ahmad Mustafa al-Maraghi berasal dari kalangan ulama yang taat dan mengusai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan bahwa 5 dari 7 orang saudaranya dan 4 dari 8 orang putra laki-laki Syekh Mustafa Al-Maraghi (ayah Ahmad Mustafa Al-Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal.
Lima di antara saudara laki-lakinya antara lain:
1.
yekh Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah menjadi Grand Syekh al-Azhar dua
priode ; tahun 1928-1930 dan 1935-1945
2.
Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maraghi.
3.
Syekh Abdul Aziz Al-Maraghi, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar dan
Imam Raja Faruq.
4.
Syekh Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum pada Universitas Al-Azhar
penelitian dan pengembangan Universitas Al-Azhar.
5.
Syekh Abul Wafa Mustafa Al-Maraghi, Sekretaris Badan penelitian dan
pengembangan Universtas Al-Azhar.
Hal ini perlu diperjelas sebab seringkali terjadi salah kaprah tentang siapa sebenarnya penulis Tafsir al-Maraghi di antara kelima putra Mustahafa itu.
Disamping
itu ada 4 orang putra Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjadi Hakim, yaitu :
1.
M. Aziz Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kairo.
2.
A. Hamid Al-Maraghi, Hakim dan Penasehat Menteri Kehakiman di Kairo.
3.
Asim Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kuwait dan di Pengadilan Tinggi Kairo.
4.
Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil Menteri
Kehakiman di Kairo.
Sebutan (nisbah) Al-Maraghi dari Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi dan lainnya bukanlah dikaitkan dengan nama suku/marga atau keluarga, seperti halnya sebutan Al-Hasyimi yang dikaitkan dengan keturunan Hasyim, melainkan dihubungkan dengan nama daerah atau kota, yaitu kota Al-Maraghah. Oleh karena itu yang memakai sebutan Al-Maraghi bukanlah terbatas pada anak cucu Syekh Abdul Mun’in Al-Maraghi saja. Hal ini dapat dibuktikan dengan yang terdapat dalam kitab Mu’im al-Muallifin karangan Syekh Umar Rida Kahhalah yang memuat biografi, yaitu para ulama/sarjana yang ahli dalam berbagai pengetahuan yang dihubungkan dengan kota asalnya al-Maraghah.
Kesalah
kaprahan ini terjadi karena Muhammad Musthafa al-Maraghi (kakaknya) juga
terkenal sebagai seorang mufassir. Sebagai mufassir, Muhammad Musthafa juga
melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak meninggalkan karya tafsir
Alquran secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis tafsir beberapa bagian Al-quran,
seperti surah al-Hujurat dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud
di sini sebagai penulis Tafsir al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi,
adik kandung dari Muhammad Musthafa al-Maraghi.
Masa
kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga yang religius. Pendidikan
dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat di mana ia
mempelajari Alquran, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya. Ia
terkenal berotak cedas, sehingga sebelum usia 13 tahun ia sudah menghafal seluruh
ayat Al-quran. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasa-dasar
ilmu agama di madrasah sampai ia menamatkan pendidikan tingkat menengah.
Pada tahun 131 H/189 M atas persetujuan orangtuanya, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar di Kairo. Di sini ia mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan agama, seperti bahasa Arab, balaghah, tafsirilmu al-Qur’an, Hadits, ilmu Hadits, fikih, usul fikih, ilmu falak dan sebagainya.
Pada tahun 131 H/189 M atas persetujuan orangtuanya, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar di Kairo. Di sini ia mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan agama, seperti bahasa Arab, balaghah, tafsirilmu al-Qur’an, Hadits, ilmu Hadits, fikih, usul fikih, ilmu falak dan sebagainya.
Disamping
itu ia juga mengikuti kuliah di Fakultas Dar al-Ulum Kairo (yang dahulu
merupakan perguruan Tinggi tersendiri, dan kini menjadi bagian dari Cairo
University). Ia berhasil menyelesaikan studinya di kedua perguruan tinggi
tersebut pada tahun 1909. Diantara dosen-dosen yang ikut mengajarnya di Al-Azhar
dan Dar al-Ulum adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Hasan al-Adawi,
Syekh Muhammad Bahis al-Mut’i, dan Syekh Muhammad Rifa’i al-Fayumi. Dengan
kesibukannya di dua perguruan tinggi ini al-Maraghi dapat disebut sebagai orang
yang ulet, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909
M. Di kedua Universitas tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung
dari tokoh-tokoh ternama dan ahli di bidangnya masing-masing pada waktu itu,
seperti: Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Ahmad Rifa’i
al-Fayumi, dan lain-lain.
Merekalah
antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi, sehingga ia tumbuh menjadi
sosok intelektual muslim yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.
Setelah
menamatkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan Darul ‘Ulum, ia terjun ke
masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Beliau mengabdi
sebagai guru di beberapa madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang
telah dipelajari dan dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai
Direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten
(kotamadya) yang terletak 300 Km sebelah barat daya kota Kairo. Dan, pada tahun
1916, ia diminta sebagai Dosen Utusan untuk mengajar di Fakultas Filial
Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun.
Pada
tahun 1916 ia diangkat menjadi dosen utusan Universitas Al-Azhar untuk mengajar
ilmu-ilmu Syari’ah Islam pada Fakultas Ghirdun di Sudan. Di Sudan, selain sibuk
mengajar, Al-Maraghi juga giat mengarang buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang
selesai dikarangnya di sana adalah Ulum alBalaghah.
Pada
tahun 1920, setelah tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Kairo Mesir dan
langsung diangkat sebagai dosen Bahasa Arab di Universitas Darul ‘Ulum sampai
tahun 1940. Disamping itu ia juga diangkat menjadi dosen ilmu balaghah dan
sejarah kebudayaan Islam di Fakultas Adab Universitas Al-Azhar.
Pada
rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah, di
antaranya : Ma’had Tarbiyah Mu’allimat beberapa tahun lamanya, sampai ia
mendapat piagam tanda penghargaan dari Raja Mesir Faruq pada tahun 1361.H atas
jasa-jasanya itu. Piagam tersebut tertanggal 11-1-1361 H. Pada tahun 1370 H /
1951 M, yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, beliau masih juga
mengajar dan bahkan masih dipercayakan menjadi Direktur Madrasah Usman Mahir
Basya di Kairo sampai menjelang akhir hayatnya. Beliau meninggal dunia pada
tanggal 9 Juli 1952 M / 1371 H di tempat kediamannya di Jalan Zulfikar Basya
nomor 37 Hilwan dan dikuburkan di pemakaman keluarganya di Hilwan, kira-kira 25
km di sebelah selatan kota Kairo.Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.).
Namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota
tersebut.
Berkat
didikan dari Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, lahirlah ratusan, bahkan ribuan
ulama, sarjana dan cendikiawan muslim yang bisa dibanggakan oleh berbagai
lembaga pendidikan Islam, yang ahli dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Mereka
inilah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh aktifitas bangsanya, yang mampu
mengemban dan meneruskan cita-cita bangsanya di bidang pendidikan dan
pengajaran serta bidang-bidang lain.
Diantara bekas mahasiswa Ahmad Mustafa Al-Maraghi yang berasal dari Indonesia adalah :
1. Bustami Abdul Gani, Guru Besar dan dosen Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Mukhtar Yahya, Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3.
Mastur Djahri, dosen senior IAIN Antasari Banjarmasin.
4.
Ibrahim Abdul Halim, dosen senior IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Abdul Rozaq al-Amudy, dosen senior IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sebagai ulama, Al-Maraghi memilki kecendrungan bukan hanya kepada bahasa Arab, tetapi juga kepada ilmu tafsir, dan minatnya itu melebar sampai kepada ilmu fikih. Pandangan-pandangannya tentang Islam terkenal tajam menyangkut penafsiran alQur’an dalam hubungannya dengan akal dalam menafsirkan alQur’an. Dalam bidang ilmu tafsir, ia memiliki karya yang sampai kini menjadi literatur wajib di berbagai perguruan tinggi Islam di seluruh dunia, yaitu Tafsir al-Maraghi yang ditulisnya selama 10 tahun. Tafsir tersebut terdiri dari 30 juz, telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
B.
Karya-karya Syekh al-Maraghi
Al-Maraghi
adalah ulama kontemporer terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Selama
hidup, ia telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama. Banyak hal
yang telah ia lakukan. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang
telah disebutkan, ia juga mewariskan kepada umat ini karya ilmiyah. Salah satu
di antaranya adalah Tafsi-r al-Maraghi, sebuah kitab tafsir yang beredar dan
dikenal di seluruh dunia Islam sampai saat ini. Karya-karyanya yang lainnya
adalah:
1.
Al-Hisbat fi al-Islâm;
2.
Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh;
3.
‘Ulûm al-Balâghah;
4.
Muqaddimat at-Tafsîr;
5.
Buhûts wa A-râ’ fi Funûn al-Balâghah; dan
6.
Ad-Diyânat wa al-Akhlâq.
Dengan
segala kesibukannya, Al-Maraghi menulis karya monumentalnya ini selama kurang
lebih 10 tahun. Karena komitmen dan disiplin waktu yang ketat, al-Maraghi mampu
menyelesaikan penulisan tafsir ini tanpa mengganggu aktivitas primernya sebagai
seorang dosen dan pengajar.
Menurut
salah satu referensi, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya ini, ia hanya membutuhkan
waktu istirahat selama 4 jam, sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk
mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira
Jam 3.00, al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat
seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah, lalu dilanjutkan dengan menulis
tafsir ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja.
Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya,
melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam.
Demikianlah aktifitas al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan tinta
emas, sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase perpustakaan Islam di
berbagai negara muslim dewasa ini.
Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab dan tuntutan ilmiah Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema dalama masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi alternatif berdasarkan makna-makna yang terkandung dalam nash-nash Qur’ani. Karena alasasn ini pulalah tafsir ini tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya ini.
Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab dan tuntutan ilmiah Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema dalama masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi alternatif berdasarkan makna-makna yang terkandung dalam nash-nash Qur’ani. Karena alasasn ini pulalah tafsir ini tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya ini.
C.
Metode dan Sistematika penafsiran
Dari
sisi metodologi, al-Maraghi bisa disebut telah mengembangkan metode baru. Bagi
sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali
memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara "uraian global"
dan "uraian rincian", sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya
dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijma-li dan ma’na tahlili.
Kemudian,
dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi
juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat.
8Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif)
terpelihara dari riwayat yang lemah (dha'if) dan susah diterima akal atau tidak
didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh al-Maraghi
sendiri pada muqaddimahnya tafsirnya ini.
Al-Maraghi
sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan
keniscayaan bagi mufassir untuk melibatkan dua sumber penafsiran ('aql/
ijtihadi dan naql/ bi al-ma’tsur).11Karena memang hampir tidak mungkin menyusun
tafsir kontemporer dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena
jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul
membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan
problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat.
Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak
mungkin, karena dikhawatirkan rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan, sehingga
tafsir itu justru tidak dapat diterima.
Namun
tidak dapat dipungkiri, Tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir
yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis
tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling
banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan,
sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan
terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang
sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha.
Adapun Metode Penafsiran tafsir Al-Maraghi antara lain:
1. Metode tafsir bi al Iqtirani (perpaduan antara bi al Manqul
dan bi al Ma’qul)bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya): Adalah cara
menafdirkan al Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antarasumber tafsir
riwayah yang kuat dan dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yangsehat.
2. Metode tafsir Muqarin / komperasi (bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat-ayat al Qur’an), Yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalahyang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapat mufasir dengan mufasirlain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan.
2. Metode tafsir Muqarin / komperasi (bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat-ayat al Qur’an), Yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalahyang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapat mufasir dengan mufasirlain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan.
3. Metode tafsir Ithnabi ( bila ditinjau dari segi keluasaan penjelasantafsirannya) Ialah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat al Qur’an hanya secaramendetail / rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar, sehingga cukup jelas danterang yang banyak disenangi oleh para cerdik pandai.
4. Metode tafsir Tahlily (bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan) adalah menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara urut dan tertibdengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al Fatihah hinggaakhir surat an Nas.
Sistematika dan langkah-langkah penulisan yang digunakan di dalam Tafsir al-Maraghi adalah sebagai berikut:
1.Menghadirkan
satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini
dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut
sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas (Metode
tafsir tahlili).
2.Penjelasan
kosa kata (syarh al-mufradat). Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok
ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang
sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah
ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau
sulit bagi pembaca.
3.Makna
ayat sacara umum (Ma’na al-Ijmali). Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha
menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum
melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki
pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud
ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang
diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di
mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
4.Penjabaran
(al-Idhah). Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang
luas, termasuk menyebutkan asbab an-Nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut
standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan
penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang
bertele-tele (al-ithnab), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan
yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana,
singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
Ali
Iyazi menyimpulkan bahwa pembahasan kitab tafsir ini mudah dipahami dan enak
dicerna, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kelas menengah dalam memahami
Al-Qur’an, serta relevan dengan problematika yang muncul pada masa kontemporer.
D. Aliran atau kecenderungan penafsiran
Para
mufasir yang mempunyai kecenderungan tersendiri dalam menafsirkan ayat-ayat al
Qur’an itu akan menimbulkan aliran-aliran tafsir al-Qur’an. Diantaranya ialah
tafsir lughawi / adabi, al fiqhi, shufi, I’tiqadi, falsafi, asri / ilmi,
ijma’i.
Menurut
Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA bahwa aliran tafsir al Qur’an ada tujuh yakni:
tafsir lughawi / adabi, al fiqhi / ahkam, shufi / isyari, I’tizali, syi’i /
bathini, aqli / falsafi, ilmi / ashri.
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, aliran (corak) tafsir ada: corak fiqhiy, shufiy, ilmiy, bayan, falsafiy, adabiy, ijtima’iy.
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, aliran (corak) tafsir ada: corak fiqhiy, shufiy, ilmiy, bayan, falsafiy, adabiy, ijtima’iy.
Dari
pengertian tersebut maka tafsir al-Maraghi termasuk :
Tafsir
lughawi / adabi : Ialah tafsir yang menitik beratkan pada unsure bahasa, yaitu
meliputi segi I’rab dan harakat bacaannya, pembentukan kata, susunan kalimat,
kesusateraan.
KESIMPULAN
1. Nama lengkap Al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa Ibn Mustafa Ibn Muhammad Ibn ‘Abd al-Mu’im al-Qadi al-Maraghi. Al-Maraghi lahir di kota Maraghah, propinsi Suhaj, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km di sebelah selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M.7 Nama Kota kelahirannya inilah yang kemudian melekat dan menjadi nisbah (nama belakang) bagi dirinya.Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maraghi.
2. Karya-karyanya yang lainnya adalah: Al-Hisbat fi al-Islâm, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, ‘Ulûm al-Balâghah, Muqaddimat at-Tafsîr, Buhûts wa A-râ’ fi Funûn al-Balâghah, dan Ad-Diyânat wa al-Akhlâq.
3. Metode Penafsiran tafsir al-Maraghi ada 4, yaitu:
KESIMPULAN
1. Nama lengkap Al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa Ibn Mustafa Ibn Muhammad Ibn ‘Abd al-Mu’im al-Qadi al-Maraghi. Al-Maraghi lahir di kota Maraghah, propinsi Suhaj, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km di sebelah selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M.7 Nama Kota kelahirannya inilah yang kemudian melekat dan menjadi nisbah (nama belakang) bagi dirinya.Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maraghi.
2. Karya-karyanya yang lainnya adalah: Al-Hisbat fi al-Islâm, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, ‘Ulûm al-Balâghah, Muqaddimat at-Tafsîr, Buhûts wa A-râ’ fi Funûn al-Balâghah, dan Ad-Diyânat wa al-Akhlâq.
3. Metode Penafsiran tafsir al-Maraghi ada 4, yaitu:
a.
Metode tafsir bi al Iqtirani
b.
Metode tafsir Muqarin / komperasi
c.
Metode tafsir Ithnabi
d.
Metode tafsir Tahlily
4. Aliran atau kecenderungan penafsiran : Al-maraghi cenderung
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menganut aliran Tafsir lughawi / adabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar