Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Abdul Karim, SS., MA.
Disusun
oleh:
AKHMAD SYAIFUDDIN : 311020
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
Progam Studi Tafsir Hadits
TAKLIF (Pembebanan Hukum)
I. PENDAHULUAN
Dalam
pandangan Islam,
bahwa alam (universum) ini
adalah ciptaan Allah, Rabb al-Alamin, Ia adalah Maha Esa. Ke-TuhananNya bebas
dari berpihak dan ketidak-adilan. Manusia adalah mahluk, warga yang
dilahirkan dan sebagai hambaNya, dan
dilahirkan hanya untuk mengabdi dan mematuhiNya. Allah SWT. Berfirman dalam
Surat adz-Dzariyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya; Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat: 56)[1]
Allah SWT
meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat
latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah
SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat.
Seperti
contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan
karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak.
Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga
dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa
disengaja dan jelas tidak diingini.
Begitu juga
dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam
peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh
hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.
II. RUMUSAN MASALAH
Pada
makalah ini terdapat pokok permasalahan berdasarkan
latar belakang tersebut, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apakah taklîf itu serta objeknya?
2.
Apakah mukallaf itu serta bagaimana gambarannya?
III. PEMBAHASAN
A. Definisi Taklîf
Sebelum
membahas lebih dalam tentang taklîf, perlu diketahui bahwa pembahasan taklîf di
sini adalah berkaitan dengan hukum. Maka dari itu, perlu diketahui bahwa
pengertian hukum secara istilah menurut mayoritas ulama usul adalah:
خطاب الله تعالى المتعلق
بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع”
Artinya; “Kalam/Ketentuan Allah yang berhubungan dengan
perbuatan para mukallaf baik berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan),
atau pilihan atau meletakan/menjadikan (suatu sebab atau penghalang bagi suatu
hukum)”[2].
a. Yang
dimaksud dengan “خطاب الله” adalah dalil yang secara langsung datang dari Allah SWT yaitu
Alquran, atau dalil yang datang dengan wâsithah (lantaran) seperti Sunah,
Ijmak, Qiyas, dan dalil-dalil yang lain. Maka setiap satu dari dalil-dalil ini
adalah hukum syar’î menurut ulama-ulama usul.
b. Yang
dimaksud dengan “بالإقتضاء” adalah tuntutan (الطلب) untuk melakukan sesuatu, sama
ada tuntutan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan.
c. Yang
dimaksud dengan “بالتخيير” adalah kebolehan (الإباحة) antara melakukan atau
meninggalkan sesuatu perbuatan dengan posisi yang sama.
d. Yang
dimaksud dengan “بالوضع” adalah meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah,
sah, rusak, azîmah, atau keringanan pada sesuatu yang lain.
Dari sini,
hukum syar’i itu terbagi menjadi dua bagian: 1. Hukum Taklîfî, dan 2. Hukum
Wadl’î. Bagian yang pertama, yaitu hukum taklîfî:
Secara bahasa, kata taklîf (تكليف) berasal dari fi’il mâdli “كلّف” yang memiliki makna
“membebani”. Seperti contoh “كلّف زيد عمرا بالأمر” yang berarti “Zaid membebani
Umar dengan sebuah perkara”. Maka kata “تكليف” berarti “pembebanan”.
Pengertian
hukum Taklîfî secara istilah adalah: “ما اقتضى طلب
فعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل والكف عنه” artinya; “Hukum
taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau
meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan”[3].
Contoh
tuntutan melakukan perbuatan adalah ayat “أقيموا
الصلاة” atau “كتب عليكم
الصيام”. Sedangkan
contoh tuntutan meninggalkan perbuatan adalah ayat “ولا تقتلوا
النفس التي حرم الله إلا بالحق” atau “حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير...”. Bagi contoh pilihan pula
adalah ayat “فلا جُناح عليهما فيما افتدتْ به” atau “وإذا ضربتم
في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة”
Hukum ini
disebut sebagai hukum taklîfî adalah dikarenakan hukum ini memiliki pembebanan
(تكليف) dengan melakukan atau meninggalkan atau pilihan dalam
melakukan perbuatan tersebut
Hukum
taklîfî terbagi menjadi 5 jenis karena “خطاب الله” yang berupa tuntutan melakukan
sebuah perbuatan itu terkadang ada yang tegas, maka hukumnya adalah al-Ijâb.
Ada juga yang tidak tegas, maka hukumnya adalah al-Nadb. Tuntutan yang menuntut
untuk meninggalkan suatu perbuatan seumpama ia tegas, maka hukumnya al-tahrîm.
Akan tetapi kalau ia tidak secara tegas, maka hukumnya al-karâhah. Apabila “خطاب” itu menunjukkan pada kebolehan
melakukan pemilihan, maka hukumnya adalah al-Ibâhah.
Sedangkan
perkara-perkara yang dituntut untuk melakukannya atau meninggalkannya atau
terdapat pilihan itu ada 5 jenis:[4]
1. Al-Wâjib:
Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk
melakukannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang
melakukan perbuatan itu mendapat pahala dari Allah SWT dan bila ditinggalkan
berakibat dosa. Seperti contoh mendirikan solat lima waktu, membayar zakat, dan
lain-lain.
2.
Al-Mandûb: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk
melakukannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang
yang melakukan perbuatan mandûb mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila
ditinggalkan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menulis hutang-piutang, siwakan,
dan lain-lain
3. Al-Harâm:
Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk
meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang
melakukan perbuatan itu mendapat dosa dari Allah SWT dan bila ditinggalkan
mendapatkan pahala. Seperti contoh memakan harta riba, melakukan zina, dan
lain-lain.
4.
Al-Makrûh: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk
meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang
yang meninggalkan perbuatan makrûh mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi
apabila dilakukan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menjatuhkan thalâq terhadap
istrinya.
5. Al-Mubâh:
Sebuah perkara yang oleh al-Syâri’ memperbolehkan terhadap mukallaf untuk
memilih antara melakukannya atau meninggalkannya. Dengan gambaran orang yang
melakukan atau meninggalkan perkara yang mubâh tidak diberi pahala maupun dosa.
Seperti contoh diperbolehkannya berburu apabila telah selesai melaksanakan
ibadah haji.
Bagian yang
kedua dari hukum syar’î adalah hukum wadl’î. Menurut Wahbah al-Zuhaylî, Hukum
wadl’î ialah “خطاب الله” yang turun untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat,
pencegah, sah, rusak, ‘azîmah, dan keringanan. Sedangkan menurut Khalîl al-‘Alâ`î al-Syâfi’î, hukum wadl’î adalah sebuah “الخطاب” yang tumbuh yang berhubungan
dengan pekerjaan orang mukallaf, tidak dengan tuntutan atau pilihan[5].
Perbedaan antara hukum taklîfî dan
hukum wadl’î terdapat 3 poin:[6]
1. Hukum
taklîfî menghendaki terwujudnya pekerjaan yang dituntut untuk dilakukan dan
menjauhkan diri dari yang terlarang atau memilih menurut keinginan mukallaf untuk
mengerjakan atau meninggalkan sesuatu perkara. Sedangkan hukum wadl’î tidak ada
beban dengan tuntutan maupun pilihan, melainkan hukum wadl’î adalah
memperhatikan tentang adanya ikatan atau kaitan antara suatu perkara dengan
lainnya dengan menjadikan sebab, syarat atau pencegah baginya.
2. Yang
dituntut dalam hukum taklîfî ialah sesuatu yang mampu dilakukan oleh mukallaf
menurut ukuran normal, seperti mengerjakan ibadat, menulis, berjalan dan
sebagainya. Sedangkan hukum wadl’î adalah sesuatu yang mampu atau tidak mampu
dilakukan oleh mukallaf. Seperti contoh mencuri akan menyebabkan (مسبب) pada terpotongnya tangan, dan
sifat kerabat menjadi sebab pada dapat menerima warisan.
3. Hukum
taklîfî itu tidak ada hubungan kecuali dengan orang mukallaf. Sedangkan hukum
wadl’î itu berhubungan dengan manusia, sama ada ia mukallaf atau tidak, seperti
anak kecil dan orang gila. Seperti contoh sahnya jual-belinya anak kecil, dan
tetapnya hutang bagi tanggungan orang gila maupun anak kecil.
B. Mukallaf dan gambarannya
Mukallaf
secara bahasa adalah berbentuk ism al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan.
Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani. Secara istilah, mukallaf adalah: الإنسان الذي
تعلق بفعله خطاب الشارع أو حكمه” artinya;“Seorang
manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau
hukumnya”[7].
Dari sini,
dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya.
Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta
pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan
kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia
meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum
taklîfî yang sudah diterangkan.
Sebagian
besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan hukum)
terhadap seorang mukallaf adalah akal (العقل) dan pemahaman (الفهم). Seorang mukallaf dapat
dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik
yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal
tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari
al-Syâri’. Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak
kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa[8].
Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)”
“Diangkat
pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil
sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”
رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له (رواه ابن ماجة والطبراني(”
“Beban hukum
diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.
Dari sini,
ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf
atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:
1. Orang
tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu
adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham
itu jelas tidak mungkin (محال). Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu
adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (الإدراك). Hanya saja akal itu adalah
sebuah perkara yang abstrak (الخفية). Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf dengan perkara
lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu sifat baligh seseorang.
Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk,
manfaat, dan bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk
mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami
dalil taklîf. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis
yang di atas.
2. Seseorang
telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum (أهلية).
Secara
istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai: “Kepatutan seseorang untuk memiliki
beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi”[9].
Dari sini,
ulama membagi sifat ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujûb dan
Ahliyyah Adâ`. Definisi Ahliyyah Wujûb adalah sifat kecakapan seseorang untuk
menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh
kewajiban. Dasar adanya kecakapan ini adalah adanya kehidupan / nyawa
Kecakapan
semacam ini menurut ulama Fiqh disebut “ذمة”, yaitu suatu sifat yang secara
hukum menjadikan seseorang dapat bertindak dan menerima kewajiban tertentu.
Untuk menentukannya adalah berdasarkan sifat kemanusiaannya (إنسانية) yang tidak dibatasi umur,
baligh atau tidak, cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup
di dunia sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat kecakapan ini.
Kecakapan ini akan hilang apabila nyawanya hilang atau meninggal dunia.
Para ulama
usul fiqh membagi Ahliyah al-Wujûb ini menjadi dua bagian yaitu;[10]
1. Ahliyyah
al-Wujûb al-Nâqishah (أهلية الوجوب الناقصة), yaitu: ketika seseorang masih
berada di dalam kandungan ibunya. Janin dianggap memiliki Ahliyyah al-Wujûb
yang belum sempurna karena hak-hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi
miliknya secara sempurna sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat. Terdapat
empat macam hak seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
Hak
keturunan ayahnya.
Hak
warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
Wasiat
yang ditujukan kepadanya.
Harta
wakaf yang ditujukan kepadanya.
2. Ahliyyah
al-Wujûb al-Kâmilah (أهلية الوجوب الكاملة), yaitu kecakapan menerima hak
bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan berakal
walaupun masih kurang sempurna. Pada periode ini, seseorang telah menerima
kewajiban-kewajiban tertentu, seperti kewajiban untuk menjaga harta orang tuanya,
kewajiban agama yang berkaitan dengan hartanya seperti zakat, dan kewajiban
membayar ganti rugi yang diambil dari hartanya apabila ia telah merusakkan
harta orang lain.
Ahliyyah
al-`Adâ` juga terbagi menjadi dua:
1. Ahliyyah
al-`Adâ` al-Nâqishah (أهلية الأداء الناقصة) yaitu, ketika seseorang masih
kecil sampai dengan mencapai masa baligh dan berakal secara sempurna. Pada
periode ini tindakan atau perbuatan hukum seseorang dalam hal-hal tertentu
dianggap sah, seperti transaksi-transaksi yang semata-mata menguntungkan.
2. Ahliyyah
al-`Adâ` al-Kâmilah (أهلية الأداء الكاملة) yaitu, periode di mana
seseorang telah baligh dan berakal sempurna. Pada periode ini seluruh tindakan
atau perbuatan hukum seseorang harus dipertanggung jawabkan, baik melaksakan
tuntutan Syari’ maupun meninggalkan tuntutan-Nya, baik di dunia maupun di
akhirat. Transaksi-transaksi yang dilakukannya juga mengikat secara sempurna.
Perpindahan seseorang dari periode sebelumnya menuju periode ini ditandai
secara fisik, bagi laki-laki apabila telah mimpi basah dan bagi wanita apabila
telah haid.
Terkadang,
beberapa penghalang dapat menghilangkan, mengurangi, atau merubah hukum-hukum
ahliyyah (أهلية). Penghalang ini dibagi menjadi dua:[11]
1. ‘Awâridl
Samâwiyyah (عوارض سماوية) yaitu, halangan kecakapan yang datangnya dari Allah, seperti
gila, dungu, sakit keras yang berakibat kematian, dan lupa.
2. ‘Awâridl
Muktasabah (عوارض مكتسبة) yaitu, halangan kecakapan yang disebabkan oleh perbuatan
manusia, seperti mabuk, terpaksa, khilaf, bodoh, dan berada di bawah
pengampuan.
Sedangkan
dilihat dari segi obyeknya, maka halangan kecakapan dapat dibedakan menjadi
tiga bentuk:
1. Halangan
kecakapan yang mengakibatkan kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء) akan hilang sama sekali,
seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.
2. Halangan
kecakapan yang dapat mengurangi kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti dungu.
3. Halangan
kecakapan yang dapat mengubah sebagian kecakapan berbuat hukum secara sempurna
(أهلية الأداء), seperti orang yang berhutang, pailit, di bawah pengampuan,
khilaf, dan tolol.
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka kami simpulkan sebagai
berikut:
1.
Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut
mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan.
2. Mukallaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya.
3. Ulama
membagi sifat ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujûb dan Ahliyyah
Adâ`.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Dina Utama, Semarang, 1994.
al-Amidî, al-Ihkâm
fî Usûl al-Ahkâm Juz 1, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2005.
Chaerul
Umam, Ushul Fiqh 1, Pustaka Setia, Bandung,
2000.
Departemen Agama RI., Al-Quran
dan Terjemah, Mekar Surabaya, Jakarta, 2002.
Rachmat
Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih , Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Wahbah
al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî Juz 1, Dâr al-Fikr, Damaskus, 2001.
[1]
Departemen Agama RI., Al-Qur`an dan Terjemah, Mekar Sari, Jakarta,
2000.
[4]
Ibid. Hal. 32.
[5]
Ibid. Hal. 46.
[7]
Ibid. Hal. 53.
[8] Chaerul
Umam, Ushul Fiqh 1, Pustaka Setia,
Bandung, 2000, Hal. 336.
[9]
Ibid. Hal. 167.
[10]
Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994. Hal. 203.
[11]
Chairul Umam, Loc Cit. Hal. 339.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar