Senin, 20 Mei 2013

TAFSIR BIL MA’TSUR



MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas UTS
Mata Kuliah  : Madzahib Tafsir
Dosen Pengampu : Hj. Istianah, M. Ag.
 


Disusun Oleh:

Akhmad Syaifuddin A

311020

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN/TAFSIR HADITS


I.                   PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada manusia dengan bahasa yang dapat di pahami oleh manusia, sosok manusia pilihan yang menjadi sasaran pilihan pewahyuan al-Qur’an itu adalah putra Abdullah yang dilahirkan di Mekkah, yakni Muhammad SAW.
Nabi Muhammad diberi gelar Al-Amin (kepercayaan), yakni terhadap segala sesuatu apapun yang disampaikannya kepada masyarakat. Setelah menerima al-Qur’an beliau berupaya menjelaskan kepada umatnya maksud-maksud isi kandungan al-Qur’an, sehingga para sahabat yang hidup bersama Nabi tidak pernah kesulitan dalam memahami al-Qur’an. Hal ini karena mereka memahami bahasa arab, dan selalu mendapat pengajaran dan penjelasan maksud-maksud atau isi kandungan al-Qur’an.
Setelah para Nabi dan para sahabat meninggal, para tabi’in kembali berupaya menulusuri penafsiran-penafsiran Nabi dan para sahabat sebagai guru mereka, dalam hal ini terkadang para tabi’in dituntut untuk melakukan ijtihad secara terbatas dalam memahami ayat-ayat tertentu.
Kendati semakin banyaknya alat komunikasi anatar umat dan antar bangsaserta berkembangnya kemajuan manusia, al-Qur’an tetap pada posisinya, yaitu dengan dua metode dasar penafsirannya, bil ma’tsur dan bir Ra’yi.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi tafsir bil ma’tsur ?
2.      Problematika apa saja yang terjadi dalam bil ma’tsur?
3.      Apasajakah contoh karya tafsir bil ma’tsur?

III.             PEMBAHASAN
1.      Definisi tafsir bil ma’tsur

Terminologi Tafsir Bil Ma'stur
Dr. Ibrahim mengungakapkan, definisi tafsir bil ma'stur adalah penafsiran dengan cara mencari makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur'an melalui "penukilan" yang termaktub dalam al-Qur'an, hadits, ungkapan para sahabat ataupu tabiin.
Dari definisi diatas kemudian dia merumuskan metode dan jenis tafsir bil ma'stur. Metode dan jenis yang dia paparkan tidak jauh dari pengertian yang dia jabarkan diatas. Pertama, menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Kedua al-Qur'an dengan  hadist. Ketiga al-Qur'an dengan astar sahabat. Dan, keempat al-Qur'an dengan astar para tabiin.
Sedangkan Dr. Shofwat, mendefinisikan tafsir bil ma'stur sebagai sebuah penafsiran ayat-ayat suci al-Qura'n dengan cara "menukil" baik nukilan itu mutawatir ataupun tidak. Adapun metode yang diungkapkan oleh dia sama dengan apa yang dipaparkan dan diungkapkan oleh Dr. Ibrahim[1].
Sementara itu, tafsir bil ma'stur dalam definisi Dr. Husain Dzahabi adalah keterangan yang datang dari al-Qur'an itu sendiri dan apa-apa yang "dinukil" dari nabi, sahabat, serta tabiin baik berupa penjelasan atau keterangan terhadap maksud ayat-ayat Allah yang termaktub dalam al-Qur'an.
Husain dzahabi, menjelaskan siklus tafsir bil ma'stur menjadi dua, yang pertama bil riwayah dan yang kedua siklus kodifikasi. Pada siklus riwayah, proses terjadinya tafsir bil ma'sur ialah, nabi menerangkan isi kandungan al-Qur'an kepada para sahabat tentang makna-makna yang rumit dan buram. Pada siklus ini ada juga para sahabat yang tidak menerima riwayat langsung dari nabi, melainkan dari sesama sahabat yang lain. Sejalan dengan perkembangan waktu ditemukanlah para sahabat yang berbicara tentang tafsir Qur'an dengan apa yang telah diterangkan oleh nabi, bahkan ada juga yang berbicara tafsir Qur'an bersandar dan berdasar pada akal masing-masing. Ini semua tidak lepas dari kemampuan nalar akal para sahabat yang disinyalir merasa mumpuni dalam rangka mengejawentahkan makna al-Qur'an. Bukan hanya para sahabat yang mulai berani menafsirkan al-Qur'an, tabiin pada masa dimana nabi sudah tiada dan para masa sahabat berakhir juga mulai melakukan pengembangan tafsir. Maka kemudian mereka meriwayatkan penafsiran dari nabi dan para sahabat serta membubuhinya dengan pendapat mereka sendiri melalui ijtihad masing-masing. Demikianlah seterusnya, tafsir mengalami obesitas dengan munculnya berbagai ungkapan-ungkapan para tabiit tabiin yang semakin membuat eksigisi al-Qur'an semakin gemuk dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.
Pada masa berikutnya dimulailah babak baru dalam diskursus interpretasi al-qur'an, siklus kodifikasi, siklus dimana penafsiran al-Qur'an tidak hanya dari mulut ke mulut. Pada masa ini, penafsiran al-Qur'an mulai dibukukan, akan tetapi pembukuan pada masa ini belum terkodifikasi secara rapi dan teratur, dan belum ada seorang pun yang membukukan penafsirannya. Mereka hanya menulis bahwa apa yang mereka pahami merupakan bagian tersendiri dari hadist.
Nah, setelah itu tafsir memisahkan diri dari hadist dan dibubukukan secara spesifik. Seperti halnya apa yang terdapat dalam kodifikasi Ali Bin Abi Thalhah, triloginya Muhammad Bin Tsur dan ensiklopedianya Ibnu Jarir al-Thabari dengan varian yang berbeda-beda antara yang satu dan yang lainya.
Dalam tafsir bil ma'stur, para ulama sepakat bahwa landasan utama dan sumber asasi sebagai acuan dalam proses eksegisi adalah al-Qur'an, hadits, atsar sahabat dan tabiin[2]

2.      Problematika Tafsir Bil Ma'stur
a.       Terminologi
Terminologi ilmiah dalam dunia keilmuan harus merupakan peristilahan yang jami' dan mani' agar tidak ada anasir-anasir yang membuat terminologi tersebut tergerus oleh kerancauan dan menghasilkan nilai yang sempurna, tidak ngambang seperti halnya terminologi tafsir bil ma'stur. Dalam hal ini ada dua hal yang menyebabkan terminologi tafsir bil ma'stur itu salah.
Pertama, karena penamaan tafsir itu sendiri dengan tafsir bil ma'stur, memasukkan kata "dinukil" yang mempunyai arti dari orang sebelumnya dan pembagian jenis tafsir bil ma'stur menjadi empat. Hal inilah yang menjadikan terminologi tafsir bil ma'stur ini menjadi tidak dalam serta kelihatan rancau. Kesalahan ini karena arti ma'stur itu sendiri adalah apa-apa yang diwarisi dari orang sebelumnya; nabi, sahabat dan para tabiit tabiin. Jika demikian adanya, bagaimana dengan jenis tafsir bil ma'stur yang masuk dalam klasifikasi al-qur'an dengan al-qur'an? Bukankah penafsiran tersebut bukan dan tidak berasal dari orang sebelumnya, melainkan datang dari makna al-qur'an itu sendiri? Bukankah penafsiran dalam al-qur'an tidak ada "penukilan"?
Kedua, karena tidak ada kejelasan atas apa yang "dinukil". Padahal, dalam dunia penafsiran sangat jelas dan gamblang bahwa tafsir bil ma'stur adalah penafsiran yang tidak mengedepankan rasio sama sekali. Ini menandaskan, bahwa jika ada sebuah interpretasi terhadap sebuah teks-teks al-qur'an dimana pada proses interpretasinya ada penggunaan anasir akal maka penafsiran tersebut disebut tafsir bil ra'yi. Disinilah letak ketidakjelasannya, karena para sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin, penafsiran mereka ada yang murni menukil dari penafsiran nabi yang kemudian dihukumi marfu' dan ada pula yang menggunakan ijtihad mereka yang kemudian dihukumi mauquf. Sementara, dalam tafsir bil ma'stur pengambilan atas keduanya tidak jelas. Disana cuma disebutkan, dari mayoritas definisi ulama terhadap tafsir bil ma'stur, "Yang dinukil dari al-Qur'an, hadist, sahabat, dan tabiin."
b.      Sifat Akomodatif Tafsir Bil Ma'stur Terhadap Akal
Bila menilik kepada paparan ulama tentang sumber rujukan tafsir bil ma'stur, al-qur'an, hadist, sahabat, dan tabiin, maka disana akan ditemukan sumber yang tidak jauh beda dengan taf bil ra'yi. Karena kenyataannya sandaran dan pijakan yang dijadikan acuan para mufassir bil ra'yi juga tidak jauh beda dengan tafsir bil ma'stur. Lain dari itu, ternyata sumber-sumber yang dijadikan pijakan itu dalam menafsirkan teks-eks al-qur'an juga menggunakan piranti akal, baik nabi, sahabat, serta tabiin. Yang mencengangkan lagi, perbedaan kemampuan akal para sumber-sumber tafsir ini juga menghadirkan varian warna tafsir yang berbeda. Dan, berbedaan dalam penafsiran teks-teks al-qur'an yang jelas dan pasti dipicu oleh perbedaan pendapat, sementara pendapat itu sendiri juga bersumber dari akal. Artinya, perbedaan penafsiran mereka terhadap teks-teks al-qur'an adalah perbedaan akal.
c.       Regresifitas Tafsir Bil Ma'stur
Bukan keraguan lagi bila saat ini tafsir bil ma'stur berjalan ke belakang. Hal ini tidak lepas dari kelalaian para tabiin pada masa terpecah belahnya umat Islam menjadi Syiah, Khawarij dan Jumhur pada tahun 41 Hijriah. Karena ambisi keagamaan, politik dan kepentingan kelompok, mereka dengan mudah membuat hadist-hadits palsu dan kemudian menisbatkanya pada nabi. Tak menutupi kemungkinan bila kemudian muncul hadist-hadist buatan yang tidak jelas diketahui jluntrungnya kemana. Selain dari itu, para tabiin juga banyak yang menyandarkan sumber pengetahuan mereka terhdap teks-teks al-qur'an dalam penafsirannya kepada para ahli kitab; orang yahudi dan nashrani yang masuk Islam. Padahal jelas-jelas antara al-Qur'an, Taurat, serta Injil punya kaidah yang berbeda, meskipun pada hal-hal tertentu ada kesamaan[3].
3.      Karya-karya tafsir bil ma’tsur
Banyak karya tafsir dengan mamakai metode tafsir bil ma’tsur. Namun yang termashur menurut as-Sabuni ada delapan macam.Sedangkan menurut Manna al-Qattan ada 14 macam. Terlepas dari perbedaan jumlah karya tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara as-Sabuni dan Manna al-Qattan, secara keseluruhan karya-karya itu adalah sebagai berikut:
1.      Muhammad Ibnu Jarir at-Tabary, Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Alquran.
2.      Nasr bin Muhammad as-Samarqandy, Bahr al-’Ulum.
3.      Ahmad bin Ibrahim al-Sa’laby al-Naisabuty, al-Kasy wa al-Bayan.
4.      al-Husain bin Mas’ud al-Baghwy, Ma’alim al-Tanzil.
5.      Abdul Haq bin Galib al-Andalusy, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al­ Kitab al-`Aziz.
6.      Ismail bin Umar al-Damasqy, Tafsir Alquran al-`Adhim.
7.      Abdur Rahman bin Muhammad al-Sa’laby, al-Jawahir fi Tafsir al­Qur’ an.
8.      Jalaluddin as-Suyuti, al-Dur al-Mansur fi al-Tafsir bil Ma’tsur.
9.      Tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. 10. Tafsir Ibnu ‘Uyinah.
10.  Tafsir Ibnu Abi Halim.
11.  Tafsir Abi al-Syekh Ibnu Hibban.
12.  Tafsir Ibnu `Atiyah.
13.  Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyf wa al-Bayan `an Tafsir Alquran.
14.  Tafsir Ibnu Abi Syaibah.
15.  16. Tafsir al-Syaukany, Path al -Qadir[4].
Namun menurut Subh Salih, tafsir yang terbaik yang memakai metode tafsir bil ma’tsur ialah Tafsir Ibnu Jarir at-Tabary. Diantara keistimewaannya ialah dalam mengetengahkan penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in selalu disertai dengan isnad dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat. Kecuali itu juga terdapat kesimpulan-kesimpulan tentang hukum, dan diterangkan juga bentuk-bentuk i’rab yang menambah kejelasan makna. Tapi karena bersandar pada pengetahuan orang lain dalam hal isnad, maka kadang-kadang tanpa disengaja ia melupakan sebagiannya dan mengemukakan sebagian lain yang tidak benar tanpa memberi keterangan. Tafsir lainnya yang agak mendekati tafsir at-Tabary, bahkan dalam beberapa hal mungkin lebih balk, ialah tafsir Ibnu Kasir (Ismail bin Umar al-Damasqy). Diantara keistimewaannya ialah cermat dalam mengetengahkan isnad, susunan kalimatnya sederhana dan menunjukkan pemikiran dengan jelas. Cara Ibnu Kasir ini diikuti oleh as-Sayuty (w. 911 H). la bersandar pada riwayat hadis saheh yang diwarisinya sebagai pusaka, dan itulah yang membuat tafsirnya lebih dekat kepada pemikiran Islam ketimbang uraian-uraian yang berdasarkanPendapat[5].

IV.             PENUTUP
Dr. Ibrahim mengungakapkan, definisi tafsir bil ma'stur adalah penafsiran dengan cara mencari makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur'an melalui "penukilan" yang termaktub dalam al-Qur'an, hadits, ungkapan para sahabat ataupu tabiin.
Dari definisi diatas kemudian dia merumuskan metode dan jenis tafsir bil ma'stur. Metode dan jenis yang dia paparkan tidak jauh dari pengertian yang dia jabarkan diatas. Pertama, menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Kedua al-Qur'an dengan  hadist. Ketiga al-Qur'an dengan astar sahabat. Dan, keempat al-Qur'an dengan astar para tabiin.
Bicara masalah tektualitas berarti bicara masalah bahasa. membincang probleamtika bahasa secara langsung berarti juga membincang problematika makna, karena bahasa adalah simbol dan makna adalah esensi dari simbol tersebut. Dan, ketika mendiskusikan diskursus bahasa berarti sama artinya mendiskusikan sifat arbitrer pengguna bahasa. Artinya Allah, pengguna bahasa, punya sifat arbitrer dalam menggunakan simbol didalam menyampaikan makna dari simbol yang Dia pakai. Yang demikian inilah yang kemudian memunculkan kesenjangan antara kata dan makna atau antara simbol dan esensi. Beratnya, untuk melibas sekat pembatas antara kata dan makna guna mengambil esensi yang sebenarnya dari sebuah simbol harus menguasai banyak bahasa. Celakannya, bahasa yang harus dikuasai adalah bahasa Tuhan, bukan bahasa manusia. Sementara para nabi, sahabat, tabiin, serta tabiit tabiin dan seterusnya adalah manusia yang mencoba memahami dan menjelaskan makna dari simbol-simbol Allah.
Tafsir al-Qur'an (kalam ilahi), sebagaimana artinya, penjelasan, penerangan, dan penyingkapan terhadapa makna tektualitas yang buram, adalah hasil kreasi manusia yang kemudian coba didekati melalui pendekatan nalar guna menyingkap hakekat makna yang terselubung didalamnya untuk kemudian dijadikan pegangan hidup. Jadi, apapun bentuk penafsiran, ia adalah kreasi manusia serta akal dan sah-sah saja selama tidak ditarik-tarik ke arah kiri, kejelekan dan untuk kepentingan humanisme secara umum. Dan, tidak ada bentuk penafsiran kecual tafsir bil ra'yi. Wallahua'lamu bil al shawab.
Banyak karya tafsir dengan mamakai metode tafsir bil ma’tsur tafsir yang terbaik yang memakai metode tafsir bil ma’tsur ialah Tafsir Ibnu Jarir at-Tabary.


V.                DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Abd. Rahman Muhammad Khalifah, Dirasat Fi Manahiji Al Mufassirin, maktabah al-Azhar, 1997.
Manaul Qathan, Mabahis Fi Al Ulumi Al-Qur'an, Kairo: Maktabah Wahbah. 2007.
Rosihun. Anwar. Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Salih al,  Subh, Mabahits fi Uluum  al-Our’an, Dar al-`Ilm lil Malayin, Beirut, 1977.


[1] Ibrahim Abd. Rahman Muhammad Khalifah, Dirasat Fi Manahiji Al Mufassirin, maktabah al-Azhar, 1997. Hal 49-50.

[2]Rosihun. Anwar. Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2005. Hal. 56.

[3]Manaul Qathan, Mabahis Fi Al Ulumi Al-Qur'an, Kairo: Maktabah Wahbah. 2007. Hal.15 .

[4]Ibid. Hal. 359-360.
[5] Salih al,  Subh, Mabahits fi Uluum  al-Our’an, Dar al-`Ilm lil Malayin, Beirut, 1977, hal. 291.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar