MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas UTS
Mata Kuliah :
Madzahib Tafsir
Dosen Pengampu : Hj. Istianah, M. Ag.
Disusun Oleh:
Akhmad Syaifuddin A
311020
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
USHULUDDIN/TAFSIR HADITS
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang
diwahyukan kepada manusia dengan bahasa yang dapat di pahami oleh manusia,
sosok manusia pilihan yang menjadi sasaran pilihan pewahyuan al-Qur’an itu
adalah putra Abdullah yang dilahirkan di Mekkah, yakni Muhammad SAW.
Nabi Muhammad diberi gelar Al-Amin
(kepercayaan), yakni terhadap segala sesuatu apapun yang disampaikannya kepada
masyarakat. Setelah menerima al-Qur’an beliau berupaya menjelaskan kepada
umatnya maksud-maksud isi kandungan al-Qur’an, sehingga para sahabat yang hidup
bersama Nabi tidak pernah kesulitan dalam memahami al-Qur’an. Hal ini karena
mereka memahami bahasa arab, dan selalu mendapat pengajaran dan penjelasan
maksud-maksud atau isi kandungan al-Qur’an.
Setelah para Nabi dan para sahabat meninggal,
para tabi’in kembali berupaya
menulusuri penafsiran-penafsiran Nabi dan para sahabat sebagai guru mereka,
dalam hal ini terkadang para tabi’in dituntut
untuk melakukan ijtihad secara terbatas dalam memahami ayat-ayat tertentu.
Kendati semakin banyaknya alat komunikasi
anatar umat dan antar bangsaserta berkembangnya kemajuan manusia, al-Qur’an
tetap pada posisinya, yaitu dengan dua metode dasar penafsirannya, bil ma’tsur dan bir Ra’yi.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi tafsir bil ma’tsur ?
2. Problematika apa saja yang terjadi dalam bil ma’tsur?
3. Apasajakah contoh karya tafsir bil ma’tsur?
III.
PEMBAHASAN
1.
Definisi tafsir bil ma’tsur
Terminologi Tafsir Bil Ma'stur
Dr. Ibrahim mengungakapkan, definisi tafsir bil ma'stur
adalah penafsiran dengan cara mencari makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur'an
melalui "penukilan" yang termaktub dalam al-Qur'an, hadits, ungkapan
para sahabat ataupu tabiin.
Dari definisi diatas kemudian dia merumuskan metode dan
jenis tafsir bil ma'stur. Metode dan jenis yang dia paparkan tidak jauh dari
pengertian yang dia jabarkan diatas. Pertama, menafsirkan al-Qur'an dengan
al-Qur'an. Kedua al-Qur'an dengan hadist. Ketiga al-Qur'an dengan astar
sahabat. Dan, keempat al-Qur'an dengan astar para tabiin.
Sedangkan Dr. Shofwat, mendefinisikan tafsir bil ma'stur
sebagai sebuah penafsiran ayat-ayat suci al-Qura'n dengan cara
"menukil" baik nukilan itu mutawatir ataupun tidak. Adapun metode
yang diungkapkan oleh dia sama dengan apa yang dipaparkan dan diungkapkan oleh
Dr. Ibrahim[1].
Sementara itu, tafsir bil ma'stur dalam definisi Dr.
Husain Dzahabi adalah keterangan yang datang dari al-Qur'an itu sendiri dan
apa-apa yang "dinukil" dari nabi, sahabat, serta tabiin baik berupa
penjelasan atau keterangan terhadap maksud ayat-ayat Allah yang termaktub dalam
al-Qur'an.
Husain dzahabi, menjelaskan siklus tafsir bil ma'stur
menjadi dua, yang pertama bil riwayah dan yang kedua siklus kodifikasi. Pada
siklus riwayah, proses terjadinya tafsir bil ma'sur ialah, nabi menerangkan isi
kandungan al-Qur'an kepada para sahabat tentang makna-makna yang rumit dan
buram. Pada siklus ini ada juga para sahabat yang tidak menerima riwayat
langsung dari nabi, melainkan dari sesama sahabat yang lain. Sejalan dengan
perkembangan waktu ditemukanlah para sahabat yang berbicara tentang tafsir
Qur'an dengan apa yang telah diterangkan oleh nabi, bahkan ada juga yang
berbicara tafsir Qur'an bersandar dan berdasar pada akal masing-masing. Ini
semua tidak lepas dari kemampuan nalar akal para sahabat yang disinyalir merasa
mumpuni dalam rangka mengejawentahkan makna al-Qur'an. Bukan hanya para sahabat
yang mulai berani menafsirkan al-Qur'an, tabiin pada masa dimana nabi sudah
tiada dan para masa sahabat berakhir juga mulai melakukan pengembangan tafsir.
Maka kemudian mereka meriwayatkan penafsiran dari nabi dan para sahabat serta
membubuhinya dengan pendapat mereka sendiri melalui ijtihad masing-masing.
Demikianlah seterusnya, tafsir mengalami obesitas dengan munculnya berbagai
ungkapan-ungkapan para tabiit tabiin yang semakin membuat eksigisi al-Qur'an
semakin gemuk dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.
Pada masa berikutnya dimulailah babak baru dalam
diskursus interpretasi al-qur'an, siklus kodifikasi, siklus dimana penafsiran
al-Qur'an tidak hanya dari mulut ke mulut. Pada masa ini, penafsiran al-Qur'an
mulai dibukukan, akan tetapi pembukuan pada masa ini belum terkodifikasi secara
rapi dan teratur, dan belum ada seorang pun yang membukukan penafsirannya.
Mereka hanya menulis bahwa apa yang mereka pahami merupakan bagian tersendiri
dari hadist.
Nah, setelah itu tafsir memisahkan diri dari hadist dan
dibubukukan secara spesifik. Seperti halnya apa yang terdapat dalam kodifikasi
Ali Bin Abi Thalhah, triloginya Muhammad Bin Tsur dan ensiklopedianya Ibnu
Jarir al-Thabari dengan varian yang berbeda-beda antara yang satu dan yang
lainya.
Dalam tafsir bil ma'stur, para ulama sepakat bahwa
landasan utama dan sumber asasi sebagai acuan dalam proses eksegisi adalah
al-Qur'an, hadits, atsar sahabat dan tabiin[2].
2. Problematika
Tafsir Bil Ma'stur
a.
Terminologi
Terminologi ilmiah dalam dunia
keilmuan harus merupakan peristilahan yang jami' dan mani' agar tidak ada
anasir-anasir yang membuat terminologi tersebut tergerus oleh kerancauan dan
menghasilkan nilai yang sempurna, tidak ngambang seperti halnya terminologi
tafsir bil ma'stur. Dalam hal ini ada dua hal yang menyebabkan terminologi
tafsir bil ma'stur itu salah.
Pertama, karena penamaan tafsir itu
sendiri dengan tafsir bil ma'stur, memasukkan kata "dinukil" yang
mempunyai arti dari orang sebelumnya dan pembagian jenis tafsir bil ma'stur
menjadi empat. Hal inilah yang menjadikan terminologi tafsir bil ma'stur ini
menjadi tidak dalam serta kelihatan rancau. Kesalahan ini karena arti ma'stur
itu sendiri adalah apa-apa yang diwarisi dari orang sebelumnya; nabi, sahabat
dan para tabiit tabiin. Jika demikian adanya, bagaimana dengan jenis tafsir bil
ma'stur yang masuk dalam klasifikasi al-qur'an dengan al-qur'an? Bukankah
penafsiran tersebut bukan dan tidak berasal dari orang sebelumnya, melainkan
datang dari makna al-qur'an itu sendiri? Bukankah penafsiran dalam al-qur'an
tidak ada "penukilan"?
Kedua, karena tidak ada kejelasan
atas apa yang "dinukil". Padahal, dalam dunia penafsiran sangat jelas
dan gamblang bahwa tafsir bil ma'stur adalah penafsiran yang tidak mengedepankan
rasio sama sekali. Ini menandaskan, bahwa jika ada sebuah interpretasi terhadap
sebuah teks-teks al-qur'an dimana pada proses interpretasinya ada penggunaan
anasir akal maka penafsiran tersebut disebut tafsir bil ra'yi. Disinilah letak
ketidakjelasannya, karena para sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin, penafsiran
mereka ada yang murni menukil dari penafsiran nabi yang kemudian dihukumi
marfu' dan ada pula yang menggunakan ijtihad mereka yang kemudian dihukumi
mauquf. Sementara, dalam tafsir bil ma'stur pengambilan atas keduanya tidak
jelas. Disana cuma disebutkan, dari mayoritas definisi ulama terhadap tafsir
bil ma'stur, "Yang dinukil dari al-Qur'an, hadist, sahabat, dan
tabiin."
b.
Sifat Akomodatif Tafsir Bil Ma'stur
Terhadap Akal
Bila menilik kepada paparan ulama
tentang sumber rujukan tafsir bil ma'stur, al-qur'an, hadist, sahabat, dan
tabiin, maka disana akan ditemukan sumber yang tidak jauh beda dengan taf bil
ra'yi. Karena kenyataannya sandaran dan pijakan yang dijadikan acuan para
mufassir bil ra'yi juga tidak jauh beda dengan tafsir bil ma'stur. Lain dari
itu, ternyata sumber-sumber yang dijadikan pijakan itu dalam menafsirkan
teks-eks al-qur'an juga menggunakan piranti akal, baik nabi, sahabat, serta
tabiin. Yang mencengangkan lagi, perbedaan kemampuan
akal para sumber-sumber tafsir ini juga menghadirkan varian warna tafsir yang
berbeda. Dan, berbedaan dalam penafsiran teks-teks al-qur'an yang jelas dan
pasti dipicu oleh perbedaan pendapat, sementara pendapat itu sendiri juga
bersumber dari akal. Artinya, perbedaan penafsiran mereka terhadap teks-teks
al-qur'an adalah perbedaan akal.
c.
Regresifitas Tafsir Bil Ma'stur
Bukan keraguan
lagi bila saat ini tafsir bil ma'stur berjalan ke belakang. Hal ini tidak lepas
dari kelalaian para tabiin pada masa terpecah belahnya umat Islam menjadi
Syiah, Khawarij dan Jumhur pada tahun 41 Hijriah. Karena ambisi keagamaan,
politik dan kepentingan kelompok, mereka dengan mudah membuat hadist-hadits
palsu dan kemudian menisbatkanya pada nabi. Tak menutupi kemungkinan bila kemudian
muncul hadist-hadist buatan yang tidak jelas diketahui jluntrungnya
kemana. Selain dari itu, para tabiin juga banyak yang
menyandarkan sumber pengetahuan mereka terhdap teks-teks al-qur'an dalam
penafsirannya kepada para ahli kitab; orang yahudi dan nashrani yang masuk
Islam. Padahal jelas-jelas antara al-Qur'an, Taurat, serta Injil punya kaidah
yang berbeda, meskipun pada hal-hal tertentu ada kesamaan[3].
3.
Karya-karya tafsir bil ma’tsur
Banyak karya tafsir dengan mamakai metode tafsir bil ma’tsur.
Namun yang termashur menurut as-Sabuni ada delapan macam.Sedangkan
menurut Manna al-Qattan ada 14 macam. Terlepas dari perbedaan jumlah karya
tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara as-Sabuni dan Manna al-Qattan, secara
keseluruhan karya-karya itu adalah sebagai berikut:
1.
Muhammad Ibnu Jarir at-Tabary, Jami’ al-Bayan `an Ta’wil
Alquran.
2.
Nasr bin Muhammad as-Samarqandy, Bahr al-’Ulum.
3.
Ahmad bin Ibrahim al-Sa’laby al-Naisabuty, al-Kasy wa
al-Bayan.
4.
al-Husain bin Mas’ud al-Baghwy, Ma’alim al-Tanzil.
5.
Abdul Haq bin Galib al-Andalusy, al-Muharrar al-Wajiz fi
Tafsir al Kitab al-`Aziz.
6.
Ismail bin Umar al-Damasqy, Tafsir Alquran al-`Adhim.
7.
Abdur Rahman bin Muhammad al-Sa’laby, al-Jawahir fi
Tafsir alQur’ an.
8.
Jalaluddin as-Suyuti, al-Dur al-Mansur fi al-Tafsir bil
Ma’tsur.
9.
Tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. 10. Tafsir
Ibnu ‘Uyinah.
10.
Tafsir Ibnu Abi Halim.
11.
Tafsir Abi al-Syekh Ibnu Hibban.
12.
Tafsir Ibnu `Atiyah.
13.
Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyf wa al-Bayan `an Tafsir
Alquran.
14.
Tafsir Ibnu Abi Syaibah.
15.
16. Tafsir al-Syaukany, Path al -Qadir[4].
Namun menurut Subh Salih, tafsir yang terbaik yang
memakai metode tafsir bil ma’tsur ialah Tafsir Ibnu Jarir at-Tabary.
Diantara keistimewaannya ialah dalam mengetengahkan penafsiran para sahabat
Nabi dan tabi’in selalu disertai dengan isnad dan diperbandingkan untuk
memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat. Kecuali itu juga terdapat
kesimpulan-kesimpulan tentang hukum, dan diterangkan juga bentuk-bentuk i’rab
yang menambah kejelasan makna. Tapi karena bersandar pada pengetahuan orang
lain dalam hal isnad, maka kadang-kadang tanpa disengaja ia melupakan
sebagiannya dan mengemukakan sebagian lain yang tidak benar tanpa memberi
keterangan. Tafsir lainnya yang agak mendekati tafsir at-Tabary, bahkan dalam
beberapa hal mungkin lebih balk, ialah tafsir Ibnu Kasir (Ismail bin Umar
al-Damasqy). Diantara keistimewaannya ialah cermat dalam mengetengahkan isnad,
susunan kalimatnya sederhana dan menunjukkan pemikiran dengan jelas. Cara Ibnu
Kasir ini diikuti oleh as-Sayuty (w. 911 H). la bersandar pada riwayat hadis
saheh yang diwarisinya sebagai pusaka, dan itulah yang membuat tafsirnya lebih
dekat kepada pemikiran Islam ketimbang uraian-uraian yang berdasarkanPendapat[5].
IV.
PENUTUP
Dr. Ibrahim mengungakapkan, definisi
tafsir bil ma'stur adalah penafsiran dengan cara mencari makna lafadz atau
kalimat dalam al-Qur'an melalui "penukilan" yang termaktub dalam
al-Qur'an, hadits, ungkapan para sahabat ataupu tabiin.
Dari definisi diatas kemudian dia
merumuskan metode dan jenis tafsir bil ma'stur. Metode dan jenis yang dia
paparkan tidak jauh dari pengertian yang dia jabarkan diatas. Pertama,
menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Kedua al-Qur'an dengan hadist.
Ketiga al-Qur'an dengan astar sahabat. Dan, keempat al-Qur'an dengan astar para
tabiin.
Bicara masalah tektualitas berarti
bicara masalah bahasa. membincang probleamtika bahasa secara langsung berarti
juga membincang problematika makna, karena bahasa adalah simbol dan makna
adalah esensi dari simbol tersebut. Dan, ketika mendiskusikan diskursus bahasa
berarti sama artinya mendiskusikan sifat arbitrer pengguna bahasa. Artinya
Allah, pengguna bahasa, punya sifat arbitrer dalam menggunakan simbol didalam
menyampaikan makna dari simbol yang Dia pakai. Yang demikian inilah yang
kemudian memunculkan kesenjangan antara kata dan makna atau antara simbol dan
esensi. Beratnya, untuk melibas sekat pembatas antara kata dan makna guna
mengambil esensi yang sebenarnya dari sebuah simbol harus menguasai banyak
bahasa. Celakannya, bahasa yang harus dikuasai adalah bahasa Tuhan, bukan
bahasa manusia. Sementara para nabi, sahabat, tabiin, serta tabiit tabiin dan
seterusnya adalah manusia yang mencoba memahami dan menjelaskan makna dari
simbol-simbol Allah.
Tafsir al-Qur'an (kalam ilahi),
sebagaimana artinya, penjelasan, penerangan, dan penyingkapan terhadapa makna
tektualitas yang buram, adalah hasil kreasi manusia yang kemudian coba didekati
melalui pendekatan nalar guna menyingkap hakekat makna yang terselubung
didalamnya untuk kemudian dijadikan pegangan hidup. Jadi, apapun bentuk
penafsiran, ia adalah kreasi manusia serta akal dan sah-sah saja selama tidak
ditarik-tarik ke arah kiri, kejelekan dan untuk kepentingan humanisme secara
umum. Dan, tidak ada bentuk penafsiran kecual tafsir bil ra'yi. Wallahua'lamu
bil al shawab.
Banyak karya tafsir dengan mamakai metode tafsir bil
ma’tsur tafsir yang terbaik yang memakai metode tafsir bil ma’tsur ialah Tafsir
Ibnu Jarir at-Tabary.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim Abd. Rahman
Muhammad Khalifah, Dirasat Fi Manahiji Al Mufassirin, maktabah al-Azhar,
1997.
Manaul Qathan, Mabahis Fi Al Ulumi
Al-Qur'an, Kairo: Maktabah Wahbah. 2007.
Rosihun.
Anwar. Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka
Setia, 2005.
Salih al, Subh, Mabahits
fi Uluum al-Our’an, Dar al-`Ilm lil Malayin, Beirut, 1977.
[1] Ibrahim Abd. Rahman Muhammad Khalifah, Dirasat
Fi Manahiji Al Mufassirin, maktabah al-Azhar, 1997. Hal 49-50.
[2]Rosihun. Anwar. Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2005. Hal. 56.
[3]Manaul Qathan, Mabahis Fi Al Ulumi
Al-Qur'an, Kairo: Maktabah Wahbah. 2007. Hal.15 .
[4]Ibid.
Hal. 359-360.
[5]
Salih al, Subh, Mabahits fi Uluum al-Our’an, Dar al-`Ilm
lil Malayin, Beirut, 1977, hal. 291.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar