By : Ahkmad Syaifuddin Abdullah, S.TH, Al-Hafidz
21 mei 2013
(Studi
Komparatif atas Pemikiran Yusuf al-Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali)
A. Pendahuluan
Sejak pertengahan abad ke-19,
definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir Muslim.
Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan
kelemahan politik dan agama telah menciptakan dorongan kuat diadakannya
reformasi
Sejak saat itu juga, para pemikir
Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik tentang
otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong
meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang
Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan
kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang
terus berlangsung ini adalah masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah
(contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena status Nabi Muhammad
sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar
Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, imitatio
Muhammadi menjadi dasar bagi hukum Islam.
Akan tetapi, selama abad ke-20,
kedudukan sunnah terancam dengan berbagai cara, ketika para pemikir Muslim
mencari basis kuat bagi kebangkitan kembali Islam. Masalah sunnah telah menjadi
sisi paling penting dalam krisis Muslim modern seperti krisis otoritas
keagamaan, yang menduduki tempat sentral di dalam wacana keagamaan muslim.
Makalah ini akan mencoba menguraikan
tentang bagaimana sikap para pemikir kontemporer menghadapi hadis, terutama
pemikir kontemporer tradisional yang diwakili oleh Yusuf Qardhawi dan Muhammad
Al-Ghazali. Tokoh-tokoh ini karena keduanya diindikasikan mempunyai pengaruh
yang cukup mengagumkan di kalangan pengakaji hadis akhir-akhir ini.[1]
B. Hadis dalam Pandangan Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali lahir pada
tanggal 22 september 1917 di naqla al-’Inab, al-Bukhaira Mesir. Ia adalah
seorang da`i terkenal, penulis produktif (tidak kurang dari empat puluh buku
telah ditulisnya), dan mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun, di samping seorang
ulama beraliran Salafi. Dua karyanya yang penuh diterbitkan oleh Mizan adalah Keprihatinan
Seorang Juru Dakwah (1984) dan Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20
(1989).
1. Sikap Muhammad Al-Ghazali
Terhadap Hadis
Pada tahun 1989, syaikh Muhammad
Al-Ghazali, menerbitkan sebuah buku dengan judul The Sunna of the Prophet:
Between the Legist and the Tradisionist[2]. Buku ini
menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam bukunya, Al-Ghazali
mengetengahkan banyak tema pokok dalam tentang otoritas religius, seperti
hubungan antara Al-Qur’an dan Sunnah, bagaimana posisi hadis Nabi saw. sebagai
sumber hukum Islam, dan bagaimana metode kritik hadis. Polemik itu terutama
disebabkan oleh hadis-hadis sahih yang dipertanyakan kembali oleh Muhammad
al-Ghazali karena dianggap kontradiksi dengan ajaran al-Qur’an, kebenaran
ilmiah maupun historis.
Posisi Al-Ghazali secara substansial
sama dengan posisi yang diperjuangkannya sepanjang karirnya. Pandangannya
tentang sunnah juga tidak ekstrim. Al-Ghazali mengidealkan “penyucian hadis
dari noda pemalsuan” dengan memperbaiki ketidakseimbangan dalam bagaimana
kritik hadis dipahami secara benar. Al-Ghazali menandaskan bahwa meniru
perilaku Nabi saw. merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan ridha Allah.
Menurut Yusuf Qardhawi, munculnya
kritik tajam yang ditujukan kepada Muhammad al-Ghazali tersebut disebabkan 2
hal, pertama ia tidak mau menggunakan hadis ahad dalam menetapkan akidah.
Menurut Muhammad al-Ghazali, masalah akidah harus berdasarkan keyakinan
bukan dugaan. Hadis-hadis ahad, meskipun sahih tidak memberikan keyakinan dan
hanya hadis mutawatir yang mempunyai nilai kepastian. Kedua, penolakan
Muhammad al-Ghazali terhadap beberapa hadis ahad disebabkan bertentangan
dengan al-Qur’an, logika ilmu pengetahuan atau fakta historis.
2. Metode Pemahaman Hadis
Muhammad al-Ghazali
Sikap para pemikir kontemporer
terhadap sunnah harus dipahami dan dibandingkan dengan melihat bagaimana pola
dasar pemikiran para pemikir klasik, menurut ilmu kritik hadis klasik,
kesahihan hadis ditentukan oleh tiga kriteria, pertama sejauh mana sebuah
riwayat dapat dikuatkan oleh riwayat lain yang identik dari periwayat lain,
kedua, keadilan dan kedhabitan periwayat, ketiga, kesinambungan dengan rantai
periwayatan. Hadis seperti ini disebut mutawatir. Adapun mengenai hadis ahad,
para ulama klasik mensyaratkan harus melewati lima tahap pengujian.[3] Di
antaranya adalah;
- Kesinambungan periwayat (ittishal)
- Adalah periwayat, yaitu mereka harus menjunjung tinggi agama, dan tidak melakukan dosa-dosa besar
- Akurasi proses periwayatan, seperti periwayat tidak boleh ceroboh atau diketahui memiliki daya ingat yang lemah
- Bebas dari syudzudz, yaitu kontradiksi dengan sumber-sumber yang lebih dapat dipercaya
- Bebas dari cacat-cacat penyimpangan (‘illat qadhihah), yaitu ketidaktepatan dalam melakukan periwayatan.
Aturan ini merupakan bentuk ringkas
dari metode yang digunakan muhaddisun untuk membedakan hadis-hadis
autentik. Penerapan sistematis metode ini tampak pada kitab-kitab besar hadis
sahih, yang merupakan puncak keilmuan hadis klasik.[4]
Namun semua ini berubah pada masa
modern, ketika tekanan untuk mereformasi, mereformulasi, dan mengenalkan
kembali hukum Islam muncul dan membuat studi hadis relevan kembali. Setelah
pertengahan abad kesembilan belas, pada prakteknya mazhab-mazhab klasik
digantikan oleh peraturan hukum sekuler yang diilhami barat, dan kebanyakan
masyarakat Muslim ditantang oleh gerakan seperti hadis salafiyah.
Akibat tumbangnya dominasi mazhab-mazhab hukum klasik, terbukalah ruang bagi
pengkajian kembali sumber-sumber hukum Islam dan kedudukan sunnah. Sejak
terbebasnya masyarakat Muslim dari dominasi kolonial setelah tahun 1940-an,
gerakan untuk memperkenalkan kembali hukum Islam dalam bentuk tertentu telah
memunculkan urgensi praktis untuk mempertanyakan sumber-sumber syari’ah, dan
metode untuk menghidupkan kembali syari’ah.
Di kalangan mereka mendorong gerakan
untuk kembali ke hukum yang berbasiskan syari’ah dalam bentuk tertentu, ada
anggapan implisit bahwa tidak mungkin melangkah balik dalam waktu dan kembali
kepada hukum Islam dalam bentuk klasiknya. Hal ini bisa dilakukan dengan
interpretasi dan pemahaman ulang tentang bagaimana penilaian kembali hadis.
Menurut Muhammad al-Ghazali, ada 5
kriteria untuk menguji kesahihan hadis, 3 berkaitan dengan sanad dan 2
berkaitan dengan matan. Tiga kriteria yang berkaitan dengan sanad adalah;
(1) Periwayat dhabit, (2) Periwayat adil, dan (3) Poin satu dan dua harus
dimiliki seluruh rawi dalam sanad [5]
Berbeda dengan pandangan mayoritas
ulama hadis klasik, Muhammad al-Ghazali tidak memasukkan ketersambungan sanad
sebagai kriteria kesahihan hadis, bahkan unsur ketiga sebenarnya sudah masuk ke
dalam kriteria poin dua. Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali tidak memberikan
argumentasi sehingga sangat sulit untuk ditelusuri, apakah ini merupakan salah
pemikiran atau ada unsur kesengajaan.[6]
Adapun 2 kriteria yang berkaitan
dengan matan, adalah:
- Matan hadis tidak syadz (salah seorang atau beberapa periwayatnya bertentangan periwayatannya dengan periwayat yang lebih akurat dan lebih dapat dipercaya)
- Matan hadis tidak mengandung illat qadhihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis sehingga mereka menolak periwayatannya) [7]
Menurut Muhammad al-Ghazali untuk
merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka diperlukan kerjasama antara muhaddis
dengan berbagai ahli-ahli lain termasuk fuqaha’, mufassir, ahli ushul
fiqh dan ahli ilmu kalam, mengingat materi hadis ada yang berkaitan dengan
akidah, ibadah, mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan dengan berbagai ahli
tersebut. [8]
Atas dasar itulah, Al-Ghazali
menawarkan 4 metode pemahaman hadis atau prinsip-prinsip dasar yang harus
dipenuhi ketika hendak berinteraksi dengan sunnah, supaya dihasilkan pemahaman
yang sesuai dengan ajaran agama. Diantaranya adalah;
a. Pengujian dengan al-Qur’an
Muhammad al-Ghazali mengecam keras
orang-orang yang memahami secara tekstual hadis-hadis yang sahih sanadnya,
namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Pemikiran tersebut
dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis sebagai sumber
otoritas setelah al-Qur’an. Tidak semua hadis orisinal dan tidak semua dipakai
secara benar oleh periwayatnya. Al-Qur’an menurut Muhammad al-Ghazali adalah
sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah
sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an hadis sangat penting, karena hadis
adalah penjelas teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh karena itu, sebelum
melakukan kajian tentang matan hadis, perlu upaya intensif memahami al-Qur’an
sebagaimana pernyataannya:
“Jelas bahwa untuk menetapkan
kebenaran suatu hadis dari segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang
al-Qur’an serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya,
baik secara langsung atau tidak”.[9]
Pengujian dengan ayat al-Qur’an ini
mendapat porsi yang lebih dari Muhammad al-Ghazali dibanding dengan 3 kriteria
lainnya. Bahkan menurut Quraisy Shihab bahwa meskipun Muhammad al-Ghazali
menetapkan 4 tolak ukur, kaidah nomor 1 yang dianggap paling utama menurut
Muhammad al-Ghazali[10]
Penerapan kritik hadis dengan
pengujian al-Qur’an diarahkan secara konsisten oleh Muhammad al-Ghazali.
Oleh karena itu tidak sedikit hadis yang dianggap sahih misalnya terdapat dalam
kitab sahih bukhari dan muslim, dianggap dhaif oleh Muhammad al-Ghazali, bahkan
secara tegas menyatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan
dan mu’amalah duniawiyah, akan mengantarkan hadis yang sanadnya dhaif, bila
kandungan matannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an, dari pada
hadis yang sanadnya sahih tapi kandungan matannya tidak sesuai dengan inti dari
ajaran-ajaran al-Qur’an
b. Pengujian dengan Hadis
Pengujian ini memiliki pengertian
bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadis
mutawatir dan hadis lainnya yang lebih sahih. Menurut Muhammad al-Ghazali hukum
yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang
terpisah dengan hadis yang lainnya, tetapi setiap hadis harus dikaitkan dengan
hadis lainnya, kemudian hadis-hadis yang tersambung itu dikomparasikan dengan
apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an.
c. Pengujian dengan Fakta Historis
Suatu hal yang tidak bisa
dipungkiri, bahwa hadis muncul dan berkembang dalam keadaan tertentu, yaitu
pada masa Nabi Muhammad hidup, oleh karena itu hadis dan sejarah memiliki
hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya
kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki
sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi
penyimpangan antara hadis dan sejarah, maka salah satu diantara keduanya
diragukan kebenarannya.
d. Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah
Pengujian ini dapat diartikan bahwa
setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu
pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa keadilan atau tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, adalah tidak masuk akal
jika hadis nabi mengabaikan rasa keadilan. Menurut Al-Ghazali, bagaimanapun
sahihnya sanad sebuah hadis, jika matan informasinya bertentangan dengan
prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka hadis tersebut tidak layak dipakai.
Jika dicermati, indikator yang
ditanamkan oleh Al-Ghazali dalam kritik matan bukanlah sesuatu yang baru. Al-Ghazali
sendiri mengakui, bahwa apa yang dilakukannya sudah dilakukan oleh ulama
terdahulu. Yang paling penting dari semua itu adalah bagaimana mempraktikkan
indikator kritik matan tersebut dalam berbagai matan hadis nabi.
Jadi pada dasarnya, sebelum mengkaji
lebih jauh tentang kriteria studi matan yang ditawarkan Al-Ghazali, satu hal
yang perlu dicatat adalah bagaimanapun keadaannya, keempat pengujian tersebut
tidak serta merta dapat diterapkan secara penuh untuk semua matan hadis.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryadi, dari 48 contoh hadis yang
diungkapkan oleh Al-Ghazali di atas,[11] dapat
dikategorisasikan menjadi 5 yaitu,
1). Pengujian dengan Al-Qur’an,
Hadis, Fakta Historis, dan Kebenaran Ilmiah.
Berkaitan dengan hal di atas.
Al-Ghazali memberi contoh hadis tentang mayat yang disiksa karena tangisan
keluarganya. ‘Aisyah menolak hadis yang mengatakan bahwa orang mati disiksa
karena tangisan keluarganya. Bahkan kemudian dia bersumpah nabi tidak pernah
mengucapkan hadis tersebut. Alasan penolakannya adalah dianggap bertentangan
dengan al-Qur’an, لا تزر وازرة وزراخري (Tidaklah seseorang
menanggung dosa orang lain”). (Q.S. Al-An’am(6): 164).
Demikianlah ‘Aisyah menolak dengan
tegas periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Meskipun
begitu, hadis tersebut masih saja tercantum dalam kitab-kitab hadis sahih.
Bahkan Ibnu Sa’ad dalam Tabaqat al-Kabirnya menyebutkan berulang-ulang
dengan redaksi yang berbeda-beda.
Sebagian ulama memberikan
interpretasi bahwa yang dimaksud dengan hadis tersebut adalah orang mukmin
tersebut merasa sakit setelah kematiannya disebabkan tangisan keluarganya.
Menurut Al-Ghazali, pemahaman semacam ini bertentangan dengan Q.S. Al-Fushilat
(41): 31.
2). Pengujian dengan al-Qur’an,
Fakta Historis, dan Kebenaran Ilmiah.
Contoh hadis tentang tidak adanya
qishas bagi seorang muslin yang membunuh orang kafir. لا يقتل المسلم الكافر
(Seorang muslim tidak boleh di bunuh karena membunuh orang kafir).
Al-Ghazali menolak hadis tersebut
disebabkan mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa kemanusiaan.
Karena antara muslim dan kafir sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang
sama.
3). Pengujian dengan Hadis, Fakta
Historis, dan Kebenaran Ilmiah.
Hadis tentang larangan perempuan
shalat jamaah di masjid, yang diriwayatkan oleh Ibnu khuzaimah ditolak oleh
Al-Ghazali, karena dianggap bertentangan dengan amalan Rasulullah yang
membiarkan perempuan mengikuti shalat jamaah di masjid dengan menyediakan pintu
khusus bagi perempuan yang masuk masjid untuk mengikuti shalat jamah. Rasul
juga pernah memendekkan shalat Subuh dengan membaca surat-surat pendek ketika
mendengar tangis bayi, karena dikhawatirkan sang ibu tidak khusyu’ karena
tangisan anaknya.
Menurut Al-Ghazali, bahkan nabi
tidak memberikan sugesti agar perempuan lebih baik shalat di rumah. Dengan
demikian, hadis yang menjelaskan tentang larangan perempuan ikut shalat di
masjid adalah bathil. Hadis ini juga tidak dijumpai dalam kitab sahih Bukhari
dan Muslim.
4). Pengujian Dengan Fakta Historis
dan Kebenaran Ilmiah.
Hadis yang membicarakan tentang
kadar susuan harus sepuluh isapan. Menurut Al-Ghazali, hadis tersebut tidak
dapat dijadikan pedoman, karena sedikit atau banyak isapan tetap berpengaruh
terhadap si bayi, yang dianggap menimbulkan hak kemahraman.
5). Pengujian dengan kebenaran
ilmiah.
Hadis tentang haramnya na’y
(mengumumkan tentang kematian seseorang). Menurut Al-Ghazali na’y yang
dilarang adalah dengan tujuan memamerkan atau menyebutkan jasa-jasa si mayat
agar menimbulkan kebanggaan atau kekaguman bagi keluarga yang ditinggalkannya.
C. Hadis dalam Pandangan Yusuf al-Qardhawi
Yusuf Al-Qardhawi adalah pemikir
kontemporer yang lahir di Mesir pada tahun 1926 di desa Saft al-Turab. Ketika
usianya belum genap sepuh tahun, ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an. Sama
dengan Al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi juga mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun.
Banyak karya yang dihasilkan dari Al-Qardhawi yang dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia.
1. Sikap Yusuf Qardhawi Terhadap
Hadis
Di antara para pemikir kontemporer,
Al-Qardhawi memberikan penjelasan yang luas tentang bagaimana
pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk
menilai otentisitas hadis. Menurut Al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3
karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj
mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik
ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[12]
Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi
menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah,
yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat,
(Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam,
dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan
syari’ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin).
Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap
moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi
kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
2. Metode Pemahaman Hadis Yusuf
al-Qardhawi
Untuk merealisasikan metodenya,
Yusuf Qardhawi menerapkan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika
berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
- Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
- Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
- Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.
Adapun untuk melakukan
prinsip-prinsip dasar itu, maka Al-Qardhawi mengemukakan 8 langkah [13]yaitu;
a. Memahami Hadis Sesuai dengan
Petunjuk al-Qur’an.
Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami
suatu hadis dengan benar harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Karena
terdapat hubungan yang signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena
itu tidak mungkin kandungan suatu hadis bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang muhkam, yang berisi keterangan-keterangan yang jelas dan pasti.
Pertentangan tersebut bisa saja
terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang kurang tepat,
atau yang dianggap bertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Dengan
demikian, menurut Al-Qardhawi, setiap muslim diharuskan untuk mentawaqqufkan
hadis yang terkesan bertentangan dengan ayat-ayat muhkam, selama tidak ada
penafsiran (ta’wil) yang dapat diterima.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi
mengemukakan contoh hadis tentang nisab tanaman yang wajib dikeluarkan
zakatnya. Yang dijadikan dasar para ulama fikih untuk membatasi jenis atau
macam tanaman tertentu (bukan berbentuk sayuran) yang wajib dikeluarkan
zakatnya. Hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an Q.S. Al-An’am (6): 41. Di
samping itu, Al-Qardhawi tidak menyetujui pemahaman yang menganggap bahwa tidak
diwajibkannya zakat atas sayuran karena cepat rusak sehingga tidak dapat di
simpan di bait al-mal terlalu lama
b. Menghimpun Hadis-Hadis yang
Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk
menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya perlu
menghadirkan hadis-hadis lain yang setema. Adapun prosedurnya ialah dengan
menghimpun hadis sahih yang setema kemudian mengembalikan kandungan hadis yang
mutasyabih kepada yang muhkam, mengantarkan yang mutlaq kepada yang muqayyad,
yang ‘am ditafsirkan dengan yang khas. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk
menafsirkan al-qur’an, dan menjelaskan maknanya, maka sudah pasti bahwa
ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi
menguraikan contoh sebuah hadis tentang hukum pertanian. Pertama-tama beliau
mengemukakan hadis yang mencela orang yang membawa alat pertanian masuk rumah.
Dari abu ‘Umamah al-Bahili ketika
melihat alat untuk membajak, ia berkata; saya mendengar Nabi saw bersabda;[14] لايدخل
هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذلّ
(‘Tidak akan masuk (alat) ini ke
dalam rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya)
Setelah itu, ia mengemukakan pula
hadis-hadis yang menunjukkan keutamaan bercocok tanam, diantaranya;
ما من مسلم
يغرس غرسا او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان أو بهيمة إلاّ كان له به صدقة
(Tidak seorang Muslim menanam
tanaman, lalu buahnya dimakan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia
pasti beroleh sedekah.)[15]
c. Kompromi atau Tarjih terhadap
Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada
dasarnya nash-nash syari’at tidak akan saling bertentangan. Pertentangan yang
mungkin terjadi adalah bentuk lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki.
Adapun solusi yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau
pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis
yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi
memberikan sebuah contoh hadis tentang larangan ziarah kubur bagi perempuan.
“Dari abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw melaknat kaum perempuan yang sering
menziarahi kuburan.” Hadis ini sahih. Diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas dan
Hasan ibn Sabit dengan lafaz “nabi melaknat para perempuan peziarah kuburan”.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis
lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis hadis-hadis di atas. Yakni yang
dapat dipahami darinya, bahwa kaum perempuan diizinkan menziarahi kuburan, sama
seperti laki-laki. Diantara riwayatnya adalah كنت
نهيتكم عن زيارة القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
(Aku pernah melarang kalian
menziarahi kuburan, kini ziarahlah” atau “ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu
akan mengingatkan kepada maut). [16]
d. Memahami Hadis Sesuai dengan
Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami
hadis nabi, dapat memperhatikan sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya
suatu hadis atau terkait dengan suatu illat tertentu yang dinyatakan
dalam hadis, atau dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian
mengingat hadis nabi dapat menyelesaikan problem yang bersifat lokal,
partikular, dan temporer. Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat
melakukan pemahaman atas apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang
sementara dan abadi. Dengan demikian, menurut Al-Qardhawi, apabila
kondisi telah berubah dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang berkenaan
dengan suatu nas akan gugur dengan sendirinya. Hal itu sesuai dengan kaidah
hukum berjalan sesuai dengan illatnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya.
Maka yang harus dipegang adalah maksud yang dikandung dan bukan pengertian
harfiyahnya.
e. Membedakan antara Sarana yang
Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis
nabi harus memperhatikan makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks hadis
tersebut, sarana yang tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah. Untuk itu
tidak boleh mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai hadis
dengan sarana temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis
menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak
bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya
perkembangan zaman, adat dan kebiasaan.
f. Membedakan antara yang Hakekat
dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang
menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang
menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau
dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas
lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis
semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai
indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
g. Membedakan antara yang Gaib dan
yang Nyata.
Dalam kandungan hadis ada hal-hal
yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentnag
makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis,
‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib,
Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta
mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya
h. Memastikan Makna Kata-kata dalam
Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan
sebaik-baiknya, menurut Al-Qardhawi penting sekali untuk memastikan makna dan
konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan hadis, sebab konotasi kata-kata
tertentu adakalanya berubah dalam suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
D. Implementasi Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi dan
Muhammad Al-Ghazali
Dari pemikiran yang ditawarkan kedua
tokoh tersebut mengindikasikan bahwa metode yang yang ditawarkan oleh
Al-Ghazali dan al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang marak baik yang pro
maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya pengembangan
dalam wawasan studi pemikiran hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran
mereka bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan
keduanya merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan keduanya
dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh
hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi
pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini
dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
Jika dicermati beberapa prinsip
pemahaman hadis nabi yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf
Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang
relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman
atas kedudukan hadis nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama
menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri
berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan
dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut
berlangsung pada pemahaman yang rasional.[17]
Dengan model yang ditawarkan oleh
kedua tokoh tersebut, banyak menjawab berbagai problem realitas sosial umat
Islam saat ini. Dengan kata lain, kedua tokoh tersebut mempertegas bahwa Islam
adalah agama yang universal yang berlaku untuk setiap masa dan tempat, maka
secara substansial formulasi tersebut mengisyaratkan fleksibilitas ajaran
Islam, bukan sebaliknya sebagai sesuatu yang kaku dan ketat.
Bagaimanapun juga berbagai macam
temuan dan teknologi yang cukup pesat mengharuskan perlunya pengkajian terhadap
pemahaman hadis nabi. Interaksi antara budaya yang berkembang dengan ajaran
Islam yang bersumber dari teks, untuk selanjutnya dapat dipastikan akan
berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan kompleks. Oleh sebab itu,
aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadis.[18]
Munculnya pemahaman hadis perspektif
Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali mengarah pada upaya pengembangan
pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif untuk ditumbuhkembangkan. Beberapa
kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali telah memberi
manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat
ini.[19] Namun
disisi lain harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis nabi
membuka peluang semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika
perbedaan pandangan itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk
mereka sendiri yang paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang
berseberangan dengan mereka adalah salah.
E. Kesimpulan
Harus diakui, tawaran metode
pemahaman hadis dan implementasinya yang dikemukakan Yusuf Qardhawi dan
Muhammad Al-Ghazali telah memberi kontribusi yang cukup besar dalam menjawab
berbagai persoalan umat Islam saat ini, terlebih keduanya concern
terhadap metode dan contens (isi)-nya sekaligus. Korelasi metode dan isi
sangat erat, sehingga metode teraplikasikan dalam isi.
Pemahaman kontekstual terhadap hadis
pada saat sekarang dan untuk yang akan datang memang suatu keniscayaan.
Kontekstualisasi terhadap hadis nabi menjadikan ajaran islam fleksibel, luwes
dan rasional sesuai dengan ajaran Islam. Namun demikian, kontekstualisasi harus
dilakukan secara hati-hati, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan akidah,
ibadah dan hal-hal gaib. Disamping itu, kontekstualisasi harus mempertimbangkan
aspek universal, lokal dan partikular ataupun situasi dan kondisi tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Ajaj
Al-Khathib, Muhammad. Ushul Al-Hadis Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Beirut:
Dar al Fikr, t.th
Al-Ghazali,
Muhammad. Al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayna Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadis,
Kairo, 1989, edisi Indonesianya diterbitkan Mizan (1999) berjudul Studi
Kritis atas Hadis Nabi Saw.: Antara Pemahaman tekstual dan Kontekstual.
Ismail,
Suhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Jakarta: bulan Bintang, 1995
Qardhawi,
Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung: Karisma, 1999
Jurnal
Esensia Vol 3 No. 1, Januari 50
Suryadi, Metode
Pemahaman hadis Nabi: telaah atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf
Al-Qardhawi, Ringkasan Disertasi pada Program Pasca Sarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2004
W. Brown,
Daniel, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, Bandung: Mizan, 1996.
[1] Secara
rinci, Suryadi, dalam ringkasan Disertasinya Metode Pemahaman hadis Nabi:
telaah atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi, yang
disampaikan pada Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004,
hlm. 4.
[2] Muhammad
Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayna Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadis
(Kairo, 1989, buku ini edisi berbahasa Indonesianya diterbitkan Mizan (1999)
berjudul Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.: Antara Pemahaman tekstual dan
Kontekstual.
[3] Para ulama
berbeda pendapat tentang interpretasi aturan-aturan ini. Lihat Muhammad ‘Ajaj
Al-Khathib. Ushul al-hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th),. hlm. 305.
[4] Suhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: bulan Bintang, 1995),
hlm. 111
[5] Muhammad
Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi, antara pemahaman tekstual dan
kontekstual, (Bandung: mizan, 1996), hlm. 15
[6] Suryadi, Metode
Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf
Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta: Program Pasca sarjana UIN
Sunan Kalijaga, 2004), hlm.6
[7] Ibid
[8] Ibid.,
hlm. 20
[9] Ibid.,
hlm. 21
[10] Ibid.,
hlm. 29
[11] Muhammad
Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi, antara pemahaman tekstual dan
kontekstual, (Bandung: mizan, 1996), hlm. 23-30
[12] Yusuf
Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: karisma, 1999),
hlm. 92
[13] Ibid.,
hlm. 94-188
[14] Riwayat
Bukhari bab al-Muzara’ah. Lihat Ibnu Hajar al-’Asqalani, Bulugh al-Maram,
(Surabaya: al-Hidayah, t.th), hlm. 194
[15] Riwayat
Bukhari dan Muslim dari Anas. Lihat Ibnu Hajar al-’Asqalani, Ibid., hlm.
195
[16] Jalal
al-Din Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir fi Ahadis al-Basyir wa al-Nadzir,
(Surabaya: al-Hidayah, t.th.), hlm. 458
[17] Daniel W.
Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern (Bandung: Mizan,
1996), hlm. 18-19
[18] Ibid., hlm.
35
[19] Suryadi,
Pendekatan tematik dalam memahami hadis, dalam Jurnal Esensia Vol 3 No.
1, Januari 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar