MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Madzab Tafsir
Dosen pengampu:
Istianah, M.Ag
Disusun
Oleh:
AKMAD SYAIFUDDIN
311020
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS (STAIN)
JURUSAN
USHULUDDIN /TH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tipologi tafsir berkembang terus dari
waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan dan kontekzaman, dimulai dari tafsir bi
al-ma’tsur atau tafsir riwayat berkembang ke arah tafsir bi al-ra’yi.Tafsir bi
al-ma’tsur menggunakan nash dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara tafsir bi
al-ra’yi lebih mengandalkan ijtihad yang shahih. Berdasarkan metode terbagi
menjadi tafsir tahlili, tafsirmaudhu’i, tafsir kulli dan tafsir muqaran. Tafsir
maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik.Tafsir
tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh Syaikh Mahmud Syaltut,
sementara tafsir tematik berdasarkan topik oleh Abdul Hay al-Farmawi. Bagaimana
sejarah perkembangan dan manfa’at tafsir tematik itu menjadi topik pembahasan
makalah ini.
Ilmu tafsir sudah ada sejak nabi
Muhammad SAW. Tipologi tafsir berkembang sedemikian pesat dari waktu ke waktu
sesuai dengan tuntutan dan konteks. Dasar tipologi atau pengelompokkan terhadap
tafsir pun berbeda-beda. Di antara pengelompokan tersebut dan sudah dikenal
sejak masa nabi Muhammad SAW adalah tafsir bi al-atsar, dan banyak yang
menyebut tafsir bi al-ma’tsûr atau tafsir riwayah. Pengelompokan ini disebut
corak tafsir. Corak tafsir lain adalah tafsir bi al-ra’y. Tafsir bi al-Ma’tsur
adalah tafsir yang menggunakan nash dalam menafsirkan, baik al-Qur’an dengan
al-Qur’an maupun al-Qur’an dengan sunnah. Dengan singkat, tafsir bi al-ma’tsur
adalah tafsir antar nash. Sementara tafsir bi al-ra’y atau dikenal juga dengan
tafsir dirayah adalah tafsir yang lebih mengandalkan pada ijtihad yang shahih.[1][1]
Namun ada juga tafsir isyari dan tafsir
janggal (gharaib al-tafsir). Tafsir isyari adalah penafsiran al-Qur’an yang
berlainan dengan zahir ayat karena ada petunjuk yang tersirat hanya diketahui
oleh sebagian ulama atau orang-orang tertentu.[2][2]
Tafsir janggal adalah tafsir yang tidak
sejalan dengan tafsir pada umumnya.[3][3] Kedua
tafsir ini tidak diterima oleh umumnya ulama, hanya orang-orang tertentu yang
menerimanya.[4][4]
Tafsir bi al-ma’tsûr menurut Quraish
Shihab merupakan gabungan dari tiga generasi mufassir, yakni: penafsir rasul,
penafsir sahabat, danpenafsir tabi‘in.[5][5]
Penafsir pada tingkat sahabat
adalah:
Ibnu ‘Abbas,
Ubay bin Ka‘ab, dan Ibnu Mas‘ud. Generasi tabi‘in dari pilar ini juga adalah
Sa‘id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah yang berguru kepada Ibnu ‘Abbas;
Muhammad bin Ka‘ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin
Ka‘ab; dan al-Hasan al-Basyri, Amir al-Sya‘bi di Irak, yang berguru kepada Ibnu
Mas‘ud.[6][6]
Sementara
corak tafsir muncul dengan tafsir ilmiah, tafsir sufi, tafsir politik dan
sejenisnya. Disebutkan bahwa corak tafsir ini didasarkan pada keilmuwan sang
penafsir dan tuntutan kehidupan masyarakat.[7][7]
Quraish
Shihab menyebutnya corak penafsiram, yakni: corak sastra basah, corak filsafat
teologi, corak penafsiran ilmiah, corak tasawuf, dan corak sastra budaya
kemasyarakatan. Corak sastra budaya kemasyarakatan, menurut Quraish, digagas
oleh Muhamad Abduh dan menyebabkan corak lain menurun.[8][8] Kalau
dicermati lebih jauh, corak tafsir ini merupakan kelanjutan dari tafsir bi
al-ra’y. Jadi, tafsir bi al-ra’y muncul dalam banyak corak sesuai dengan
keahlian sang penafsir.
Pengelompokkan lain terhadap tafsir adalah berdasarkan pada metode yang
digunakan, dan ilmuwan membaginya secara umum menjadi tiga, yakni: tafsir
analisis (tahlili), tafsir tematik (maudû‘i), dan tafsir holistik (kullî).
Namun ada juga yang menambah tafsir muqaran (tafsir perbandingan). [9][9]
Maksud tafsir tahlîlî
atau ijmâli atau juz’î adalah metode kajian al-Qur’an dengan
menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung
dalam ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam
urutan mushaf ‘Uthmânî. Ternyata menurut sejumlah ilmuwan, metode yang
sebagian ilmuan menyebutnya dengan metode kajian atomistik atau metode kajian
yang bersifat parsial ini memiliki beberapa kelemahan. Quraish Shihab
berpendapat bahwa :
“satu akibat dari pemahaman al-Qur’an berdasar ayat
demi ayat secara terpisah adalah al-Qur’an terlihat seolah sebagai petunjuk
yang terpisah-pisah metode ini juga disebut tafsir tematik secara umum dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: (1) tematik berdasar surah al-Qur’an; dan (2)
tematik berdasar subyek. Tematik berdasarkan surah al-Qur’an adalah menafsirkan
al-Qur’an dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan
mengambil bahasan pokok dari surat dimaksud. Sementara tematik subjek adalah
menafsirkan al-Qur’an dengan cara menetapkan satu subjek tertentu untuk
dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep zakat menurut Islam, metode
tematik ini dapat digunakan Sedangkan tafsîr muqâran dimulai dengan
tafsir-tafsir yang menganalisis ayat-ayat al-Qur`an yang mempunyai redaksi
mirip.[10][10]
Berdasarkan uraian di atas maka masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah bagaimana sejarah dan perkembangan tafsir tematik dan mukaran apa langkah-langkah yang ditempuh dalam menerapkan
metode tafsir tematik dan muqaran serta bagaimana keistimewaan tafsir tematik
dan muqaran dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode Tafsir Tematik
1.
Sejarah Perkembangan Tafsir Tematik
Menurut catatan Quraish, tafsir
tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan
Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada
Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim.
Sedangkan tafsir maudu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Ahmad
Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud
Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi
ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsirini digagas pada tahun
seribu sembilan ratus enam puluhan.[11][11] Buah dari
tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas
Mahmud al-Aqqad, al-Insân fî al-Qur’ân, al-Mar’ah fî al-Qur’ân,
dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.[12][12] Kemudian
tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Abdul Hay
al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah.[13][13]
Namun kalau merujuk pada catatan lain,
kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab,
baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek. Kaitannya dengantafsir
tematik berdasar surah al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya
al-Burhân,[14][14] misalnya
adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir
yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga Suyût}î (w. 911/1505)
dalam karyanya al-Itqân.[15][15]
Sementa tematik berdasar subyek,
diantaranya adalah karya Ibn Qayyi al-Jauzîyah (1292-1350H.), ulama besar dari
mazhab Hambalî, yang berjudul al-Bayân fî Aqsâm al-Qur`ân; Majâz
al-Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid; Mufradât al-Qur`ân oleh al-Râghib
al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû al-Hasan al-Wahîdî
al-Naisâbûrî, dan sejumlah karya dalam Nâsikh wa al-Mansûkh, yakni; (1) Naskh
al-Qur`ân oleh Abû Bakr Muhammad al-Zuhrî, (2) Kitâb al-Nâsikh wa
al-Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm oleh al-Nah hâs, (3) al-Nâsikh wa al-Mansûkh
oleh Ibn Sal-amâ, (4) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn al-‘Atâ`iqi,
(5) Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma
al-Fârisî.[16][16]
Sebagai tambahan, tafsir Ahkâm
al-Qur`ân karya al-Jass âs, adalah contoh lain dari tafsir semi tematik
yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an. Karena itu, meskipun
tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal
tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis
berkembang dimasa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di
awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surah al-Qur’an maupun tematik
berdasar subyek/topik.
2.
Langkah-Langkah Menerapkan Metode Tafsir Tematik
Menurut
Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-mawdhu’i secara
rinci menyeabutkan ada tujuh langkah yang ditempauh dalam menerapkan metode
tematik ini, yaitu ;
1.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas ( topik )
2.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah terseabut ;
3.
Menyusun
runtutan ayat sesuai masa turunnya.disertai pengetahuan tentang azbabun
nuzulnya;
4.
Memahami
kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
5.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna;
6.
Melengkapi
pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan;
7.
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan
yang khash (khusus), muthlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan.[17][17]
Sementara menurut M.Quraish Shihab ada
beberapa catatan yang perlu diperhatikan didalam menerapkan metode tematik
ini.Antara lain;
1.
Penetapan
masalah yang dibahas.
Walaupun
metode ini dapat menampaung semua masalah yang diajukan namun akan lebih baik
apabila permasalahan yang dibahas itu diproritaskan pada persoalan yang
langsung menyentuh dan dirasakan oleh masyarakat, misalnya petunjuk Al-Qur’an
tentang kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan lain-lainnya. Dengan
demikian, metode penafsiran semacam ini langsung memberi jawaban terhadap
problem masyarakat tertentu di tempat tertentu pula.
2.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya.
Bagi mereka
yang bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian maka runtutan yang
dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
3.
Kesempurnaan
metode tematik dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami
arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an sendiri.Hal ini
dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma’tsur yang pada
hakikatnya merupakan benih awal dari metode tematik [18][18]
Dari uraian di atas, baik yang
dikemukakan Abdul Hay Al-farmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama sependapat
bahwa langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan metode tafsir tematik
adalah menetapkan topik atau masalah yang akan dibahas kemudian menghimpun
ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi
dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan dan yang perlu dicatat
topik yang dibahas diusahakan pada persoalan yang langsung menyentuh
kepentingan msyarakat. agar Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dapat memberi
jawaban terhadap problem masyarakat itu.
3. Keistimewaan Tafsir Tematik Menuntaskan Persoalan
Masyarakat Kontemporer
Dari paparan di atas dapat diketahui
bahwa tafsir tematik mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan
persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya, antara lain :
1.
Menafsirkan
ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi adalah suatu cara terbaik di
dalammenafsirkan Al-Qur’an,
2.
Kesimpulan
yang dihasilkan oleh metode tematik mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia
membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai
pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat membawa
kita kepada pendapat Al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan
jawaban-jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup.
3.
Metode ini
memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam Al-Qura’an, sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur’an sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.[19][19]
B. Tafsir Al Mukaqaran
1. Pengertian
Metode Tafsir Muqaran
Quraish Shihab mendefinisikan tafsir
muqâran sebagai: "Membandingkan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus
yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama."[20][20]
Termasuk
dalam obyek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur'an dangan
Hadits Nabi saw. yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat
ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Bersandar pada karya
Ahmad al-Sayyid al-Kûmî, al-Tafsîr al-Maudhû`î, 'Abd Al-Hayy al-Farmâwi
juga mengungkapkan definisi yang senada, namun ditambahkan bahwa perbandingan
juga bisa dilakukan lintas kecenderungan penafsir; seperti membandingkan
penafsiran mereka yang dipengaruhi oleh semangat kesyi'ahan, ketashawwufan,
kemu`tazilahan, keas`ariyahan, dan selainnya, serta kecenderungan yang
dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang dikuasai seorang penafsir. Sebagai
contohnya adalah penafsir yang menitikberatkan pembahasan pada bidang nahwu
(gramatika bahasa Arab) sebagaimana al-Zamakhsyarî dalam al-Kassyâf,
bidang filsafat seumpama Imam al-Fakhruddîn al-Râzy dalam al-Tafsîr al-Kabîr,
atau bidang fiqih seperti al-Qurthuby dalam al-Jâmi` li al-Ahkâm al-Qur'an,
dan sebagainya.[21][21]
Dari beberapa pengertian yang
dipaparkan di atas, maka terlihat bahwa tafsir metode muqâran adalah:
Satu, membandingkan teks ayat-ayat
al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau
lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi kasus yang sama. Dua,
membandingkan ayat al-Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat
bertentangan. Tiga, membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan al-Qur'an. Metode ini diharapkan dapat
melahirkan pemahaman komprehensif terhadap ayat-ayat al-Qur'an.[22][22]
2. Ruang
Lingkup Metode Tafsir Muqaran
Berikut ini
penulis akan menguraikan ruang lingkup dan langkah-langkah penerapan metode
tafsir muqâran pada masing-masing aspek:
a. Perbandingan
Ayat dengan Ayat
Quraish Shihab mempraktikkan
penggunaan metode muqâran dengan membandingkan dua ayat yang mirip secara
redaksional, yaitu ayat 126 Surat Ali `Imrân dengan ayat 10 Surat al-Anfâl.
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian
bala-bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu, dan agar tenteram
hati kamu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah Yang Maha
Perkasa labi Maha Bijaksana".[23][23]
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian
bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu karenanya menjadi
tenteram. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari sisi Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[24][24]
Perbedaan antara ayat pertama dan
ayat kedua adalah: Pertama, dalam surat Ali 'Imrân dinyatakan بشرى لكم sedangkan dalam surat al-Anfâl
tidak disebutkan kata لكم. Kedua, dalam surat Ali 'Imran dinyatakan ولتطمئن
قلوبكم به yakni
menempatkan kata به setelah قلوبكم sedang dalam surah al-Anfâl kata به diletakkan
sebelum قلوبكم. Ketiga, surah Ali 'Imrân ditutup dengan وماالنصر الا
من عند الله العزيزالحكيم tanpa menggunakan kata إن sedang surat al-Anfâl ditutup
dengan menggunakan إن yang berarti "sesungguhnya", إن الله عزيز
حكيم Ayat al-Anfâl
disepakati oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang turunnya malaikat
pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks janji turunnya
malaikat dalam Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak jadi turun
karena kaum muslimin tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang
ditetapkan Allah ketika menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di ayat
125).
Perbedaan
redaksi memberi isyarat perbedaan kondisi kejiwaan dan pikiran lawan bicara,
dalam hal ini kaum muslim. Pada Perang Badar, kaum muslim sangat khawatir
akibat kurangnya jumlah pasukan dan perlengkapan perang. Berbeda dengan Perang
Uhud, jumlah mereka lebih banyak --sekitar 700 orang, sehingga semangat menggelora
ditambah keyakinan akan turunnya bantuan malaikat sebagaimana pada Perang
Badar. Tidak ditemukannya kata لكم pada ayat kedua mengisyaratkan
kegembiraan yang tidak hanya dirasakan oleh pasukan Badar, tapi semua kaum
muslimin karena bukankah kemenangan pada perang itu merupakan tonggak utama
kemenangan Islam di masa datang? Di ayat pertama, penggunaan kata لكم mengisyaratkan bahwa berita
gembira hanya ditujukan kepada yang hadir saja, itupun dengan syarat-syarat.
Didahulukannya به atas قلوبكم dalam surat al-Anfâl adalah dalam konteks mendahulukan berita
yang menggembirakan untuk menunjukkan penekanan dan perhatian besar yang
tercurah terhadap berita dan janji itu. Berbeda dengan surat Ali 'Imrân,
konteks ayat itu tidak lagi memerlukan penekanan karena bukankah sebelumnya hal
itu sudah pernah terjadi pada Perang Badar?. Itu pula sebabnya dalam surat Ali
'Imrân tidak dipakai kata إن sebagai penguat karena, sekali lagi, ia tidak diperlukan.[25][25]
b. Perbandingan
Ayat dan Hadits
Tentunya, yang sepadan untuk
dibandingkan dengan ayat al-Qur'an adalah hadits yang berkualifikasi shahîh,
sehingga hadits dha`if tidak perlu dijadikan perimbangan dengan ayat
al-Qur'an. Salah satu contoh adalah sabagai berikut:
a) Al-Qur'an:
فمكث غيربعيد
فقال اخطت بما لم تحط به وجئتك من سباء بنباء يقين. اني وجدت امراة تملكهم واوتيت من كل شيئ ولها عرش عظيم
Artinya: "Tak lama kemudian burung Hud-hud
berkata kepada Nabi Sulaiman: "Saya mengetahui apa yang Baginda belum
tahu, saya baru saja datang dari negeri Saba` membawa berita yang meyakinkan.
Saya bertemu seorang ratu yang memimpin mereka. Seluruh penjuru negeri
mendatangkan sembah kepadanya. Dia mempunyai istana besar."[26][26]
Artinya: "Kaum Saba` mempunyai dua kebun yang
subur di kiri kanan tempat tinggal mereka (seraya dikatakan kepada mereka),
makanlah kalian dari rizki yang dianugerahkan Tuhan, dan bersyukurlah
kepada-Nya. (Itulah) sebuah negeri yang aman makmur dan Tuhan Yang Maha
Pengampun".[27][27]
b) Al-Hadits:
Artinya: "Tidak pernah spukses (beruntung)
suatu bangsa yang menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita."[28][28]
Jika diperhatikan secara sepintas,
teks hadits di atas bertentangan dengan kedua ayat terdahulu karena al-Qur'an
menginformasikan keberhasilan Ratu Balqis memimpin negaranya, Saba'.
Sebaliknya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan ketidaksuksesan
sebuah negara (manapun) yang diperintah oleh perempuan. Dengan demikian,
perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang dengan laki-laki. Padahal
-kecuali Balqis- sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh
perempuan yang sukses memimpin negara, semisal Syajarat al-Durr, pendiri
kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat
(1250-1257 M).[29][29]
Untuk mengkomparasi dan
mengkompromikan kedua teks tersebut diperlukan kepastian akan kualifikasi
hadits tersebut karena ayat tidak diragukan lagi keotentikannya. Setelah itu
dilihat asbâb al-wurûd hadits tersebut. Pada kasus hadits ini, asbâb
al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah mendengar berita bahwa puteri Raja
Persia dinobatkan menjadi ratu menggantikan ayahnya yang mangkat. Berdasarkan
itu, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa perempuan tidak pas memimpin
negara muncul ke permukaan. Namun jika dipakai kaidah العبرة بعموم
اللفظ لا بخصوص السبب maka akan
dijumpai pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah itu terhadap
hadits tersebut, maka akan ditemui bahwa kata قوم - امراة dibentuk dalam format nakirah
(indefinite). Itu berarti bahwa yang dimaksud oleh kata-kata itu adalah
semua kaum, semua perempuan, dan semua urusan. Jadi, terjemahan dari hadits
tersebut (kira-kira) berbunyi: "Suatu bangsa tidak pernah memperoleh
sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya kepada kebijakan)
wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)". Jika dipahami demikian,
maka jelas bahwa sangat wajar kalau suatu bangsa tidak akan sukses kalau semua
bidang yang ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak oleh perempuan tanpa
sedikit pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki maupun perempuan
memiliki keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan terjalin kerja
sama yang baik.
c) Perbandingan Pendapat Mufassir
Pada kesempatan lain, Quraish Shihab
mempraktikkan metode muqâran dengan membandingkan pendapat beberapa mufassir
seperti saat الم. Menurutnya, mayoritas ulama pada abad ketiga menafsirkannya
dengan ungkapan: الله أعلم. Namun setelah itu, banyak ulama yang mencoba
mengintip labih jauh maknanya. Ada yang memahaminya sebagai nama surat, atau
cara yang digunakan Allah untuk menarik perhatian pendengar tentang apa yang
akan dikemukakan pada ayat-ayat berikutnya. Ada lagi yang memahami huruf-huruf
yang menjadi pembuka surat al-Qur'an itu sebagai tantangan kepada yang
meragukan al-Qur`an. Selain itu, ia juga mengutip pandangan Sayyid Quthub yang
kurang lebih mengatakan: "Perihal kemukjizatan al-Qur'an serupa dengan perihal
ciptaan Allah semuanya dibandingkan dengan ciptaan manusia. Dengan bahan yang
sama Allah dan manusia mencipta. Dari butir-butir tanah, Allah menciptakan
kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi hanya mampu membuat batu-bata.
Demikian pula dari huruf-huruf yang sama (huruf hija`iyyah) Allah
menjadikan al-Qur'an dan al-Furqân. Dari situ pula manusia membuat prosa dan
puisi, tapi manakah yang labih bagus ciptaannya?"
Quraish juga menambahkan dengan
mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah
isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam surat-suratnya. Dalam surat
al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif, lam, dan mim.
Pendapat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun Quraish Shihab
terlihat masih meragukan kebenaran pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga ia
mengambil kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan الم dengan الله أعلم masih relevan sampai saat ini.[30][30]
3 . Kelebihan
dan Kekurangan
Sebagai sebuah metode buatan
manusia, maka sangat wajar bila metode ini mengandung kekurangan di antara
kelebihan-kelebihan yang dipunyainya.
a.
Kelebihan
1) Memberikan
wawasan yang relatif lebih luas.
Mufassir yang melibatkan diri pada tafsir metode ini
akan berjumpa dengan mufassir lain dengan pandangan-pandangan mereka sendiri
yang bisa saja berbeda dengan yang dipahami pembanding sehingga akan memperkaya
wawasannya.
2) Membuka diri
untuk selalu bersikap toleran.
Terbukanya wawasan penafsir otomatis akan membuatnya
bisa memaklumi perbedaan hingga memunculkan sikap toleran atas perbedaan itu.
3) Membuat
mufassir labih berhati-hati.
Belantara penafsiran dan pendapat yang begitu luas
disertai latar belakang yang beraneka warna membuat penafsir lebih berhati-hati
dan obyektif dalam melakukan analisa dan menjatuhkan pilihan.
b.
Kekurangan
1)
Kurang cocok
dengan pemula.
Memaksa seorang pemula untuk memasuki ruang penuh
perbedaan pedapat akan berakibat bukan memperkaya dan memperluas wawasannya,
tapi malah bisa membingungkannya.
2)
Kurang cocok
untuk memecahkan masalah kontemporer.
Di masa yang serba kompleks dan membutuhkan pemecahan
yang cepat dan tepat, metode muqaran kutang cocok karena ia lebih menekankan
pada perbandingan hingga bisa memperlambat untuk membuka makna yang sebenarnya
dan relevan dengan zaman.
3)
Menimbulkan
kesan pengulangan pendapat para mufassir.
Kemampuan penafsir yang hanya sampai pada
membandingkan beberapa pendapat dan tidak menampilkan pandapat yang lebih baik
membuat metode ini lebih bersifat pengulangan dari pendapat-pendapat ulama
klasik.[31][31]
BAB III
P E N U T U P
- Simpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas
dapat maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yakni :
1.
Sejarah
munculnya tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang
guru besar Al-Azhar Syaikh Mahmud Syaltut,pada tahun 1960, sedangkan
berdasarkan tema digagas pertama kali oleh Prof.Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy dan
disempurnakan lebih sistematis oleh Prof.Dr.Abdul Hay Al-Farmawiy, pada
tahun1977.
2.
Langkah yang
dilakukan dalam metode tematik ini adalah menetapkan masalah yang akan dibahas,
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut, melengkapi ayat-ayat
dengan hadis-hadis yang relevan dengan topik pembahasan kemudian dibahas dan
disimpulkan.
3.
Keistimewaan
tafsir metode tematik adalah menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis
Nabi merupakan cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara itu
kesimpulan yang diambil mudah dipahami tanpa mengemukakan berbagai pembahasan
terperinci dalam satu disiplin ilmu dan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup secara
konkrit dapat menjawab problem-problem yang dihadapi masyarakat.
4.
Tafsir
metode muqâran telah turut mewarnai dinamika metode penafsiran al-Qur'an. Ia adalah
kreasi zamannya sebagai jawaban atas kebutuhan umat Islam pada waktu lahirnya
metode ini. Penggalian khazanah penafsiran lama untuk dibandingkan dan
disesuaikan dengan zaman kini kiranya merupakan usaha yang positif untuk
menapak masa depan tanpa tercerabut dari akar keaslian awal.
5.
Tafsir
dengan metode muqâran ini dapat ditempatkan selaku metode solutif dari beberapa
permasalahan dalam penafsiran al-Qur'an. Dengan itu, para mufassir yang akan
terjun ke dalamnya mesti mendalami perangkat-perangkat yang kelihatannya butuh
kerja keras dalam perwujudannya.
daftar
pustaka
Abû Zaid, Nasr Hâmid, Mafhûm
an-Nash Dirâsah fî 'Ulûm al-Qur'an, Diindonesiakan oleh Khoiron Nahdhiyin
dengan judul "Tekstualitas Al-Qur'an; Kritik terhadap Ulumul Qur'an",
Yogyakarta: LKiS, 2001
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur‘an,
terj. Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985
Al-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, Jakarta: CV Rajawali, 1992
Al-Farmawi, Abd. Hayy, Metode
Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994
Badr al-Dîn Muhammad al-Zarkashî, al-Burhân fî
‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988),
Baidan, Nashruddin, Metodologi
Penafsiran al-Qur`an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000
David S. Powers, “The Exegetical
Genre nâsikh al-Qur`ân wa mansûkhuhu,” dalam Andrew Rippin, Approach to the
History of the Interpretation of the Qur’an, Oxford: Clarendon Press, 1988
Kitab ini sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj.
Oleh Suryan A. Jamrah, Jakarta: Rajawali Pers, 1996
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, cet. Ke
xix, Bandung: Mizan, 1999
Shihab, M. Quraish, Membumikan
al-Qur`an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 1996
Jalâl al-Dinal-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân Kairo:
Dâr al-Turâth, 1405/1985
T. M. Hasi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Djakarta: Bulan
Bintang, 1972), hlm. 204 dan 224; Mohammad Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi
al-Qur’an [At-Tibyan], terj. Moch Shudlori Umar dan Moh. Matsna, Bandung:
P.T. Al-Ma‘arif, 1970
____________, Tafsir al-Misbah;
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, Ciputat, Lentera Hati, 2000
Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm an-Nash
Dirâsah fî 'Ulûm al-Qur'an, Diindonesiakan oleh Khoiron Nahdhiyin dengan
judul "Tekstualitas Al-Qur'an; Kritik terhadap Ulumul Qur'an",
(Yogyakarta: LKiS, 2001), Cet. I, h. 2
Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan,1996), h. 118
Abd. Hayy
al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada), 1994, h. 30-31. Bdk dengan Ali Hasan al-Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994), h. 75-76.
Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 194-196
[1] T. M. Hasi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Djakarta: BulanBintang,
1972), hlm. 204 dan 224; Mohammad Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi al-Qur’an [At-Tibyan],
terj. Moch Shudlori Umar dan Moh. Matsna (Bandung: P.T. Al-Ma‘arif, 1970), 205,
210, 234.
[2] Aly
Ash-Shabuny, Pengantar Studi al-Qur’an hlm. 234
[3] Ibid., hlm.
247.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Quran, cet. Ke xix (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 71.
[7]Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir
Qur‘an, terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 127,
133,149.
[8]M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Quran, hlm. 72-73.
[9]M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Ummat.
(Bandung: Mizan, 1996),
hlm. 112.
[10] M. Quraish
Shihab, Op.Cit, hlm. 111
[11] Ibid., hlm.
114.
[12] Ibid.
[13] Kitab ini
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar,
terj. olehSuryan A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).
[14] Badr al-Dîn
Muhammad al-Zarkashî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmîyah, 1408/1988),1:61-72.
[15] Jalâl
al-Din al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Kairo: Dâr al-Turâth,
1405/1985), 2:159-161.
[16]David S.
Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa mansûkhuhu,” dalam Andrew
Rippin, Approach to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford:
Clarendon Press, 1988), hlm. 120.
[17]M.Quraish Shihab,
Loc.Cit, Hlm.115
[18] Ibid,
Hlm.116
[19] Ibid, hlm.117
[20]Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan,1996), h. 118
[21]Abd. Hayy
al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada), 1994, h. 30-31. Bdk dengan Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi
Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994), h. 75-76
[22]Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
h.65
[23]Q.S. Ali
'Irân: 126
[24] Q.S. Al-Anfâl: 10
[25]Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat:
Lentera Hati, 2000), h. 194-196
[26]Q.S.
An-Naml: 22-23
[27]Q.S. Saba':
15
[28]H.R. Bukhari
[29]Nashruddin Baidan, Op. cit., h. 94-100
[30]Quraish
Shihab, Op. cit., h. 83-84
[31] Nasarudin
Baidan., Loc Cit., hlm 142-144
[1][1] T. M. Hasi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam
Menafsirkan Al-Qur’an (Djakarta: BulanBintang, 1972), hlm. 204 dan 224;
Mohammad Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi al-Qur’an [At-Tibyan], terj.
Moch Shudlori Umar dan Moh. Matsna (Bandung: P.T. Al-Ma‘arif, 1970), 205, 210,
234.
[9][9]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas
Pelbagai Persoalan Ummat. (Bandung: Mizan, 1996),
hlm. 112.
[13][13] Kitab ini sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj.
olehSuryan A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).
[14][14] Badr al-Dîn Muhammad al-Zarkashî, al-Burhân
fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988),1:61-72.
[15][15] Jalâl al-Din
al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Kairo: Dâr al-Turâth,
1405/1985), 2:159-161.
[16][16]David S. Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa
mansûkhuhu,” dalam Andrew Rippin, Approach to the History of the
Interpretation of the Qur’an (Oxford: Clarendon Press, 1988), hlm. 120.
[20][20]Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan,1996), h. 118
[21][21]Abd. Hayy
al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada), 1994, h. 30-31. Bdk dengan Ali Hasan al-Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994), h. 75-76
[22][22]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.65
[25][25]Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat:
Lentera Hati, 2000), h. 194-196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar