Makalah
Disusun guna memenuhi tugas : Mid Semester
Mata Kuliah : Madzahib Tafsir
Dosen Pengampu : Hj. Isti’anah, M. Ag
Akhmad Syaifuddin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
JURUSAN USHULUDDIN
A.
PENDAHULUAN
Untuk bisa berbicara dalam konteks masa dan ruang yang berbeda, maka
Al-Qur’an harus difahami dan ditafsirkan oleh para pembacanya. Al-Qur’an
bersifat tetap, jika dilihat dari bunyi teks dan proses pewahyuannya. Al-Qur’an
telah berhenti, karena pewahyuan sudah berakhir dengan berakhirnya masa
kenabian Muhammad. Sementara di sisi lain, masalah-masalah yang timbul dalam
lingkungan umat Islam, senantiasa berkembang seiring dinamika zaman. Maka untuk
mempertemukan Al-Qur’an dan perkembangan zaman, muncullah disiplin ilmu yang
disebut dengan tafsir. Para ulama lalu melakukan upaya-upaya untuk menjadikan
Al-Qur’an mampu berbicara pada setiap zaman yang berbeda, melalui aktivitas
penjelasan makna-makna Al-Qur’an, dan usaha-usaha itu kemudian dikenal secara
luas sebagai tafsir.
Melihat
sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran al-Qur’an secara
estafet, yaitu tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi
al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Untuk
meminimalisir perdebatan tentang bentuk kedua jenis tafsir ini, penulis lebih
memahami keduanya tidak sebagai sebagai sebuah metode ataupun corak
tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha
pemahaman terhadap al-Qur’an[1].
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Difinisinya Tafsir Bir Ra’yi itu?
2.
Bagaimana metode-metode dan jenis-jenis
Tarsirnya?
3.
Bagaimana pendapat para Ulama dan
kitab-kitab tafsir bir ra’yi yang terkenal?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tafsir Bir Ra’yi
Berdasarkan pengertian etimologi, Ra’yi berati keyakinan (I’tiqad),
analogi (qiyas), dan ijtihad[2]. Dan ra’yi
dalam terminology tafsir adalah ijtihad. Dengna demikian, tafsir bi ar- ra’yi
(disebut jugga tafsir dirayah), sebagaimana di defenisikan Adz- Dzahabi – adalah
tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir
setelah mengetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hokum yang di tunjukkan,
serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikh – mansukh.
Kata Al – Ra’yi yang berarti
pemikiran, pendapat dan ijtihad sedangkan menurut defenisinya tafsir bi ar-
ra’yi adalah penafsiran al – Quran yang didasarkan pada pendapat pribadi
mufassir[3]. Setelah terlebih dahulu memahami
bahasa dan adat istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan
Nabi sebagai mubayyin maupun penjelasan sahabat – sahabatnya. Sekilas hal ini
jelas akan berimplikasi negative pada peyimpulan istimbat pada ayat –ayat
Al – Quran yang di tafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama
menolak tafsir ini bahkan diantaranya ada tang mengharamkannya[4].
2.
Metode – Metode dan Jenis – Jenis
Tafsir Bir
Ra’yi
Adapun metode yang di gunakan dalam
tafsir bi ar ra’yi ialah menafsirkan ayat dengan pemahaman
mufassir itu sendiri[5].
Tafsir bi ar
– ra’yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran belakangan setelah munculnya
tafsir bi al – ma’tsur walaupun sebelumnya ra’yi dalam pengertian
akal sudah di gunakan sahabat ketika menafsirkan Al – Quran. Apalagi kalau kita tilik salah satu
sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Diantara penyebab yang memicu
kemunculan corak tafsir bi ar – ra’ yu adalah semakin majunya ilmu –
ilmu ke islaman yang di warnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu – ilmu,
karya – karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar – pakar di
bidangnya masing – masing. Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat
diwarnai oleh latar belakang di siplin ilmu yang dikuasainya. Diantara mereka
ada yang lebih menekankan telaah balaghah , seperti Az – Zamakhsyari,
atau telaah hukum, seperti Al Qurthubi, atau telaah keistimewaan bahasa seperti
Abi as – su’ud, atau telaah qira’ah seperti an – naisaburi dan An – Nasafi ,
atau telaah mazhab – mazhab kalam dan filsafat, seperti Ar – Razi, atau telaah
– telaah lainnya. Hal ini tampaknya dapat di pahani sebab di samping sebagai
seorang mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam bidang fiqih, bahasa,
filsafat, astronomii, kedokteran, atau kalam. Tatkala ada Al – Quran yang
berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka mengeluarkan sebuah
pengetahuan tentangnya sampai – sampai terkadang mereka lupa akan inti ayat
yang bersangkutan. Bahkan Dalam beberapa literature disebutkan bahwa sebenarnya
tafsir bi ar- ra’yi tidak semata – mata didasari penalaran akal dengan
mengabaikan sumber – sumber riwayat secara mutlak.
Kemunculan tafsir bi ar ra’yi di picu
pula oleh hasil interaksi umat Islam dengan peradaban Yunani yang banyak
menggunakan akal. Oleh karena itu, Dallam tafsir bi ar ra’yi di temukan peranan
akal yang sangat dominan. Sebagian ulama menerrima tafsir ini
dengan beberapa syarat yang cukup kuat diantaranya:
1) Menguasai
bahasa Arab dan cabang – cabangnya.
2) Menguasai
ilimu – ilmu Al – Quran.
3) Berkaidah
yang benar.
4) Mengetahui
priinsip – prinsip pokok agama islam dan menguasai ilmu – ilmu yang berhubungan
dengan pokok bahasan ayat – ayat yang ditafsirkan.
Kemudian semua ulam sepakat menolak
semua jenis penafsiran yang hanya menggunakan Ra’ yi (pemikiran) saja tanpa
mempertimbangkan kaidah – kaidahh yang berlaku akan tetapi mereka menerima
ijtihad yang didasari oleh Al –Quran. Dengan demikian dapat di fahami bahwa
dengan hadirnyya tafsir bi Ar ra’yi justru merupakan perkembangan
signifikan dalam khazanah tafsir Al – Quran[6].
3.
Tafsir yang terkenal dalam bidang Ra’yi
Adapun beberapa tafsir yang terkenal
diantaranya:
1)
Tafsir Abdurrahman bin Kaisan Al –
Asam.
2)
Tafsir Abu ‘ Ali Al – juba’i.
3)
Tafsir Az – Zamakhsyari, Al – Kasyaf.
4)
Tafsir “An Haqa” iqi gawa mudit.
5)
Tafsir “Tanzil wa” uyanil Aqawil fi
wujuhid Ta’wil.
6)
Tafsir fakhrudin Ar – Razi,
mafatihul ghaib.
7)
Tafsir An – Nasafiy, madarikat.
8)
Tafsir Wa Haqaiqut Ta’wil.
9)
Tafsir Al – Khazin Lubabut.
10) Tafsir
abu Hayyan , Al – bahrul Muhit.
11) Tafsir
Al – baidlawi, Anwarut Tanzil.
12) Tafsir
Wa Asrarut Ta’wil.
4.
Pendapat Ulama tentang tafsir Bir Ra’yi
Mengenai keabsahan tafsir bi ar
ra’yi, pendapat para ulama terbagi dalam dua kelompok yaitu:
a. Kelompok
yang melarangnya.
Bahkan, menjelang abad II H, “corak” penafsiran ini belum mendapatkan
legitimasi yang luas dari ulama yang menolaknya[8].
Ulama yang menolak penggunaan “corak”
tafsir ini mengemukakan argumentasi – argumentasi berikut ini:
1) Menafsirkan Al – Qur’an berdasarkan Ra’yi
(pemikiran) berarti membicarakan (firman ) Allah tanpa pengetahuan.
Dengan demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata.
2) Yang
berhak menjelaskan Al – Quran hanya Nabi.
3) Rasulullah
bersabda yang artinya “siapa saja yang menafsirkan Al – Quran atas dasar
sesuatu yang belum diketahuinyya, maka persiapkanlah mengambil tempat di
neraka.”
4) Sudah
merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi ‘ in untuk berhati – hati ketika
berbicara tentang penafsiran Al – Quran.
b. Kelompok
yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi berikut ini:
1) Di
dalam Al – Quran banyak di temukan ayat yang menyerukan untuk mendalami
kandungan – kandungan Al – Quran.
2) Seandainya
tafsir bi ar ra’yi dilarang, mengapa ijtihad di
perbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al – Quran. Ini
menunjukkan bahwa umatnya di izinkan berijtihad terhadap ayat – ayat yang belum
di jelaskan Nabi.
3) Para
sahabat Nabi biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat.
Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al –Quran dengan ra’yi-
nya. Seandainya tafsir bi ar ra’yi dilarang, tentunya tindakan para
sahabat itu keliru.
4) Rasulullah
pernah berdoa untuk ibnu Abbas. Doanya yaitu :
“Ya Allah berilah pemahaman agama
kepada ibn Abbas dan ajarilah ia takwil”
Seandainya cakupan takwil hanya
mendengar dan menukil riwayat saja, tentunya pengkhususan doa di atas untuk ibn
Abbas tidak bermakna apa – apa. Dengan demikian, maka takwil yang di maksud
dalam doa itu adalah sesuatu di luar penukilan, yaitu ijtihad dan pemikiran.
Selanjutnya, para ulama membagi
corak tafsir bi ar ra’yii menjadi dua bagian:
Tafsir bi ar – ra’yi yang
dapat di terima/terpuji (maqbul/mahmudah) tafsir bi ar ra’yi dan
yang di tolak/ tercela (mardud/madzmum). Tafsir bi ar ra’yi dapat
di terima apabila selama menghindari hal – hal berikut ini:
a)
Memaksakan diri untuk mengetahui makna
yang yang di kehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi
syarat untuk itu.
b)
Mencoba menafsirkan ayat – ayat yang
maknanya hanya di ketahui Allah (otoritas Allah semata).
c)
Menafsirkan Al- Quran dengan di
sertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik
semata – mata berdasarkan persepsinya).
d)
Menafsirkan ayat – ayat untuk mendukung
suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar,
sedangkan penafsirannya mengikuti mazhab tersebut.
e)
Menafsirkan Al – Quran dengan
memastikan bahwa makna yang di kehendaki Allah adalah demikian ….tanpa di
dukung dalil[9].
Selama mufassir bi ar ra’yi
menghindari kelima hal di atas dengan di sertai niat ikhlas semata – mata
karena Allah, penafsirannya dapat di terima dan pendapatnya dapat dikatakan
rasional. Jika tidak demikian berarti ia menyimpang dari cara yang di benarkan
sehingga, penafsirannya di tolak, tidak dapat di terima[10].
D.
KESIMPULAN
Tafsir dengan
cara memahami berbagai klimat Al – Quran, melalui pemahaman yang di tunjukkan
oleh berbagai informasi yang di miliki oleh seorang ahli ahli tafsir seperti
bahasa dan bebrbagai peristiwa.
Dan adapun pendapat para ulama
berkenaan dengan tafsir Bi Ar – Ra’yi ada dua pendapat yaitu menolak dan
menerima tafsir tersebut. Ulama yang menolak penggunaan “corak” tafsir ini
mengemukakan argumentasi – argumentasi berikut ini:
1.
Menafsirkan Al – Quran berdasarkan Ra’yi
(pemikiran) berarti membicarakan (firman ) Allah tanpa pengetahuan. Dengan
demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata.
2.
Yang berhak menjelaskan Al – Quran
hanya Nabi.
3.
Rasulullah bersabda yang artinya “siapa
saja yang menafsirkan Al – Quran atas dasar sesuatu yang belum diketahuinyya,
maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka.”
4.
Sudah merupakan tradisi di kalangan
sahabat dan tabi ‘ in untuk berhati – hati ketika berbicara tentang penafsiran
Al – Quran.
5.
Kelompok yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi
berikut ini.
6.
Di dalam Al – Quran banyak di
temukan ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan – kandungan Al – Quran.
7.
Seandainya tafsir bi ar ra’yi
dilarang, mengapa ijtihad di perbolehkan. Nabi sendiri tidak
menjelaskan setiap ayat Al – Quran. Ini menunjukkan bahwa umatnya di izinkan
berijtihad terhadap ayat – ayat yang belum di jelaskan Nabi.
8.
Para sahabat Nabi biasa berselisih
pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun
menafsirkan Al –Quran dengan ra’yi- nya. Seandainya tafsir bi ar
ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Aridh, ilmu tafsir, Bandung:
Rineka cipta, 1994
Al Qattan, Manna khalil , Studi
Ilmu – Ilmu Al – Quran.Rineka cipta :bandung. 1994
Baidan,
Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2002),hlm. 49.
Rahmat, Jalaluddin,Tafsir
Kontemporer, Kritik dan masalah pengembangan Metodologi”.IAIN SGD Bandung,
1991
Basumi Faaudah, Tafsir – Tafsir
al – quran, terjemhan, pustaka, bandung,1987
www. Tafsir bi ar ra’yi.co.id
www. Tafsir bil Ar – ra’yi.co. id
www. Metode – metode dalam Tafsir bi
ar ra’yi.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar