I. PENDAHULUAN
Allah mengutus nabi Muhammad SAW untuk
membawa sariat islam didalamnya terdapat hukum syara’ . hukum merupakan buah
inti dari ilmu fikih dan uhsul fiqih . hukum syara’ adalah ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan orang-orang mukalaf .
Manusia dalam kehidupan di dunia ini
tentunya tidak akan pernah terlepas oleh sesuatu aturan hukum yang
berlaku. Manusia dikataan sebagai pelaku hukum atau subjek hukum sekaligus
sasaran hukum atau objek hukum. Hukum-hukum yang telah di buat atau disyariatan
oleh sang pembuat Hukum yakni Allah SWT tentunya harus dijalakan dan diterapkan
oleh sang manusia.
Manusia dalam pelaksanaan suatu
tuntutan hukum dalam islam atau yang lebih spesifik dalm tataran hukum islam
yang dikenal dengan ushul fiqh atau fiqh itu sendiri dikenal dengan istilah
mahkum fih/bih (objek hukum) dan mahkum alaihi (subjek hukum). Tentunya dalam
masalah hukum islam tak terlepas dari filsafat hukum islam, olehnya itu akan
lebih baik jika dibahas lebih mendalam mengenai hal-hal tersebut
II.
RUMUSAN MASALAH
Adapun yang akan kami bahas dalam makalah ini yakni:
1. Apa pengertian
mahkum bih dan mahkum alaihi?
2. Apa yang
menjadi syarat-syarat mahkum bih dan mahkum alaihi?
3. Bagaimana
bentuk macam dari mahkum bih?
III.
PEMBAHASAN
A.
Obyek Hukum
1.
Pengertian Obyek
Hukum (Mahkum Bih)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau
dibebani dengan hukum syar’i.[1] dalam derivasi yang lain dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan objek hokum atau mahkum bih ialah sesuatu yang
dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia,
atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak.[2]
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan
Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait
dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para
ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya
suatu hukum:[3]
Di dalam penjelasan yang lain pula
disebutkan bahwa, Mahkum bih adalah objek hukum yaitu perbuatan orang mukallaf
yang terkait dengan titah syar’i yang bersifat mengerjakan, meninggalkan maupun
memilih antara keduanya. Seperti perintah sholat, larangan minum khomer, dan
semacamnya. Seluruh titah syar’i ada objeknya. Objek itu adalah perbuatan orang
mukallaf yang kemudian di tetapkan suatu hukum darinya.[4]
Dalam istilah ulama ushul Fiqh, yang
disebut mahkum bih atau objek hokum, yaitu sesuatu yang berlaku padanya hokum
syara’. Objek hokum adalah “perbuatan” itu sendiri dan hokum itu berlaku pada
perbuatan dan bukan pada zatnya.[5] Hokum syara yang dimaksud, terdiri
atas dua macam yaknihukum taklifi dan hukum wad’i. hokum taklifi jelas
menyangkut perbuatan mukallaf, sedangkan sebagian hokum wad’I ada yang tidak
berhubungan dengan perbuatan mukallaf.[6]
2.
Syarat-syarat mahkum Bih
a) Para ulama Ushul Fiqh menetapkan
beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hokum: Perbuatan tersebut
diketahui oleh mukalaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan apa
yang mereka tuntut. Sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat
dilaksanakan, maka
seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia
tau persis.
Contoh:Dalam Al qur’an perintah
Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka
Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh
sabagaimana sabdanya”sholatlah
sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain
seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap
tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
b) Harus diketahui bahwa pentaklifan
tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk mentaklifan dan termasuk orang
yang wajib dipatuhi oleh mukhallaf.
Yang
dimaksud dengan mengetahui disini adalah kemungkinan mengetahui, bukan
kenyataan mengetahui. Oleh sebab itu seseorang yang sehat akalnya dan sanggup
mengetahui hokum syara dengan sendirinya atau menanyakannya pada orang lain.
c) Perbuatan yang ditaklifkan tersebut
dimungkinkan terjadi. Artinya, melakukan atau meninggalkan perbuatan itu
berada dalam batas kemampuan si mukallaf. Dan syarat ini timbul dari dua hal:
1) Tidak syah menurut syara’
mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik meurut zatnya, maupun karena hal yang
lain. Mustahil menuuurut zatnya adalah sesuatu yang tidak tergambar pada akal.
Misalnya, mewajibkan dan mengharamkan sesuatu pada waktu bersamaan. Adapun
mustahil karena hal lain adalah segala sesuatu yang tergambar oleh akal adanya,
tetapi menurut hokum alam dan kebiasaan pernah terjadi.
2) Tidak sah menurut syara mentaklifkan
seorang mukallaf agar orang lain melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Oleh
sebab itu, yang ditaklifkan disini hanya memberi nasehat,menyuruh yang ma’ruf
dan melarang yang mungkar.[7]
Dari syarat ketiga diatas, muncul masalah lain yang
dikemukaakan para Ulama Ushul Fiqh yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam
taklif. Apakah boleh ditatapkan taklif terhadap amalan yang mengandung
masyaqqah?.
Dalam masalah ini ulama ushul fiqh
membagi masyaqqah kepada dua bentuk:
1) Masyaqqah mu’taddah adalah kesulitan biasa dan dapat
diduga. Misalnya, mengerjakan sholat itu bisa melelahkan badan, berpuasa itu
menimbulkan rasa lapar, dan menuanikan ibadah haji itu menguras tenaga.
Kesulitan seperti ini menurut para ahlii ushul fiqh, berfungsi sebagai ujuan
terhadap ketaatan dan kepatuhan seorang hamba dalam menjalankan taklif syara’.
2) Masyaqqah ghair mu’taddah adalah kesulitan diluar kebiasaan
dan sulit diduga. Kesulitan seperti ini menurut ulama ushul fiqh secara logika
dapat diterima, sekalipundalam kenyataannya tidak pernah terkjadi, karena Allah
sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk menyulitkan manusia. Oleh
sebab itu Allah, misalnya, tidak memerintahkan hamba-Nya. Untuk berpuasa
berpuasa siang dan malam serta secara terus menrus melakukan shalat malam.
Karena Allah telah berfirman:
ÞOn=÷ètƒ $tB šú÷üt/ öNÍgƒÏ‰÷ƒr& $tBur öNßgxÿù=yz 3 ’n<Î)ur «!$# ßìy_ö�è? â‘qãBW{$# ÇÐÏÈ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.(QS.Al-Haj:76).
߉ƒÌ�ムª!$# br& y#Ïeÿsƒä† öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $Zÿ‹Ïè|Ê ÇËÑÈ
“Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa’: 28)
“Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu … (QS. Al-Baqarah: 185)
Apabila dalam suatu amalan terdapat
kesulitan untuk mengerjakannya, maka Allah juga memberi keringanan dengan cara
rukhshoh. Sebagaimana sabda Rasul:
“Sunggauh Allah mendatangkan rukhsah-Nya sebagaimana Ia mendatangkan ‘azimah-Nya. (HR. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi, dari Abdullah bin Umar).
Seluruh ayat dan hadis diatas, menurut ulama ushul fiqh, bertujuan untuk memeudahkan para mukallaf untuk melaksanakan taklif syara’ sehingga mereka dapat melaksanakan secara berkesinambungan.[8]
“Sunggauh Allah mendatangkan rukhsah-Nya sebagaimana Ia mendatangkan ‘azimah-Nya. (HR. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi, dari Abdullah bin Umar).
Seluruh ayat dan hadis diatas, menurut ulama ushul fiqh, bertujuan untuk memeudahkan para mukallaf untuk melaksanakan taklif syara’ sehingga mereka dapat melaksanakan secara berkesinambungan.[8]
3.
Macam-Macam Mahkum Bih
Para ulama usul membagi mahkum bin dari
dua segi yaitu dari segi keberadanya secara material dan syara serta dan segi
hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri
Dari
segi keberadanya dan syara mahkum bih terdiri dari
1) Perbuatan secara material ada.
Tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara seperti makan dan
minum yang dilakukan mukallaf itu bukan termasuk syara
2) Perbuatan yang secara material ada
dan menjadi sebab adanya hukum syara seperti perziaan ,pencurian dan pembunuhan
perbauatan itu berkaitan hukum syara yaitu hudud qishash
3) Perbuatan yang secara material aa
dan baru bernilai dalam syara apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan
seperti sholat dan zakat
4) Perbuatan yang secara material ada
dan diakui syara serta mengakibatkan adanya hukum syara yang lain seperti nikah
dan jual beli dan sewa menyewa .Perbuatan ini secara material adadan diakui
oleh syara Apabila menemukan rukun dan syarat perbuatan itu memnakibatkan
munculnya hukum syara yang lain seperti hubungn suami istri mangakibatkan
kewajiban untuk member nafkah.[9]
B.
Subjek Hukum (Mahkum Alaihi)
1.
Pengertian Sobyek Hukum
Yang dimaksud dengan mahkum alaihi
adalah muklaf yang berhubungan dengan hokum syar’i. atau dengan kata lain,
mahkum alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berkakunya hokum
Alloh. Dinamakan mukallaf sebagai mahkum alaihi adalah karena dialah yang
dikenai (dibebani) hokum syara. Ringkasnya, mahkum alaihi adalah orang atau si
mukallaf itu sendiri, sedangan perbuatannya disebut mahkum bih.[10]
Dalam pengertian yang lainnya disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek
tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah
sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab
Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain
menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk
berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan
Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa
Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat
berlakunya hukum Allah.[11]
Amir syarifuddin dalam bukunya
menjelaskan bahwa subjek hokum atau pelaku hokum ialah orang-orang yang
dituntut oleh Allah untuk berbuat, and segala tingkah lakunya telah
diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. dalam istilah Ushul Fiqh, subjek
hokum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hokum, atau mahkum
alaihi yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hokum.[12]
2.
Syarat-syarat mahkum alaihi
Ada 2 persyaratan yang harus
dipenuhi agar sorang mukallaf sah ditaklifi:
a. Orang tersebut mampu memahami
dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain.
Karena orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi
apa yang ditaklifkan kepadanya.
b. Orang tersebut ahli (cakap) bagi apa yang
ditaklifkan kepadanya. “Ahli” disini berarti layak untuk kepantasan yang
terdapat pada diri seseorang. Misalnya seseorang dikatakan ahli mengurus wakaf,
berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawabmengurus harta wakaf.[13]
IV.
KESIMPULAN
Berdasrkan pemaparan singkat materi diatas
maka dapat disimpulkan bahwa mahkum bih
adalah objek
hukum yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syar’i yang
bersifat mengerjakan, meninggalkan maupun memilih antara keduanya. Sedangkan
mahkum alaihi yakni orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan
segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu.
Dalam bentuk macamnya mahkum bih maupun
mahkum alaihi terbagi atas berbagai macam yang tentunya dalm tiap macamnya
memiliki karakteristik tersendiri yang menjadi khas. Selain hal itu pula baik
mahkum alaihi atau mahkum fih sama-sama memiliki keterikatan syarat-syarat
tertentu yang mana syarat tersebut merupakan hal pembeda sekaligus hal mutlak
yang menjadi dasar pijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya Al Jumanatul Ali, Bandung;
Penerbit J-ART,2004
Koto, Alaidin,Ilmu Fiqh Dan Ushul
Fiqh,Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2004
Syarifuddin,Amir,Ushul Fiqh I,Jakarta:
Kencana,2009
http://imronfauzi.wordpress.com/2008/12/29/mahkum-fih-dan-mahkum-alaih/
[11]
http://imronfauzi.wordpress.com/2008/12/29/mahkum-fih-dan-mahkum-alaih/ diakses tanggal 20-9-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar