Senin, 01 Oktober 2012

OBYEK DAN SUBYEK HUKUM ISLAM



I.     PENDAHULUAN
Allah mengutus nabi Muhammad SAW untuk membawa sariat islam didalamnya terdapat hukum syara’ . hukum merupakan buah inti dari ilmu fikih dan uhsul fiqih . hukum syara’ adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan orang-orang mukalaf .
Manusia dalam kehidupan di dunia ini tentunya tidak akan pernah terlepas oleh sesuatu aturan hukum yang berlaku. Manusia dikataan sebagai pelaku hukum atau subjek hukum sekaligus sasaran hukum atau objek hukum. Hukum-hukum yang telah di buat atau disyariatan oleh sang pembuat Hukum yakni Allah SWT tentunya harus dijalakan dan diterapkan oleh sang manusia.
Manusia dalam pelaksanaan suatu tuntutan hukum dalam islam atau yang lebih spesifik dalm tataran hukum islam yang dikenal dengan ushul fiqh atau fiqh itu sendiri dikenal dengan istilah mahkum fih/bih (objek hukum) dan mahkum alaihi (subjek hukum). Tentunya dalam masalah hukum islam tak terlepas dari filsafat hukum islam, olehnya itu akan lebih baik jika dibahas lebih mendalam mengenai hal-hal tersebut

II.     RUMUSAN MASALAH
Adapun yang akan kami bahas dalam makalah ini yakni:
1.      Apa pengertian mahkum bih dan mahkum alaihi?
2.      Apa yang menjadi syarat-syarat mahkum bih dan mahkum alaihi?
3.      Bagaimana bentuk macam dari mahkum bih?

III.     PEMBAHASAN
A.  Obyek Hukum
1.      Pengertian Obyek Hukum (Mahkum Bih)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.[1] dalam derivasi yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan objek hokum atau mahkum bih ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak.[2]
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:[3]
Di dalam penjelasan yang lain pula disebutkan bahwa, Mahkum bih adalah objek hukum yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syar’i yang bersifat mengerjakan, meninggalkan maupun memilih antara keduanya. Seperti perintah sholat, larangan minum khomer, dan semacamnya. Seluruh titah syar’i ada objeknya. Objek itu adalah perbuatan orang mukallaf yang kemudian di tetapkan suatu hukum darinya.[4]
Dalam istilah ulama ushul Fiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hokum, yaitu sesuatu yang berlaku padanya hokum syara’. Objek hokum adalah “perbuatan” itu sendiri dan hokum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zatnya.[5] Hokum syara yang dimaksud, terdiri atas dua macam yaknihukum taklifi dan hukum wad’i. hokum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf, sedangkan sebagian hokum wad’I ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf.[6]
2.      Syarat-syarat mahkum Bih
a)      Para ulama Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hokum: Perbuatan tersebut diketahui oleh mukalaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan apa yang mereka tuntut. Sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan, maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis.
Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh
sabagaimana sabdanya”sholatlah sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
b)      Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk mentaklifan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukhallaf.
Yang dimaksud dengan mengetahui disini adalah kemungkinan mengetahui, bukan kenyataan mengetahui. Oleh sebab itu seseorang yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hokum syara dengan sendirinya atau menanyakannya pada orang lain.
c)      Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. Artinya,  melakukan atau meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan si mukallaf. Dan syarat ini timbul dari dua hal:
1)      Tidak syah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik meurut zatnya, maupun karena hal yang lain. Mustahil menuuurut zatnya adalah sesuatu yang tidak tergambar pada akal. Misalnya, mewajibkan dan mengharamkan sesuatu pada waktu bersamaan. Adapun mustahil karena hal lain adalah segala sesuatu yang tergambar oleh akal adanya, tetapi menurut hokum alam dan kebiasaan pernah terjadi.
2)      Tidak sah menurut syara mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Oleh sebab itu, yang ditaklifkan disini hanya memberi nasehat,menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.[7]
Dari syarat ketiga diatas, muncul masalah lain yang dikemukaakan para Ulama Ushul Fiqh yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh ditatapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah?.
Dalam masalah ini ulama ushul fiqh membagi masyaqqah kepada dua bentuk:
1)      Masyaqqah mu’taddah adalah kesulitan biasa dan dapat diduga. Misalnya, mengerjakan sholat itu bisa melelahkan badan, berpuasa itu menimbulkan rasa lapar, dan menuanikan ibadah haji itu menguras tenaga. Kesulitan seperti ini menurut para ahlii ushul fiqh, berfungsi sebagai ujuan terhadap ketaatan dan kepatuhan seorang hamba dalam menjalankan taklif syara’.
2)      Masyaqqah ghair mu’taddah adalah kesulitan diluar kebiasaan dan sulit diduga. Kesulitan seperti ini menurut ulama ushul fiqh secara logika dapat diterima, sekalipundalam kenyataannya tidak pernah terkjadi, karena Allah sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk menyulitkan manusia. Oleh sebab itu Allah, misalnya, tidak memerintahkan hamba-Nya. Untuk berpuasa berpuasa siang dan malam serta secara terus menrus melakukan shalat malam. Karena Allah telah berfirman:
ÞOn=÷ètƒ $tB šú÷üt/ öNÍgƒÏ‰÷ƒr& $tBur öNßgxÿù=yz 3 ’n<Î)ur «!$# ßìy_öè? â‘qãBW{$# ÇÐÏÈ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.(QS.Al-Haj:76).

߉ƒÌ
ムª!$# br& y#Ïeÿsƒä† öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $Zÿ‹Ïè|Ê ÇËÑÈ
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa’: 28)
 “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu … (QS. Al-Baqarah: 185)
Apabila dalam suatu amalan terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka Allah juga memberi keringanan dengan cara rukhshoh. Sebagaimana sabda Rasul:

“Sunggauh Allah mendatangkan rukhsah-Nya sebagaimana Ia mendatangkan ‘azimah-Nya. (HR. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi, dari Abdullah bin Umar).

Seluruh ayat dan hadis diatas, menurut ulama ushul fiqh, bertujuan untuk memeudahkan para mukallaf untuk melaksanakan taklif syara’ sehingga mereka dapat melaksanakan secara berkesinambungan
.[8]
3.      Macam-Macam Mahkum Bih
Para ulama usul membagi mahkum bin dari dua segi yaitu dari segi keberadanya secara material dan syara serta dan segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri
Dari segi keberadanya dan syara mahkum bih terdiri dari
1)      Perbuatan secara material ada. Tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara seperti makan dan minum yang dilakukan mukallaf itu bukan termasuk syara
2)      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara seperti perziaan ,pencurian dan pembunuhan perbauatan itu berkaitan hukum syara yaitu hudud qishash
3)      Perbuatan yang secara material aa dan baru bernilai dalam syara apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan seperti sholat dan zakat
4)      Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara serta mengakibatkan adanya hukum syara yang lain seperti nikah dan jual beli dan sewa menyewa .Perbuatan ini secara material adadan diakui oleh syara Apabila menemukan rukun dan syarat  perbuatan itu memnakibatkan munculnya hukum syara yang lain seperti hubungn suami istri mangakibatkan kewajiban untuk member nafkah.[9]

B.  Subjek Hukum (Mahkum Alaihi)
1.      Pengertian Sobyek Hukum
Yang dimaksud dengan mahkum alaihi adalah muklaf yang berhubungan dengan hokum syar’i. atau dengan kata lain, mahkum alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berkakunya hokum Alloh. Dinamakan mukallaf sebagai mahkum alaihi adalah karena dialah yang dikenai (dibebani) hokum syara. Ringkasnya, mahkum alaihi adalah orang atau si mukallaf itu sendiri, sedangan perbuatannya disebut mahkum bih.[10]
Dalam pengertian yang lainnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.[11]
Amir syarifuddin dalam bukunya menjelaskan bahwa subjek hokum atau pelaku hokum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, and segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. dalam istilah Ushul Fiqh, subjek hokum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hokum, atau mahkum alaihi yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hokum.[12]
2.      Syarat-syarat mahkum alaihi
Ada 2 persyaratan yang harus dipenuhi agar sorang mukallaf sah ditaklifi:
a.       Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya.
b.       Orang tersebut ahli (cakap) bagi apa yang ditaklifkan kepadanya. “Ahli” disini berarti layak untuk kepantasan yang terdapat pada diri seseorang. Misalnya seseorang dikatakan ahli mengurus wakaf, berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawabmengurus harta wakaf.[13]

IV.     KESIMPULAN
Berdasrkan pemaparan singkat materi diatas maka dapat disimpulkan bahwa mahkum bih adalah objek hukum yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syar’i yang bersifat mengerjakan, meninggalkan maupun memilih antara keduanya. Sedangkan mahkum alaihi yakni orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu.
Dalam bentuk macamnya mahkum bih maupun mahkum alaihi terbagi atas berbagai macam yang tentunya dalm tiap macamnya memiliki karakteristik tersendiri yang menjadi khas. Selain hal itu pula baik mahkum alaihi atau mahkum fih sama-sama memiliki keterikatan syarat-syarat tertentu yang mana syarat tersebut merupakan hal pembeda sekaligus hal mutlak yang menjadi dasar pijakan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen  Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya  Al Jumanatul Ali, Bandung; Penerbit J-ART,2004
Koto, Alaidin,Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh,Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2004
Syarifuddin,Amir,Ushul Fiqh I,Jakarta: Kencana,2009
http://imronfauzi.wordpress.com/2008/12/29/mahkum-fih-dan-mahkum-alaih/


[1] Alaidin Koto,Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2004), halm.153.
[2] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:Prenada Media Group,2009),hlm.417.
[5] Syarifuddin,Ushul…,hlm 417
[6] Ibid,417

[7]  Koto,ilmu…hlm.157-158
[10] Koto, ilmu…,hlm.157

[12] Syarifuddin,Ushul…,hlm.424
[13] Ibid,.hlm.157-158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar