Kamis, 01 November 2012

KAIDAH TENTANG MANTHUQ DAN MAFHUM


KAIDAH TENTANG MANTHUQ  DAN MAFHUM


Makalah
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Qowa’id Tafsir
Dosen Pengampu : Shofaussamawati, M. Ag


Akhmad Syaifuddin


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
JURUSAN USHULUDDIN



A.    PENDAHULUAN
Sudah kita maklumi bersama bahwa nash-nash al-qur’an merupakan wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab. Pemahaman hukum dari nash hanyalah menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi ushul dalam bahasa arab dan cara-cara dlalahnya,serta ditunjuki lafazd-lafazdnya,baikdalam bentuk mufrod maupun murakab (susunan)[1].
Petunjuk  (dalalah) lafazd kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi perkataan yang diucapkan (manthuq),baik secara tegas maupun mengandung kemungkinan makna lain,dan adakalanya berdasarkan pada pemahaman makna tersuratnya (mafhum), baik sesuai hukum manthuq maupun yang bertentangan. Pemahaman teks al-qur’an yang demikian inilah yang dikalangan para ulama bisa disebut term manthuq dan mafhum yang tersurat dan tersirat.
Kajian term manthuq dan mafhum sanatlah penting,karna hal inilah akan memerinci berbagai kandungan maksud ayat-ayat al-qur’an yang dapat diketahui dari lafadz (manthuq) dan dari makna yang disimpulkan (mafhum)[2].

B.     PERMASALAHAN
1.      Apa pengertian manthuq dan macam-macamnya?
2.      Apa pengertian mafhum dan macam-macamnya?
3.      Bagaimana hukum berhujjah dengan mafhum?

C.    PEMBAHASAN
1.    Pengertian manthuq dan macam-macamnya
Manthuq adalah suatu yang ditunjukkan oleh lafadz pada saat diucapkannya; yakni bahwa penentuan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan. Manthuq ada tiga macam yakni Nash, dzahir dan muawal.
a)    Nash ialah: lafadz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas. Tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalkan dalam firman Allah SWT:
 4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×'s#ÏB%x. 3 ÉÇÊÒÏÈ 
Artinya: “...Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang semurna...” (Q.S : Al-Baqarah 196)[3].
b)   Dzahir ialah: lafadz yang menunjukkan sesuatu makna yang secara difahami ketika diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Jadi,dzahir itu sama dengan nash dalam hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada lafadz yang diucapkan. Misalnya firman Allah SWT:
( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ 
Artinya: “...Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampui batas....” (Q.S : Al-Baqarah :173)[4].
c)    Muawal ialah: lafadz yang diartikan dengan makna marjuh (dalil yang lemah) karna ada sesuatu dalil yang menghalangi pemaknaanya dari makna yang rajih (dalil yang kuat). Muawal bebeda dengan zhahir; zhahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil memalingkannya pada yang marjuh,sedang muawal diartikan dengan makna marjuh sebab ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi kedua makna tersebut ditunjukkan oleh lafad menurut bunyi ucapannya. Misalnya bunyi ayat:
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ    
Artinya:“Dan tundukkanlah pada kedua sayap kerendahanmu (sebagai wujud) kasih sayang dan ucapkanlah, wahai tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra’: 24)[5].
Lafadz “jannah addzulli” diartikan dengan “tunduk,tawaduk, dan bergaul secra baik” dengan kedua orang tua, tidak diartikan “sayap” karna mustahil manusia punya sayap[6].



2.    Pengertian mafhum dan macam-macamnya
Mafhum adalah makna yang di tunjukan oleh lafad, tidak berdasarkan pada bunyi ucapan. Ia terbagi menjadi dua mafhum muwafaqoh dan mafhum mukholafah.
a.    Mafhum muwafaqoh ialah makna yang hukumnya sesuai dengan mantuk mafhum ini ada dua macam:
1)   Fahwal qitbah yaitu makana yang difahami itu lebih utama di ambil hukunya dari pada mantuknya misalnya keharaman mencacimaki dan memukul kedua orang tua yang di fahami dari surat al-isra’ ayat 23:
Ÿxsù @à)s?.!$yJçl°; 7e$é& .....
Artinya:“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’... (Al-Isra’:23). Mantuq ayat ini adalah haramnya mengatakan “ah”, oleh karena keharaman mencacimaki dan memukul lebih pantas diambil karena kedua lebih berat[7].
2)   Lahnul khitab yaitu hukum mafhum sama nilainya dengan hukum mantuk misalnya fiarman Allah sutar an-nisa’ ayat 10:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ  
Artinya:”Sesunggunya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzolim, sebenarnya mereka itu menelan api neraka kedalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka).”(An-Nisa’ :10)[8].
Ayat ini menunjukkan pula keharaman merusak dan membakar harta anak yatim atau menyiayakan. Menunnjukkan makna demikain disebut “lahnul khitab”, karena ia sama nilainya denga memaknnya sampai habis[9]. Kedua mafhum ini disebut mafhum muwafaqoh.
Karena makna yang tidak disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum diucapkan meskipun hukum ini mempunyai nilai tambah pada yang pertama dan sama pada yang kedua. Penunjukan makna dalam muwafqoh itu termasuk dalam kategori “mengigatkan kepada yang lebih tinggi denagan yang lebih rendah atau sebaliknya”.
Kedua macam ini terkumpul dalam firman Allah SWT surat al-imran ayat 75:
* ô`ÏBur È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# ô`tB bÎ) çm÷ZtBù's? 9$sÜZÉ)Î/ ÿ¾ÍnÏjŠxsムy7øs9Î)    
Artinya: ”Dan diantara ahli kitab ada orang yang kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu...” (Ali Imran: 75).
Kalimat pertama “dan diantara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempecayakan kepadanya harta yang banyak,dikembaliknya kepadamu” termasuk peringatan bahwa ia akan mengembalikan amanat kepadamu sekalipun harta satu dinar atau kurang. Orang tersebut yang dimaksut adalah abdullah bin salam yakni ada orang kurais 120 auqiyah kepadanya kemudian dikembalikan oleh abdullah kepada orang quraisy tadi denagn jumlah yang sama[10].
b.    Mafhum mukhalafah ialah makna yang berbeda hukumnya dengan manthuq. Mafhum ini ada empat macam:
1)        Mafhum sifat, ialah sifat ma’nawi yakni lafadz yang dikaitkan dengan ayat lain dan tidak berupa syarat istisnak dan qoyah[11], seperti: Musytaq dalam surat al-hujurat ayat 6:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita  maka periksalah dengan teliti...”(Al-Hujurat: 6).
Yang dapat difahami dari ungkapan kata “fasiq” (orang fasik) ialah bahwa orang yang tidak fasik tidak wajib diteliti kebenarannya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan seseorang yang adil wajib diterma.
Hal (keterangan keada’an),
dalam firman Allah,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=çGø)s? yøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur ×Pããm 4 `tBur ¼ã&s#tFs% Nä3ZÏB #YÏdJyètGB Öä!#tyfsù ã@÷WÏiB $tB Ÿ@tFs% z`ÏB ÉOyè¨Z9$# ãNä3øts ¾ÏmÎ/
“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu membunuh binatang buruan ketika kami sedang berikhram. Dan barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya.”(Q.S:Al-Maidah:95)[12].
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang membunuhnya karna tak sengaja. Sebab penentuan, “sengaja” dengan kewajiban membayar denda menunjukkan tiadanya kewajiban membayar denda dalam membunuh binatang buruan tidak sengaja.
Adad (bilangan) misalnya:
kptø:$# ֍ßgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B   4šÇÊÒÐÈ  
“(musim) haji ialah beberapa bulan yang dimaklumi” (Al-Baqorah:197), Mafhumnya ialah bahwa melakukan ihram untuk haji di luar bulan-bulan itu tidak sah. Dan
óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_  ÇÍÈ  
“Maka deralah mereka yang (menuduh zina itu) delapan kali derahan...”(An-Nur:4), Mafhumnya ialah mereka tidak boleh didera kurang atau lebih dari delapan puluh kali.
2)        Mafhum syarat, seperti firman Allah:
bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4  
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya.”(At-Thalaq:6).
Mafhumnya ialah istri yang dicerai tetapi tidak sedang hamil, tidak diberi nafkah.
3)        Mafhum ghoyah (batas maksimal), misalnya:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3  
“Kemudian jika suami mentalaknya (ssudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain...” (Al-baqrah: 230). Mafhumnya ialah, istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang lain, dengan memenui syarat-syarat pernikahan.
4)        Mafhum hashr (pembatas), misalnya:
x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ  
“Hanya Engkaulah yang kami sembah  dan hanya kepada Engkaulah kami mohom pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Mafhumnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karna itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yangbberhak dismbah dan dimintai pertolongan.[13]
3.    Hukum berhujjah dengan mafhum
Para ulama’ berbeda pendapat tentnag kehujjahan mafhum sebagai dasar untuk menetapkan suatu hukum. Menurut pendapat yang palinh sohih apabila memenuhi syarat :
1)        Mafhum mukhalafah hendaknya tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwaffaqah.
Contoh yang berlawanan dengan mantuq dlam firman Allah:

Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) (
 “dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karna takut kemiskinan..”(QS.Al-Isra’: 31)
2)        Dalalah Manthuqnya bukan dimasukkan untuk memberikan batasan dengan sifat tertentu. Seperti firman Allah:
uqèdur Ï%©!$# t¤y tóst7ø9$# (#qè=à2ù'tGÏ9 çm÷ZÏB $VJóss9 $wƒÌsÛ    
Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan agar kamu dapat memakan dari padanya daging yang segar” (QS. An-Nahl: 14)
Lafazh Thoriyyan (segar) pada ayat diatas hanyalah sekedar untuk melukiskan sesuatu  kesenangan, bukan dimaksudkan untuk mensifati daging yang boleh dimakan itu harus bersifat demikian.
3)        Dalalah Manthuqnya bukan untuk menerangkan suatu kejadian yang khusus. Seperti firman Allah :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung”(QS. Ali-Imron: 130)[14].
Dalalah mantuq ayat diatas adalah bahwa keharaman riba karna berlipat ganda.
4)        Dalalah manthuqnya bukan dimaksudkan untuk penghormatan atau menguatkan suatu keadaan. Seperti sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir berkatalah yang baik atau diam saja dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya.”(HR. Bukhari-Muslim).
5)        Dalalah manthuqnya harus berdiri sendiri, tidak boleh mengikuti yang lain. Seperti firman Allah :
4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3
“janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istri) itu sedang kamu ber ‘itikaf di dalam masjid-masjid” (QS.Al-baqarah: 187)
6)        Dalalah manthuqnya bukan sekedar menerangkankebiasaan. Seperti fifman Allah:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/
“Dharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibimu; anak-anakmu; yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri”(QS. An-Nisa’: 23)

Ayat diatas menjelaskan bahwa diantarawanita-wanita yang tidak boleh dikawini adalah anak tiri yang dalam pemeliharaannya. Ayat tersebut tidak dapat fahami menurut mafhum mukhalafahnya, yaitu anak tiri yang tidak berada dalam pemeliharaannya boleh dikawini. Lafadz fihujurikum (dalam pemeliharamu) pada ayat diatas sekedar menerangkan kebiasaan saja[15].





D.    KESIMPULAN



























DAFTAR PUSTAKA
v Al-Qattan, Manna Khali, Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Litara Antarnusa, Bogor, Cet. 6, 2001.
v  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil Cipta Media, 2005.
v  Ichwan, Nor, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, cet I 2002.
v  Karim, H.A. Syafi’i, Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
v Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994.
v Sahal, Muhammad Ahmad, Al Bayan Al Mana’, Margoyoso Pati, Masalakul Huda.


[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994, hal. 208.
[2] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, cet I 2002, hal. 125.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil Cipta Media, 2005, hal, 30.
[4] Ibid, Depag RI, hal, 26.
[5] Ibid, Depag RI, hal, 284.
[6] Manna Khali Al-Qattan, Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Litara Antarnusa, Bogor, Cet. 6, 2001, hal. 360.
[7] H.A. Syafi’i Karim, Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal, 181.
[8] Opcit, Depag RI, hal. 78.
[9] Opcit, hal, 179.
[10] Muhammad Ahmad Sahal, Al Bayan Al Mana’, Margoyoso Pati, Masalakul Huda, Tt, hal. 77.
[11] Ibid. 79.
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil Cipta Media, 2005, hal. 123
[13] 0pcit, Manna Khalil Al-Qattan, Hal. 362-365.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil Cipta Media, 2005, hal. 66.
[15] Nor Ichwan, Memahami bahasa Al-Qur’an, Pustaka pelajar, jakarta, cet 1 2002, hal. 143-146.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar