KAIDAH TENTANG MANTHUQ DAN
MAFHUM
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Qowa’id Tafsir
Dosen Pengampu : Shofaussamawati, M. Ag
Akhmad Syaifuddin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
JURUSAN USHULUDDIN
A.
PENDAHULUAN
Sudah
kita maklumi bersama bahwa nash-nash al-qur’an merupakan wahyu Tuhan yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab. Pemahaman hukum dari
nash hanyalah menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi
ushul dalam bahasa arab dan cara-cara dlalahnya,serta ditunjuki
lafazd-lafazdnya,baikdalam bentuk mufrod maupun murakab (susunan)[1].
Petunjuk (dalalah) lafazd kepada makna adakalanya
berdasarkan pada bunyi perkataan yang diucapkan (manthuq),baik secara
tegas maupun mengandung kemungkinan makna lain,dan adakalanya berdasarkan pada
pemahaman makna tersuratnya (mafhum), baik sesuai hukum manthuq maupun
yang bertentangan. Pemahaman teks al-qur’an yang demikian inilah yang
dikalangan para ulama bisa disebut term manthuq dan mafhum yang tersurat dan
tersirat.
Kajian
term manthuq dan mafhum sanatlah penting,karna hal inilah akan memerinci
berbagai kandungan maksud ayat-ayat al-qur’an yang dapat diketahui dari lafadz
(manthuq) dan dari makna yang
disimpulkan (mafhum)[2].
B.
PERMASALAHAN
1.
Apa
pengertian manthuq dan macam-macamnya?
2.
Apa
pengertian mafhum dan macam-macamnya?
3.
Bagaimana
hukum berhujjah dengan mafhum?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian manthuq dan macam-macamnya
Manthuq adalah suatu
yang ditunjukkan oleh lafadz pada saat diucapkannya; yakni bahwa penentuan
makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan. Manthuq ada tiga macam
yakni Nash, dzahir dan muawal.
a)
Nash
ialah: lafadz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang
dimaksud secara tegas. Tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalkan dalam
firman Allah SWT:
4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ou|³tã ×'s#ÏB%x. 3 ÉÇÊÒÏÈ
Artinya: “...Maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang semurna...” (Q.S :
Al-Baqarah 196)[3].
b)
Dzahir
ialah: lafadz yang menunjukkan sesuatu makna yang secara difahami ketika
diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Jadi,dzahir itu
sama dengan nash dalam hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada
lafadz yang diucapkan. Misalnya firman Allah SWT:
( Ç`yJsù §äÜôÊ$#
uöxî
8ø$t/ wur
7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya:
“...Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampui batas....” (Q.S : Al-Baqarah
:173)[4].
c)
Muawal
ialah: lafadz yang diartikan dengan makna marjuh (dalil yang lemah) karna ada
sesuatu dalil yang menghalangi pemaknaanya dari makna yang rajih (dalil yang
kuat). Muawal bebeda dengan zhahir; zhahir diartikan dengan makna yang rajih
sebab tidak ada dalil memalingkannya pada yang marjuh,sedang muawal diartikan
dengan makna marjuh sebab ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan
tetapi kedua makna tersebut ditunjukkan oleh lafad menurut bunyi ucapannya.
Misalnya bunyi ayat:
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$#
z`ÏB
ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u/u #ZÉó|¹ ÇËÍÈ
Artinya:“Dan
tundukkanlah pada kedua sayap kerendahanmu (sebagai wujud) kasih sayang dan
ucapkanlah, wahai tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku pada waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra’: 24)[5].
Lafadz “jannah
addzulli” diartikan dengan “tunduk,tawaduk, dan bergaul secra baik” dengan
kedua orang tua, tidak diartikan “sayap” karna mustahil manusia punya sayap[6].
2.
Pengertian mafhum dan macam-macamnya
Mafhum
adalah makna yang di tunjukan oleh lafad, tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.
Ia terbagi menjadi dua mafhum muwafaqoh dan mafhum mukholafah.
a.
Mafhum muwafaqoh ialah makna yang hukumnya sesuai dengan mantuk mafhum ini ada dua
macam:
1)
Fahwal qitbah
yaitu makana yang difahami itu lebih utama di ambil hukunya dari pada mantuknya
misalnya keharaman mencacimaki dan memukul kedua orang tua yang di fahami dari surat
al-isra’ ayat 23:
xsù @à)s?.!$yJçl°; 7e$é& .....
Artinya:“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’...
(Al-Isra’:23). Mantuq ayat ini adalah haramnya mengatakan “ah”, oleh
karena keharaman mencacimaki dan memukul lebih pantas diambil karena kedua
lebih berat[7].
2)
Lahnul khitab
yaitu hukum mafhum sama nilainya dengan hukum mantuk misalnya fiarman Allah
sutar an-nisa’ ayat 10:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
Artinya:”Sesunggunya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzolim, sebenarnya mereka itu
menelan api neraka kedalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api
yang menyala-nyala (neraka).”(An-Nisa’ :10)[8].
Ayat
ini menunjukkan pula keharaman merusak dan membakar harta anak yatim atau
menyiayakan. Menunnjukkan makna demikain disebut “lahnul khitab”, karena ia
sama nilainya denga memaknnya sampai habis[9]. Kedua
mafhum ini disebut mafhum muwafaqoh.
Karena
makna yang tidak disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum diucapkan meskipun
hukum ini mempunyai nilai tambah pada yang pertama dan sama pada yang kedua.
Penunjukan makna dalam muwafqoh itu termasuk dalam kategori “mengigatkan kepada
yang lebih tinggi denagan yang lebih rendah atau sebaliknya”.
Kedua macam ini
terkumpul dalam firman Allah SWT surat al-imran ayat 75:
* ô`ÏBur È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# ô`tB bÎ) çm÷ZtBù's? 9$sÜZÉ)Î/ ÿ¾ÍnÏjxsã y7øs9Î)
Artinya:
”Dan diantara ahli kitab ada orang yang kamu mempercayakan kepadanya harta
yang banyak, dikembalikannya kepadamu...” (Ali Imran: 75).
Kalimat
pertama “dan diantara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempecayakan
kepadanya harta yang banyak,dikembaliknya kepadamu” termasuk peringatan bahwa
ia akan mengembalikan amanat kepadamu sekalipun harta satu dinar atau kurang.
Orang tersebut yang dimaksut adalah abdullah bin salam yakni ada orang kurais
120 auqiyah kepadanya kemudian dikembalikan oleh abdullah kepada orang quraisy
tadi denagn jumlah yang sama[10].
b.
Mafhum mukhalafah ialah makna yang berbeda hukumnya dengan manthuq. Mafhum ini ada
empat macam:
1)
Mafhum sifat, ialah sifat ma’nawi yakni lafadz yang dikaitkan dengan ayat lain
dan tidak berupa syarat istisnak dan qoyah[11],
seperti: Musytaq dalam surat al-hujurat ayat 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti...”(Al-Hujurat: 6).
Yang dapat
difahami dari ungkapan kata “fasiq” (orang fasik) ialah bahwa orang yang
tidak fasik tidak wajib diteliti kebenarannya. Ini berarti bahwa berita yang
disampaikan seseorang yang adil wajib diterma.
Hal (keterangan
keada’an),
dalam firman
Allah,
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=çGø)s? yø¢Á9$# öNçFRr&ur ×Pããm 4 `tBur ¼ã&s#tFs% Nä3ZÏB #YÏdJyètGB Öä!#tyfsù ã@÷WÏiB $tB @tFs% z`ÏB ÉOyè¨Z9$# ãNä3øts ¾ÏmÎ/
“Hai
orang-orang yang beriman, jangan kamu membunuh binatang buruan ketika kami sedang
berikhram. Dan barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya.”(Q.S:Al-Maidah:95)[12].
Ayat ini
menunjukkan tiadanya hukum bagi orang membunuhnya karna tak sengaja. Sebab
penentuan, “sengaja” dengan kewajiban membayar denda menunjukkan
tiadanya kewajiban membayar denda dalam membunuh binatang buruan tidak sengaja.
Adad (bilangan)
misalnya:
kptø:$# Ößgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B 4ÇÊÒÐÈ
“(musim) haji
ialah beberapa bulan yang
dimaklumi” (Al-Baqorah:197), Mafhumnya ialah bahwa melakukan ihram
untuk haji di luar bulan-bulan itu tidak sah. Dan
óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ ÇÍÈ
“Maka deralah mereka yang (menuduh zina itu)
delapan kali derahan...”(An-Nur:4), Mafhumnya
ialah mereka tidak boleh didera kurang atau lebih dari delapan puluh kali.
2)
Mafhum syarat, seperti firman
Allah:
bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4
“Dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya.”(At-Thalaq:6).
Mafhumnya
ialah istri yang dicerai tetapi tidak sedang hamil, tidak diberi nafkah.
3)
Mafhum ghoyah (batas maksimal), misalnya:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuöxî 3
“Kemudian jika suami mentalaknya (ssudah talak kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain...” (Al-baqrah: 230). Mafhumnya ialah, istri
tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang lain,
dengan memenui syarat-syarat pernikahan.
4)
Mafhum hashr (pembatas), misalnya:
x$Î) ßç7÷ètR y$Î)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohom pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Mafhumnya
adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh
karna itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yangbberhak dismbah
dan dimintai pertolongan.[13]
3.
Hukum berhujjah dengan mafhum
Para ulama’ berbeda pendapat tentnag kehujjahan mafhum sebagai dasar
untuk menetapkan suatu hukum. Menurut pendapat yang palinh sohih apabila
memenuhi syarat :
1)
Mafhum mukhalafah hendaknya tidak berlawanan dengan dalil
yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwaffaqah.
Contoh yang berlawanan dengan mantuq dlam firman Allah:
wur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) (
“dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karna takut kemiskinan..”(QS.Al-Isra’: 31)
2)
Dalalah Manthuqnya bukan dimasukkan untuk
memberikan batasan dengan sifat tertentu. Seperti firman Allah:
uqèdur Ï%©!$# t¤y tóst7ø9$# (#qè=à2ù'tGÏ9 çm÷ZÏB $VJóss9 $wÌsÛ
“Dan
Dialah Allah yang menundukkan lautan agar kamu dapat memakan dari padanya daging
yang segar” (QS. An-Nahl: 14)
Lafazh Thoriyyan (segar) pada ayat
diatas hanyalah sekedar untuk melukiskan sesuatu kesenangan, bukan dimaksudkan untuk mensifati
daging yang boleh dimakan itu harus bersifat demikian.
3)
Dalalah Manthuqnya bukan untuk menerangkan suatu
kejadian yang khusus. Seperti firman Allah :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah
agar kamu beruntung”(QS.
Ali-Imron: 130)[14].
Dalalah mantuq ayat diatas adalah bahwa
keharaman riba karna berlipat ganda.
4)
Dalalah manthuqnya bukan dimaksudkan untuk
penghormatan atau menguatkan suatu keadaan. Seperti sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir berkatalah yang baik atau diam saja dan
barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah
tetangganya.”(HR. Bukhari-Muslim).
5)
Dalalah manthuqnya harus berdiri sendiri, tidak
boleh mengikuti yang lain. Seperti firman Allah :
4
wur Æèdrçų»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3
“janganlah kamu mencampuri
mereka (istri-istri) itu sedang kamu ber ‘itikaf di dalam masjid-masjid” (QS.Al-baqarah:
187)
6)
Dalalah manthuqnya bukan sekedar
menerangkankebiasaan. Seperti fifman Allah:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/
“Dharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibimu; anak-anakmu; yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri”(QS. An-Nisa’:
23)
Ayat diatas
menjelaskan bahwa diantarawanita-wanita yang tidak boleh dikawini adalah anak
tiri yang dalam pemeliharaannya. Ayat tersebut tidak dapat fahami menurut
mafhum mukhalafahnya, yaitu anak tiri yang tidak berada dalam pemeliharaannya
boleh dikawini. Lafadz fihujurikum (dalam pemeliharamu) pada ayat diatas
sekedar menerangkan kebiasaan saja[15].
D.
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
v Al-Qattan,
Manna Khali, Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
Litara Antarnusa, Bogor, Cet. 6, 2001.
v Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil Cipta Media, 2005.
v Ichwan, Nor, Memahami Bahasa Al-Qur’an,
Pustaka Pelajar, Jakarta, cet I 2002.
v Karim, H.A. Syafi’i, Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
v Khalaf,
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994.
v Sahal,
Muhammad Ahmad, Al Bayan Al Mana’, Margoyoso Pati, Masalakul Huda.
[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994, hal. 208.
[2] Nor Ichwan, Memahami Bahasa
Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Jakarta, cet I 2002, hal. 125.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil
Cipta Media, 2005, hal, 30.
[4] Ibid, Depag RI, hal, 26.
[5] Ibid, Depag RI, hal, 284.
[6] Manna Khali Al-Qattan, Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Litara
Antarnusa, Bogor, Cet. 6, 2001, hal. 360.
[7] H.A. Syafi’i Karim, Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung,
2001, hal, 181.
[8] Opcit, Depag RI, hal. 78.
[9] Opcit, hal, 179.
[10] Muhammad Ahmad Sahal, Al
Bayan Al Mana’, Margoyoso Pati, Masalakul Huda, Tt, hal. 77.
[11] Ibid. 79.
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil
Cipta Media, 2005, hal. 123
[13] 0pcit, Manna Khalil Al-Qattan, Hal. 362-365.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil
Cipta Media, 2005, hal. 66.
[15] Nor Ichwan, Memahami bahasa
Al-Qur’an, Pustaka pelajar, jakarta, cet 1 2002, hal. 143-146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar