Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hadits Ahkam
Dosen Pengampu : Hj. Isti’anah, MA
Disusun oleh :
Akhmad Syaifuddin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
JURUSAN USHULUDDIN
NIKAH
I.
PENDAHULUAN
Nikah merupakan syariat yang
tidak boleh diabaikan oleh setiap muslim yang beriman yang telah mampu baik
secara lahiriah maupun batiniah. Nikah adalah sunah nabi Muhammad SAW yang
harus dikerjakan dan kita ikuti. Namun tidak sedikit umat muslim yang secara
materi atau pun jiwa tidak mau segera menikah dan memilih berlama-lama hidup
membujang, dengan berbagai resiko terjerumus kepada kemaksiatan.
Nikah itu adalah ibadah,
demikian hadis nabi SAW, banyak pemuda tak mau menikah dengan alasan belum siap
bertanggung jawab padahal ia telah mampu dari berbagai segi. Allah telah
memuliakan bani Adam dan menjadikan nikah itu sebagai cara memiliiki keturunan
diantara mereka. Nabi SAW bersabda :.
Pada kesempatan kali ini kita akan kupas tentang
kajian hadis yang berhubungan tentang nikah, anjuran serta hikmah-hikmahnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian nikah?
2. Apa hikmah dan
bagaimana tata caranya?
3. Siapa saja orang-orang yang haram dinikahi?
4. Bagaimana hukum-hukum nikah dalam pandangan feqh?
III.
PEMBAHASAN
A. Tampilan Hadis dan
terjemahnya;
حديث أنس بن مالك رضي
الله عنه, قال: جاء ثلا ثة دهط إلى بيوت أزواج النبي ص.م يسأ لون عن عبادة
النبي ص.م فلما أخبروا كأنهم تعالوها, فقالوا: وأين نحن من النبي ص.م, قد غفر له
ما تقدم من ذنبه وما تأخر, قال أحدهم: أما أنا فإنى أصلى الليل أبد, وقال اخر: أنا
أصوم الدهر ولا أفطرا. وقال اخر: أنا اعتزل النساء قلا أتروج أبدا. فجاء رسو ل
الله ص.م, فقال: أنتم الذين قلتم كذا وكذ, أما والله إنى لأخشاكم الله وأتقاكم له,
لكنى أصوم وأفطرا وأصلى وأرقد, وأتروج النساء عمن رغب عن سنى فليسى سنى.
اخرجه البخاري في :67 - كتاب النكاح : 1- باب الترغيب في النكاح.
Artinya : “ Hadits Anas bin Malik ra, dimana ia berkata : Ada tiga orang datang
ke rumah-rumah istri Nabi Saw menanyakan tentang ibadah Nabi Saw. Setelah
diberitahu, seolah-olah mereka menganggap ringan ibadah beliau itu, lalu mereka
berkata : Dimanakah kami (bila disbanding) dari (ibadah) Nabi Saw yang telah
diampuni dosanya yang telah lewat dan yang akan datang”. Salah seorang di
antara mereka berkata: “Saya selalu shalat malam selama-lamanya, saya puasa
sepanjang masa dan tidak pernah berbuka. Dan yang lain berkata: Saya menjauhi
wanita dan tidak akan kawin selama-lamanya. Kemudian Rasulullah Saw datang,
lalu bersabda: Kamu yang berkata begini begini? Ingatlah, demi Allah aku adalah
orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di antara kamu sekalian,
namun aku berpuasa dan tidak berpuasa,shalat malam dan tidur, serta aku kawin
dengan wanita, siapa yang tidak senang pada sunnahku, maka ia tidak termasuk
ummatku”.
(H. Shahih Al Bukhari)[2].
B. Pengertian Nikah
Nikah secara etimologis
berarti mengadakan ikatan suami istri (‘aqdu
at-tazwij) atau berarti juga menggauli istri (wat’u al-zaujah). Apabila dikatakan atau, ungkapan tersebut berarti seseorang telah
menggauli istrinya. Nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan
bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang
menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh
kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam[3].
Para ulama bersepakat bahwa
nikah merupakan syariat islam yang tidak boleh diabaikan. Allah telah
memuliakan bani Adam dan menjadikan nikah sebagai cara untuk memiliki keturunan
diantara mereka. Untuk memelihara keturunan ini, Allah telah menetapkan sanksi
zina dan menjadikannya seberat-beratnya sanksi sebab zina bukanlah cara yang
tepat untuk membina dan menjaga keharmonisan bani Adam.
Menurut pengertian sebagian fukaha perkawinan
ialah:
عقد يتضمن إباحة وطئ بلفظ النكاح أوالتزويح أومعنا هما
“ Aqad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan hubungan, kelamin dengan lafadz nikah atau Ziwaj atau
yang semakna keduanya”.
Pengertian ini dibuat hanya melihat
dan satu segi saja ialah kebolehan hokum dalam hubungan antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan.
Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan akibat ataupun pengaruhnya.
Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia pada umumnya dalam
kehidupannya sehari-hari. Dapat terjadinya perceraian, kurang adanya
keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan penegasan arti pernikahan
bukan saja dan segi kebolehan hubungan tetapi juga dari segi tujuan dan akibat
hukumnya. Jika kita menyadari hal itu pengertian pernikahan di atas harus diperluas sehingga mencakup pelaksanaan, tujuan
dan akibat hukumnya. Pengertian seperti ini kita dapati para ahli hukum Islam
Mutaakh khiriin[4].
Pernikahan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan
bagi manusia untuk meneruskan keturunan, berkembang biak dan kelestarian
hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positip
dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Dalam Firman-Nya :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Artinya: “Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”[5].
(Q.S An-Nisaa: 1)
Dan Allah telah menciptakan
lelaki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain, sehingga
mencintai, menghasilkan keturunan serta hidup dalam kedamaian sesuai dengan
perintah Allah SWT dan petunjuk dan Rasul-Nya :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan anakmu pasangan dari
jenismu sendiri agar kalian dapat hidup damai bersamanya, dan telah
dijadikan-nya rasa kasih sayang di antaramu. Sesungguhnya sedemikian terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”[6].
(QS Ar Ruum: 21)
Selain dalam kitabullah,
terdapat banyak hadis dan Rasulullah Muhammad SAW yang menjelaskan lebih lanjut
tentang lembaga penkawinan dalam Islam.
Nabi Muhammad SAW telah
bersabda:
لا رهبا نية في الا سلام.
“Tiada kerahiban dalam Islam”
Membujang tidak dianggap
perilaku yang baik dalam Islam atau merupakan cara untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah seperti yang dilakukan oleh agama lain: Kristen, Budha dan
Jainisme, dan lain-lain.
Nabi SAW telah mengingatkan:
يامعشر الشاب من ستطاع ألباءة فلمقو وج فإنه أغضر للصر
وأحصن للضرج.
Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu diantaramu untuk menikah
maka hendaklah menikah karena akan menundukkan pandanganmu dan memelihara
kehormatanmu.
Dan Nabi SAW telah menyebutkan
bahwa kehormatan merupakan “sebagaian dan Imam”.
الحياء من الايمان
Kehormatan/malu itu
sebagaian dari Iman.
Maka untuk memperoleh
kehormatan dan mencapai kesempurnaan Iman seseorang, terkadang ada orang yang
ragu-agu untuk nikah, karena sangat takut memikul beban berat dan menghindarkan
diri dari kesulitan-kesulitan.
Tujuan pernikahan adalah untuk
memenuhi kebutuhan biologis yang mendasar untuk berkembang biak. Anak-anak
merupakan pernyataan dari rasa keibuan dan kebapakan. Islam memperhatikan
tersedianya lingkungan yang sehat dan nyaman untuk membesarkan anak keturunan.
Peranan utamanya adalah
berusaha mencapai kesejahteran rumah tangganya serta menyelesaikan berbagai
urusan di dalam keluarganya itu. Bila dia memiliki harta sendiri dan kalau dia
memilih untuk mengtisahakan kekayaanya itu maka dia berhak melakukan yang
sedemikian itu tanpa seijin suaminya, asalkan hal ini tidak melanggar
kewajibannya dan tanggung jawabnya atas anak-anaknya[7].
Oleh karena itu, pernikahan
dalam Islam, secara luas adalah :
1) Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi
dan seksual yang sah dan benar.
2) Cara untuk memperoleh keturunan yang sah.
3) Memduduki fungsi social.
4) Mendekatkan hubungan antàr keluarga dan
solidaritas kelompok merupakan perbuatan menuju ketaqwaan.
5) Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian
kepada Allah mengikuti sunnah Rasulullah SAW[8].
C. Hikmah Menikah
Hikmahnya ialah Supaya manusia
itu hidup berpasang-pasang hidup dua sejoli, hidup laki-isteri, membangunkan
rumah yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian
yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan ialah aqad nikah atau ijab, kabul
pernikahan. Bila aqad’ nikah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan
bersetia, akan membangunkan satu rumah tangga yang damai dan teratur, akan
sehidup semati, sesakit dan sesenang, merunduk sama bungkuk melompat sama patah,
sehingga mereka menjadi satu keluarga.
Inilah hikmah menikah dan
itulah faedah mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu faedah
berkawin ialah memeliharakan diri seseorang, supaya jangan jatuh kelembah
kejahatan (perzinaan). Karena bila ada isteri disampingnya tentu akan
terhindarlah ia dari pada melakukan pekerjaan yang keji itu. Begitu juga wanita
yang ada disampingnya suami, tentu akan terjauh dari maksiat tersebut[9].
D. Tata Cara Pernikahan Dalam Islam
Islam telah memberikan konsep yang jelas
tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih,
secara singkat penulis menyebutkan dan menjelaskan
:
1.
Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan menikahi seorang
muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang
dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang
wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi)[10].
2.
Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban
yang harus dipenuhi:
a) Adanya suka sama suka dari kedua calon
mempelai.
b) Adanya Ijab Qabul.
c) Syarat ijab.
§ Perkataan/lafadz nikah hendaklah tepat.
§ Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran.
§ Diucapkan oleh wali atau wakilnya.
§ Tidak diikatkan dengan tempoh waktu.
§ Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat
sewaktu ijab dilafazkan)
Contoh bacaan
Ijab: Wali berkata kepada calon suami: "Saya
nikahkan engkau dengan anak saya, Zulaihah dengan
mas kahwin Rp. 500.000
tunai"[11].
d)
Syarat qabul
· Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab.
· Tiada perkataan sindiran.
· Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (atas
sebab-sebab tertentu).
· Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti
mutaah(seperti nikah kontrak).
· Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat
sewaktu qabul dilafazkan).
· Menyebut nama calon isteri.
· Tidak diselangi dengan perkataan lain
Contoh sebuatan qabul : (akan
dilafazkan oleh calon suami): "Saya terima nikahnya Zulaihah binti Munif untukku
dengan mas kahwin tersebut tunai"[12].
e)
Adanya Mahar .
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin)
adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan
menikahinya, baik berupa uang ataupun berupa barang[13].
Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya,
baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Allah Berfirman:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 ÇÍÈ
“Dan berikanlah
mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh
kerelaan.”. (QS. An-Nisa’ : 4)
Adapun jenis-jenis
mahar itu dibagi menjadi dua:
Ø Mahar misil : mahar yang
dinilai berdasarkan mahar saudara perempuan yang telah berkahwin sebelumnya.
Ø Mahar muthamma : mahar yang
dinilai berdasarkan keadaan, kedudukan, atau ditentukan oleh perempuan atau
walinya.
3.
Adanya Wali.
Yang dikatakan
wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak
untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya
ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu,
kemudian saudara seayah, kemudian paman dan wali hakim[14].
a)
Syarat wali
· Islam, bukan kafir dan murtad.
· Lelaki dan bukannya perempuan.
· Baligh.
· Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan.
· Bukan dalam ihram haji atau umrah.
· Tidak fasik.
· Tidak cacat akal fikiran, terlalu tua dan
sebagainya.
· Merdeka.
4.
Adanya
Saksi-saksi
Adapun Syarat-syarat saksi sebagai berikut:
a)
Sekurang-kurangya
dua orang.
b)
Islam.
c)
Berakal.
d)
Baligh.
e)
Lelaki.
f)
Memahami
kandungan lafaz ijab dan qabul.
g)
Boleh
mendengar, melihat dan bercakap.
h)
Adil (Tidak
melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil).
5.
Adanya Walimah
E.
Orang-Orang yang haram dinikahi
1.
Perempuan yang
diharamkan menikah dengan lelaki disebabkan keturunannya (haram selamanya) :
a)
Ibu
b)
Nenek sebelah
ibu mahupun bapa
c)
Anak perempuan
& keturunannya
d) Adik-beradik perempuan seibu sebapa atau sebapa
atau seibu
e)
Anak perempuan
kepada adik-beradik lelaki mahupun perempuan, iaitu semua anak saudara
perempuan
f)
Emak saudara
sebelah bapa (adik-beradik bapa)
2.
Perempuan yang
diharamkan menikah dengan lelaki disebabkan oleh susuan ialah:
a)
Ibu susuan
b)
Nenek dari
sebelah ibu susuan
c)
Adik-beradik
perempuan susuan
d) Anak perempuan kepada adik-beradik susuan
lelaki atau perempuan
e)
Emak saudara
sebelah ibu susuan atau bapa susuan
3.
Perempuan
mahram bagi lelaki kerana persemendaan ialah:
a)
Ibu mertua dan
ke atas
b)
Ibu tiri
c)
Nenek tiri
d) Menantu perempuan
e)
Anak tiri
perempuan dan keturunannya
f)
Adik ipar
perempuan dan keturunannya
g)
Emak saudara
kepada isteri
F.
Hukum-Hukum Nikah
1.
Sunnah : Jumhur Ulama’ sepakat bahwa hukum asal pernikahan adalah
sunnah. Dasar pendapat ini terdapat dalam firman Allah SWT :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya : “Dan nikahkanlah orang-orang yang
masih membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan member kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas,
maha mengetahui”. (QS. An-Nur : 32)[19].
Dan dalam sabda Nabi juga diterangkan :
النكحء من سنتى فمن رغب عن سنتى فليسى منى.
Menikah itu merupakan sunnahku, maka barangsiapa
yang membenci sunnahku, bukanlah dari golonganku.
عن عبد الرحمن بن يزيد عن عند الله قال لنارسول الله صلى
الله عليه وسلم يامعشر الصباب من استطاع منكم البأة فلينكح فانه أغض للبصر واحصن
للضرج ومن لا فليصم فإن الصوم له وجاء.
“Dari Abdur Rahman ibnu Yazid dan Abdullah ra berkata: “Rasulullah saw.
telah bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, siapa di antara kamu yang telah
mampu memberi belanja nikah, maka segeralah Ia menikah, karena hal itu lebih
dapat menundukkan pandangan mata, dan lebih menjaga kemaluan dan perbuatan
keji; dan siapa yang belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa dapat menekan
hawa nafsunya”
(H. Shahih Al-Bukhori)[20].
2.
Jaiz/mubah (diperbolehkan).
3.
Wajib : bagi orang yang mampu member nafkah dan dia takut akan
terjrumus pada kejahatan (perzinaan).
4.
Makruh : bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5.
Haram : bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang
dinikahinya[21].
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas
maka dapat disimpulkan secara garis besarnya bahwa hadis Nabi Muhammad SAW.
Menikah itu merupakan sunah nabi SAW yang sangat dianjurkan kepada setiap
pemuda dan pemudi yang telah siap secara lahiriah dan batiniah untuk segera
melangsungkan pernikahan.sesungguhnya dengan pernikahan itu menjaga seorang
muslim dapi perbuatan zina. Selain itu pula pernikahan bertujuan melanjutkan
keturunan yang merupakan fitrah manusia.
Menikah merupakan suatu kewajiban yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw,
gunanya untuk menghindarkan kita kepada jalan kemaksiatan. Menikah juga
merupakan sarana untuk memperoleh keturunan.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah. Menurut para ulama mazhab
Syafi’i, ia bukan ibadah. Oleh karena itu, jika seseorang menazdarkannya maka
tidak bersifat mengikat. Namun ulama mazhab Hanafi menganggapnya sebagai
ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Perkawinan
Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
Departemen Agama, Ilmu
Fiqih, IAIN, Jakarta, 1985.
Departemen
Agama RI, Al Quran dan terjemahannya, Jakarta, PT
Syamil Cipta Media, 2005.
Husnul Qodim
dkk, Fiqh Ibadah, Jakarta,
LeKdiS, 2007.
Imam An-Nasa’iy, Sunan An
Nasa’iy, Asy-Syifa, Semarang, 1992.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,
Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
Shahih Al-Bukhori , Darul Fikr, Juz 3, hal. 251.
Sulaiman
Rasjid, Hukum Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2011.
Tholhah Ma’ruf
dkk, Fiqih Ibadah, PP. Al-Falah Ploso Mojo, Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008.
Yunus Mahmud, Hukum
Perkawinan dalam Islam, CV. Al-Hidayah, Jakarta, 1998.
[3] Tholhah Ma’ruf
dkk, Fiqih Ibadah, PP. Al-Falah Ploso Mojo, Lembaga Ta’lif
Wannasyr, 2008, hal. 317.
[6] Departemen Agama RI, Al Quran dan
terjemahannya, Jakarta, PT Syamil Cipta Media, 2005, [21] Surat Ar-Ruum, Ayat
21, hal. 406.
[19] Departemen Agama RI, Al Quran dan
terjemahannya, Jakarta, PT Syamil Cipta Media, 2005, [18] Surat An-Nur, Ayat
32, hal. 354.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar