Minggu, 16 September 2012

NIKAH SIRRI DALAM PRESPEKTIF USHUL FIQH



I.        PENDAHULUAN
Dalam Islam, nikah merupakan salah satu syariat yang diajukan oleh Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan Syari’at Tuhan untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu pergaulan keluarga yang penuh kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah warahmah.
Islam adalah agama yang mengandung syariat (tata hukum) yang fleksibel dan luwes. Aturan hukumnya mampu disesuaikan dengan kondisi kapan dan dimana hukum itu akan diterapkan. Sehingga tak heran jika muncul sebuah adagium, ‘Islam sholihun li kulli zaman wa makan (Islam itu sesuai dengan waktu dan tempat)’. Artinya keluwesan dari hukum Islam itu yang menjadikan Islam arif dan mudah didakwahkan kepada umat manusia. Ajaran yang terkandung di dalamnya tidak saklek yang akan menimbulkan kesan kaku dan tidak dapat beradaptasi. Tetapi justru Islam mampu menjawab tantangan dan permasalahan umat masa kini atau yang lebih kita kenal dengan masalah kontemporer.
Yang menjadi problematika pada saat sekarang ini ialah masih bolehkah melakukan nikah secara sirri, baik ditinjau dari kemajuan zaman yang serba modern maupun ditinjau dari hukum Islam yang slalu fleksibel mengikuti perkembangan zaman/ cara nalar pikir manusia yang terus maju sesuai dengan kemajuan tekhnologi.

II.      PERMASALAHAN

Dari problematika inilah pemakalah akan mencoba memaparkan sedikit mengenai bolehkah nikah sirri di lakukan atau sebaliknya, yakni dilarang secara tegas, baik dalam hukum negara maupun dalam hukum agama.

III.    PEMBAHSAN
1.    1.  Pengertian

Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang sebelumya haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan pun besar, luas dan beragam. Pernikahan adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, maka bisa dipastikan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik.
Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab, yaitu Nikah al-Sirri (tarkib idhafi) atau al-nikah al- sirri (tarkib washfi). Secara etimologis berarti nikah secara sembunyi-sembunyi atau rahasia.
Nikah sirri menurut hukum Islam – berdasarkan penelusuran dalil secara tekstual – adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun  tidak  dicatatkan. Karena syariat Islam dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Sedangkan menurut hukum  positif, nikah sirri ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa adanya pencatatan, maka pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkâmu al-Zawâj, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya. Sehingga langsung dapat disimpulkan, bahwa pernikahan ini bâthil menurut jumhur ulama.
Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri — seperti yang didefinisikan dalam fiqh — yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain

2.    2.  Metode Penentu Sah Tidaknya Nikah Sirri[1]
Ada banyak sekali metode yang dapat kita gunakan untuk menentukan suatu hukum yang di dalam al-Qur’an belum dijelaskan, antara lain:
a.       Dengan menggunakan Istishab
Istishab itu sendiri menurut bahasa diartikan al-mushahabah (persahabatan) atau istimraru al-suhbati (berlangsungnya persahabatan). Menurut istilah, al-istishab didefinisikan dalam kemasan dua redaksi: pertama oleh al-Syaukani (w. 1255) yang mengatakan : yaitu eksisnya hukum suatu persoalan selama belum ada kekuatan lain (dalil) yang mengubahnya.
Kedua oleh Ibnu al-Qayyim yang mendefinisikan: yaitu berlangsungnya ketentuan hukum yang ditetapkan pada masa lampau dan penolakan ketentuan hukum yang telah digugurkan pada masa lampau; dengan ungkapan lain menetapkan ketentuan hukum masa lalu dengan penolakan dan atau penetapan untuk tetap diberlakukan sampai ada ketentuan lain yang merubahnya.
Dengan metode ini dapat dijelaskan bahwa nikah secara sirri itu tidak dilarang karena pada pada mulanya nikah sirri itu diperbolehkan oleh Nabi, karena metode ini mengukuhkan yang dulunya sudah ada yakni tidak haram nikah melalui jalan sirri. Tapi metode ini berlaku jika ada keyakinan dan keragu-raguan.
b.      Dengan Menggunakan Metode Sad’dud darri’ah
Yakni menutup jalan perbuatan dosa. Dengan menggunakan metode ini nikah sirri itu tidak dibolehkan. Memang pada dasarnya nikah itu boleh bahkan wajib jika sudah memenuhi syarat, tapi jika dilakukan dengan cara sirri ditambah lagi pada masa sekarang ini itu bisa menjadi haram, karena akan sangat merugikan dari pihak wanita. Selain itu juga melanggar undang-undang yang telah jelas melarang nikah sirri, bahkan pelaku, wali dan yang menikahkan akan dikenai sanksi dan denda. Dan sikap melanggar hukum negara adalah sikap tidak mencintai tanah air, padahal mencintai tanah air adalah sebagian dari Iman.
c.       Menggunakan madzab shahabi[2]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban, bahwa ada seorang laki-laki melangsungkan perkawinannya secara diam-diam. Sehingga laki-laki ini seringkali keluar masuk di rumah perempuan yang dinikahinya tersebut, kemudian ada salah seorang tetangga dari istrinya itu melihat bahwa ia melakukan hubungan layaknya suami istri. Karena ketidaktahuan tetangga tentang masalah sebenarnya, maka muncul kecurigaan dan akhirnya ia menuduh laki-laki tersebut telah berbuat mesum dengan tetangganya, lalu ia mengadukan masalah ini kepada Umar bin Khattab.
“Wahai Amirul Mukminin, laki-laki ini keluar masuk di rumah tetanggaku, dan ia telah berbuat mesum dengannya, padahal saya tidak pernah mengetahui kapan ia mengawininya,” kata tetangga perempuan tadi.
“Apa yang bisa kamu katakan atas tuduhan ini” tanya Umar kepada laki-laki yang dituduh.
“Aku telah mengawininya dengan mas kawin yang sangat rendah, sehingga perkawinan ini aku rahasiakan” jawab laki-laki itu merendah.
“Siapa yang menyaksikan kamu?” tanya Umar kepada laki-laki tersebut.
“Saya meminta sebagian keluarganya untuk menyaksikannya,” jawab laki-laki tadi.
Akhirnya hukuman atas si tertuduh bisa dibatalkan, demikian pula orang yang menuduh tidak terkena hukuman. Kemudian Umar berkata :”Publikasikan perkawinan ini dan lindungilah kehormatan.”

3. Prespektif hokum positif[3]
Kemaslahatan harus diwujudkan untuk melindungi kemurnian agama, keselamatan jiwa, keturunan, dan untuk melindungi harta. Menegakkan hukum perkawinan Islam merupakan untuk menjaga kelestarian dan kemurnian agama, kelestarian hidup manusia, kemurnian keturunan, dan lain sebagainya. Tujuan pencatatan nikah dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan umat manusia jelas akan membawa kepada kemaslahatan umat itu sendiri. Kemaslahatan yang dikehendaki Islam mempunyai ciri sebagai berikut: menarik manfaat, menolak segala yang merusak, mempunyai daya tangkal terhadap kemungkinan bahaya dari luar atau menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, dan dapat mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Sebab ada tidaknya hukum selalu mengikuti argumentasi (illat ).
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Di samping segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam, ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang-undang itu yang mengatur secara administratif sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh institusi pencatat nikah (KUA, Kantor Urusan Agama). Diharapkan dengan pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap pelaksanaan syari’at dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum (baik hukum Islam maupun hukum nasional).
Dalam draf  Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang hukum materil Peradilan Agama antara lain mencantumkan sanksi poligami dan nikah sirri. Dalam Pasal 143 disebutkan, barang siapa melakukan pernikahan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah(sirri) akan didenda Rp 6 juta atau hukuman paling lama 6 bulan penjara. Denda dan ancaman hukuman yang sama berlaku bagi barang siapa melakukan poligami tanpa izin pengadilan dan tidak menceraikan istri di depan pengadilan (Pasal 146). Sementara pada Pasal 147 menyebutkan, barang siapa menghamili perempuan belum menikah dan menolak mengawininya di depan pengadilan akan dipidanakan paling lama 3 bulan penjara. RUU tersebut akan menjadi pelengkap bagi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU itu menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai perkawinan dalam hukum Islam. RUU tersebut menuai kontroversi, alasan yang mendukung RUU tersebut adalah Nikah sirri sering dijadikan selubung bagi perselingkuhan (poligami liar), di samping itu tidak ada perlindungan hukum bagi istri dan anak.
Sementara alasan yang menolak RUU tersebut adalah nikah sirri sah secara agama, serta sanksi pidana terhadap pelanggaran administrasi merupakan kebijakan yang tidak proporsional dan berlebihan. Dalam masalah pemidanaan ini, banyak pakar hukum pidana yang memberikan kriteria bagi kriminalisasi, sebagaimana dalam simposium Hukum Pidana Nasional di Semarang tahun 1980 yang di antaranya adalah:

1. Perbuatan tersebut tidak disukai/tercela di mata masyarakat;
2. Perbuatan tersebut menghambat cita-cita bangsa dan berbahaya bagimasyarakat;
3. Perbuatan tersebut dapat merugikan orang lain dan berpotensi mendatangkan korban;
4. Harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)

Hukum tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, bila tidak ada yang bertanggung jawab untuk mengendalikan, melaksanakan dan menegakkannya. Lantas siapakah yang dapat mengendalikan hukum dengan baik? tentu saja, tidak lain adalah pemerintah. Oleh karena itu, telah diyakini bahwa kepemimpinan adalah bagian dari tujuan yang paling urgen dalam agama. Khalifah berfungsi sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan urusan dunia. Orang muslim belum lepas tanggung jawab, sehingga mereka menyatukan langkah dan kesepakatan untuk menunjuk seorang pemimpin yang memimpin mereka berdasarkan Kitabullah.
Ada tujuh kerugian pernikahan sirri bagi anak dan isteri yang terjadi di lapangan:[4]
  1. Isteri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.
  2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat.
  3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mîtsâqan ghalîzhâ) karena tidak tercatat secara hukum.
  4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran.
  5. Karena untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah.
  6. Isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.
  7. Apabila suami sebagai pegawai, maka isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.

IV.     KESIMPULAN
Nikah sirri yang sering juga disebut dengan nikah di bawah tangan adalah nikah yang hanya mengutamakan pemenuhan syarat dan rukun menurut agama saja. Dan tujuan dari nikah sirri sendiri adalah untuk menolak pergaulan bebas, artinya dengan melakukan nikah sirri hubungan yang biasanya berlangsung sebelum pernikahan dan boleh jadi dilarang oleh agama, bisa berubah menjadi halal. Namun pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum apabila suatu saat ada pihak suami-istri yang dirugikan.
Syari’ah mengajarakan agar seseorang patuh dan memprioritaskan hukum Islam bersamaan dengan menghormati kesepakatan bersama, sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974. Karena jika Islam itu sebagai ad-dien yang sempurna, maka pemenuhan kewajiban kepada Allah mestinya harus sejajar dengan pemenuhan atas janji- janji sesama manusia. Sebab bagaimanapun juga putusan yang termaktub dalam undang-undang merupakan keputusan bersama. Maka pelanggaran terhadap janji itu berarti khianat dan perbuatan yang tidak konsisten berarti juga dapat dianggap menentang ajaran Allah. Pelarangan nikah sirri, selain karena melanggar undang-undang adalah nikah sirri mempunyai implikasi yang sangat kompleks. Yang meliputi implikasi sosial, psikologis, dan juga yuridis. 
Tetap membudayanya nikah sirri di masyarakat ini disebabkan karena kurang pahamnya mereka dengan makna nikah resmi (tercatat) dan makna nikah sirri (yang tidak tercatat), serta implikasi yang dapat ditimbulkan dari nikah sirri itu. 

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, Risalah Gusti, Surabaya, 2003, Hlm. 170.
http://immdakwahpwt.blogspot.com/2011/09/nikah-siri-dalam-perspektif-ushul-fiqh.html



[1] http://immdakwahpwt.blogspot.com/2011/09/nikah-siri-dalam-perspektif-ushul-fiqh.html

[2] Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, Risalah Gusti, Hlm. 170.


[4] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar