Minggu, 16 September 2012

NIKAH SIRRI DALAM PRESPEKTIF USHUL FIQH



I.        PENDAHULUAN
Dalam Islam, nikah merupakan salah satu syariat yang diajukan oleh Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan Syari’at Tuhan untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu pergaulan keluarga yang penuh kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah warahmah.
Islam adalah agama yang mengandung syariat (tata hukum) yang fleksibel dan luwes. Aturan hukumnya mampu disesuaikan dengan kondisi kapan dan dimana hukum itu akan diterapkan. Sehingga tak heran jika muncul sebuah adagium, ‘Islam sholihun li kulli zaman wa makan (Islam itu sesuai dengan waktu dan tempat)’. Artinya keluwesan dari hukum Islam itu yang menjadikan Islam arif dan mudah didakwahkan kepada umat manusia. Ajaran yang terkandung di dalamnya tidak saklek yang akan menimbulkan kesan kaku dan tidak dapat beradaptasi. Tetapi justru Islam mampu menjawab tantangan dan permasalahan umat masa kini atau yang lebih kita kenal dengan masalah kontemporer.
Yang menjadi problematika pada saat sekarang ini ialah masih bolehkah melakukan nikah secara sirri, baik ditinjau dari kemajuan zaman yang serba modern maupun ditinjau dari hukum Islam yang slalu fleksibel mengikuti perkembangan zaman/ cara nalar pikir manusia yang terus maju sesuai dengan kemajuan tekhnologi.

II.      PERMASALAHAN

Dari problematika inilah pemakalah akan mencoba memaparkan sedikit mengenai bolehkah nikah sirri di lakukan atau sebaliknya, yakni dilarang secara tegas, baik dalam hukum negara maupun dalam hukum agama.

III.    PEMBAHSAN
1.    1.  Pengertian

Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang sebelumya haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan pun besar, luas dan beragam. Pernikahan adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, maka bisa dipastikan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik.
Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab, yaitu Nikah al-Sirri (tarkib idhafi) atau al-nikah al- sirri (tarkib washfi). Secara etimologis berarti nikah secara sembunyi-sembunyi atau rahasia.
Nikah sirri menurut hukum Islam – berdasarkan penelusuran dalil secara tekstual – adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun  tidak  dicatatkan. Karena syariat Islam dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Sedangkan menurut hukum  positif, nikah sirri ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa adanya pencatatan, maka pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkâmu al-Zawâj, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya. Sehingga langsung dapat disimpulkan, bahwa pernikahan ini bâthil menurut jumhur ulama.
Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri — seperti yang didefinisikan dalam fiqh — yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain

2.    2.  Metode Penentu Sah Tidaknya Nikah Sirri[1]
Ada banyak sekali metode yang dapat kita gunakan untuk menentukan suatu hukum yang di dalam al-Qur’an belum dijelaskan, antara lain:
a.       Dengan menggunakan Istishab
Istishab itu sendiri menurut bahasa diartikan al-mushahabah (persahabatan) atau istimraru al-suhbati (berlangsungnya persahabatan). Menurut istilah, al-istishab didefinisikan dalam kemasan dua redaksi: pertama oleh al-Syaukani (w. 1255) yang mengatakan : yaitu eksisnya hukum suatu persoalan selama belum ada kekuatan lain (dalil) yang mengubahnya.
Kedua oleh Ibnu al-Qayyim yang mendefinisikan: yaitu berlangsungnya ketentuan hukum yang ditetapkan pada masa lampau dan penolakan ketentuan hukum yang telah digugurkan pada masa lampau; dengan ungkapan lain menetapkan ketentuan hukum masa lalu dengan penolakan dan atau penetapan untuk tetap diberlakukan sampai ada ketentuan lain yang merubahnya.
Dengan metode ini dapat dijelaskan bahwa nikah secara sirri itu tidak dilarang karena pada pada mulanya nikah sirri itu diperbolehkan oleh Nabi, karena metode ini mengukuhkan yang dulunya sudah ada yakni tidak haram nikah melalui jalan sirri. Tapi metode ini berlaku jika ada keyakinan dan keragu-raguan.
b.      Dengan Menggunakan Metode Sad’dud darri’ah
Yakni menutup jalan perbuatan dosa. Dengan menggunakan metode ini nikah sirri itu tidak dibolehkan. Memang pada dasarnya nikah itu boleh bahkan wajib jika sudah memenuhi syarat, tapi jika dilakukan dengan cara sirri ditambah lagi pada masa sekarang ini itu bisa menjadi haram, karena akan sangat merugikan dari pihak wanita. Selain itu juga melanggar undang-undang yang telah jelas melarang nikah sirri, bahkan pelaku, wali dan yang menikahkan akan dikenai sanksi dan denda. Dan sikap melanggar hukum negara adalah sikap tidak mencintai tanah air, padahal mencintai tanah air adalah sebagian dari Iman.
c.       Menggunakan madzab shahabi[2]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban, bahwa ada seorang laki-laki melangsungkan perkawinannya secara diam-diam. Sehingga laki-laki ini seringkali keluar masuk di rumah perempuan yang dinikahinya tersebut, kemudian ada salah seorang tetangga dari istrinya itu melihat bahwa ia melakukan hubungan layaknya suami istri. Karena ketidaktahuan tetangga tentang masalah sebenarnya, maka muncul kecurigaan dan akhirnya ia menuduh laki-laki tersebut telah berbuat mesum dengan tetangganya, lalu ia mengadukan masalah ini kepada Umar bin Khattab.
“Wahai Amirul Mukminin, laki-laki ini keluar masuk di rumah tetanggaku, dan ia telah berbuat mesum dengannya, padahal saya tidak pernah mengetahui kapan ia mengawininya,” kata tetangga perempuan tadi.
“Apa yang bisa kamu katakan atas tuduhan ini” tanya Umar kepada laki-laki yang dituduh.
“Aku telah mengawininya dengan mas kawin yang sangat rendah, sehingga perkawinan ini aku rahasiakan” jawab laki-laki itu merendah.
“Siapa yang menyaksikan kamu?” tanya Umar kepada laki-laki tersebut.
“Saya meminta sebagian keluarganya untuk menyaksikannya,” jawab laki-laki tadi.
Akhirnya hukuman atas si tertuduh bisa dibatalkan, demikian pula orang yang menuduh tidak terkena hukuman. Kemudian Umar berkata :”Publikasikan perkawinan ini dan lindungilah kehormatan.”

3. Prespektif hokum positif[3]
Kemaslahatan harus diwujudkan untuk melindungi kemurnian agama, keselamatan jiwa, keturunan, dan untuk melindungi harta. Menegakkan hukum perkawinan Islam merupakan untuk menjaga kelestarian dan kemurnian agama, kelestarian hidup manusia, kemurnian keturunan, dan lain sebagainya. Tujuan pencatatan nikah dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan umat manusia jelas akan membawa kepada kemaslahatan umat itu sendiri. Kemaslahatan yang dikehendaki Islam mempunyai ciri sebagai berikut: menarik manfaat, menolak segala yang merusak, mempunyai daya tangkal terhadap kemungkinan bahaya dari luar atau menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, dan dapat mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Sebab ada tidaknya hukum selalu mengikuti argumentasi (illat ).
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Di samping segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam, ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang-undang itu yang mengatur secara administratif sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh institusi pencatat nikah (KUA, Kantor Urusan Agama). Diharapkan dengan pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap pelaksanaan syari’at dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum (baik hukum Islam maupun hukum nasional).
Dalam draf  Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang hukum materil Peradilan Agama antara lain mencantumkan sanksi poligami dan nikah sirri. Dalam Pasal 143 disebutkan, barang siapa melakukan pernikahan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah(sirri) akan didenda Rp 6 juta atau hukuman paling lama 6 bulan penjara. Denda dan ancaman hukuman yang sama berlaku bagi barang siapa melakukan poligami tanpa izin pengadilan dan tidak menceraikan istri di depan pengadilan (Pasal 146). Sementara pada Pasal 147 menyebutkan, barang siapa menghamili perempuan belum menikah dan menolak mengawininya di depan pengadilan akan dipidanakan paling lama 3 bulan penjara. RUU tersebut akan menjadi pelengkap bagi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU itu menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai perkawinan dalam hukum Islam. RUU tersebut menuai kontroversi, alasan yang mendukung RUU tersebut adalah Nikah sirri sering dijadikan selubung bagi perselingkuhan (poligami liar), di samping itu tidak ada perlindungan hukum bagi istri dan anak.
Sementara alasan yang menolak RUU tersebut adalah nikah sirri sah secara agama, serta sanksi pidana terhadap pelanggaran administrasi merupakan kebijakan yang tidak proporsional dan berlebihan. Dalam masalah pemidanaan ini, banyak pakar hukum pidana yang memberikan kriteria bagi kriminalisasi, sebagaimana dalam simposium Hukum Pidana Nasional di Semarang tahun 1980 yang di antaranya adalah:

1. Perbuatan tersebut tidak disukai/tercela di mata masyarakat;
2. Perbuatan tersebut menghambat cita-cita bangsa dan berbahaya bagimasyarakat;
3. Perbuatan tersebut dapat merugikan orang lain dan berpotensi mendatangkan korban;
4. Harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)

Hukum tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, bila tidak ada yang bertanggung jawab untuk mengendalikan, melaksanakan dan menegakkannya. Lantas siapakah yang dapat mengendalikan hukum dengan baik? tentu saja, tidak lain adalah pemerintah. Oleh karena itu, telah diyakini bahwa kepemimpinan adalah bagian dari tujuan yang paling urgen dalam agama. Khalifah berfungsi sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan urusan dunia. Orang muslim belum lepas tanggung jawab, sehingga mereka menyatukan langkah dan kesepakatan untuk menunjuk seorang pemimpin yang memimpin mereka berdasarkan Kitabullah.
Ada tujuh kerugian pernikahan sirri bagi anak dan isteri yang terjadi di lapangan:[4]
  1. Isteri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.
  2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat.
  3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mîtsâqan ghalîzhâ) karena tidak tercatat secara hukum.
  4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran.
  5. Karena untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah.
  6. Isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.
  7. Apabila suami sebagai pegawai, maka isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.

IV.     KESIMPULAN
Nikah sirri yang sering juga disebut dengan nikah di bawah tangan adalah nikah yang hanya mengutamakan pemenuhan syarat dan rukun menurut agama saja. Dan tujuan dari nikah sirri sendiri adalah untuk menolak pergaulan bebas, artinya dengan melakukan nikah sirri hubungan yang biasanya berlangsung sebelum pernikahan dan boleh jadi dilarang oleh agama, bisa berubah menjadi halal. Namun pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum apabila suatu saat ada pihak suami-istri yang dirugikan.
Syari’ah mengajarakan agar seseorang patuh dan memprioritaskan hukum Islam bersamaan dengan menghormati kesepakatan bersama, sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974. Karena jika Islam itu sebagai ad-dien yang sempurna, maka pemenuhan kewajiban kepada Allah mestinya harus sejajar dengan pemenuhan atas janji- janji sesama manusia. Sebab bagaimanapun juga putusan yang termaktub dalam undang-undang merupakan keputusan bersama. Maka pelanggaran terhadap janji itu berarti khianat dan perbuatan yang tidak konsisten berarti juga dapat dianggap menentang ajaran Allah. Pelarangan nikah sirri, selain karena melanggar undang-undang adalah nikah sirri mempunyai implikasi yang sangat kompleks. Yang meliputi implikasi sosial, psikologis, dan juga yuridis. 
Tetap membudayanya nikah sirri di masyarakat ini disebabkan karena kurang pahamnya mereka dengan makna nikah resmi (tercatat) dan makna nikah sirri (yang tidak tercatat), serta implikasi yang dapat ditimbulkan dari nikah sirri itu. 

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, Risalah Gusti, Surabaya, 2003, Hlm. 170.
http://immdakwahpwt.blogspot.com/2011/09/nikah-siri-dalam-perspektif-ushul-fiqh.html



[1] http://immdakwahpwt.blogspot.com/2011/09/nikah-siri-dalam-perspektif-ushul-fiqh.html

[2] Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, Risalah Gusti, Hlm. 170.


[4] Ibid.

LATAR BELAKANG DAN PETA KRONOLOGIS SEJARAH FILSAFAT ISLAM


Akhmad Syaifuddin
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
JURUSAN USHULUDDIN

LATAR BELAKANG DAN PETA KRONOLOGIS  SEJARAH FILSAFAT ISLAM

A.    Pendahuluan
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat di lupakan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat yunani.para filosof Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik pada pemikiran-pemikiran Platinus, sehingga banyak teori-teori filosof Yunani di ambil filosof islam.[1]
Kita yang hidup di abad sekarang ini banyak berhutang budi pada orang-orang Yunani dan Romawi, karena merekalahguru kita pada zaman dahulu. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan mengutip sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang di katakana Renan,karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran.[2]
Para filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang di alami oleh filosof-filosof lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka  tidak bisa dilupakan. Pada akhirnyatidaklah dapat di pungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa yang melatarbelakangi munculnya fisafat islam?
b.      Bagaimana sejarah munculnya fisafat islam?
c.       Ap manfaat dari filsafat untuk perkembangan islam?


C.    Pembahasan
a.      Latar Belakang Munculnya Filsafat Islam
Tentu bisa di pertanyakan mengapa tiba-tiba perhatian masyarakat muslaim tercurah pada ilmu-ilmu dan filsafat pra-Islam hingga para khalifah membangun dan mendanai sejumlah besar pusat penerjemahan buku-bukuke dalam bahasa arab. Jawaban yang paling tepat adalah bahwa pada saat memasuki era tersebut, kaum muslim melakukan kontrak dengan otoritas-otoritas keagamaan Yahudi dan Kresten yang berusaha mempertahankan ajaran-ajaran mereka. Mereka juga menyerang ajaran Islam dengan menggunakan argument-argumen yang di ambil dari logika dan filsafat Aristotelelian yang belum di kenal kaum muslimin. Yang paling mungkin, halite untuk memperkuat keimanan Islam dengan perisai intelektual dari jenis yang sama,dengan cara demikian bisa melindungi kekuatan syari’ah, tempat bergantungnya otoritas mereka sendiri, terutama AL-Makmun yang mengerahkan usaha begitu besar untuk mmempelopori penerjemahan karya-karya filosofis dan ilmiah ke dalam bahasa arab.[3]
Filsafat Yunani paling dominan masuk ke duniaIslam di tandai dengan adanya penerjemahan-penerjemahan buku-buku filsafat. Upaya-upaya umat Islam ini dapat memunculkan tokoh filosuf Islam terkenal ke dalam atau luar islam. Sebagaimana  nama: al-Kindi, Ibn Rusyd, Ibn Sina, ibnu bajjah dan masih banyak lagi.
Masa awal aliran filosofis Islam bertepatan dengan penerjemahan pertama karya – karya tokoh yunani kedalam bahasa arab dari bahasa syiria dan yunani. Kita mungkin dapat menerima keterangan tradisional yang dapat dipercaya bahwa naskah – naskah ilmiah dan medis adalah karya – karya awal deterjemahkan kedalam bahasa  arab.  Orang –orang Arab seperti juga Persia adalah orang-orang yang suka akan hal-hal yang praktis.

Pendapat Aguste Comte, bahwa setiap pribadi atau bangsa tumbuh dalam 3 tingkatan kemajuan yaitu:
1.      Tingkat agama, di mana manusia menerima keyakinan dari mulut ke mulut dan menjalankannya.
2.      Tingkat filsafat, di mana manusia menggunakan pikirannya untuk memikirkan apa yang menjadi hakekat manusia.
3.      Tingkat Ilmu pengetahuan, dimana manusia menggunakan pikiran yaitu sudah sampai pada tingkat yakin, dan kebenaran yang mutlak.
Pendapat yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah hasil plagiat dari filsafat yunani adalah salah, sebab pendapat itu hanya melihat dari segi aktifitas filosof yunani dalam bergumul dengan fisafat yunani. Bahkan mereka tidak memandang dari sudut ajran yang ada dalam Islam dan pemikiran – pemikirannya.[4]
b.      Sejarah Munculnya Fisafat Islam
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Agung   membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan  Baktra (sekarangBalkh) diIran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani. [5]
Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dank e XIII M. Ketika filsafat bersentuhan dengan Islam maka yang terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok persoalan yang bermuara pada sumber-sumber Wahyu Islam. Semua filosof muslim seperti al Kindi, al Farabi, Ibn Sina, Mulla Sadra, Suhrawardi dan lain sebagainya hidup dan bernafas dalam realitas Al Quran dan Sunnah. Kehadiran Al Quran dan Sunnah telah mengubah pola berfilsafat dalam konteks Dunia Islam. Realitas dan proses penyampaian Al Quran merupakan perhatian utama para pemikir Islam dalam melakukan kegiatan berfilsasfat.
Kita ketahui bersama bahwasanya filsafat di bagi tiga periode, periode pertama yang merupakan awal munculnya filsafat yaitu berasal dari Yunani, karena di sana terdapat beberapa orang yang cenderung menggunakan otak sebagai landasan berpikir. Tokoh – tokoh seperti Socrates, Plato dan Aristotales. Periode kedua yang merupakan masa pertengahan adalah filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai berkembang pada masa al-Kindi, yang mana menurut Sulaiman Hasan bahwasanya tidak ada seorangpun filosof Islam kecuali al-Kindi, karena baginya ia merupakan seorang filosof pertama dalam Islam begitu juga merupakan filosof Arab pertama. Dalam pengembangan filsafatnya al-Kindi mengikuti falsafah Arestoteles. Hal itu bisa dibuktikan dari buku-buku filsafat yang dikarang oleh al-Kindi lebih banyak mengarah pada buku-buku karangan Aristotales.[6]
Al-Kindi merupakan seorang Aristotelian, ia mengartikan filsafat sebagai pola pikir manusia untuk lebih mengetahui dirinya, dari pengertian tersebut al-Kindi berusaha lebih “mengetahui dirinya sendiri” yang kemudian ia jadikan sebagai cara atau alat untuk lebih mengetahui hal-hal yang sifatnya lebih besar, misalnya tentang lingkungan sekitarnya tempat ia berdiam, adat istiadat, alam ciptaan yang mana karenanya manusia diciptakan. Dari semua itu al-Kindi semata-mata bertujuan untuk lebih mengetahui bahwasanya di balik semua ini ada dzat yang merupakan pencipta atau penggagas keseluruhan dimuka bumi yaitu Allah SWT.
Filsafat al-Kindi juga mengarah kepada al-Ilmu al-Insani Wa Ilmu al-Ilâhi, yang mana bagi al-Kindi filsafat merupakan segala upaya untuk menyerupai segala perbuatan Tuhan sesuai dengan batas kemampuan manusia. Sehingga dari pengertian tersebut al-Kindi mengatakan bahwa seorang filosof adalah sosok yang menjadikan kesempurnaan dan kemuliaan Tuhan sebagai contoh atau sandaran utama. Dengan demikian seorang filosof berusaha sekuat tenaga untuk menyerupai keutamaan dan keunggulan Tuhan sehingga pada akhirnya mereka menjadi manusia sempurna/supermen (manusia super).Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Kindi merupakan filosof yang mengatakan bahwa filsafat adalah larutan pewarna agama yang dengan demikian secara sekilas ada korelasi atau keterkaitan antara agama dan filsafat. Pola filsafat al-Kindi yang menyatukan antara agama dan filsafat, senada dengan filosof yunani yaitu Arestoteles.
Selanjutnya yaitu al-Farabi yang merupakan al-Muallim al-Tsani yang mempunyai nama lengkap Abu Nasr al-Faraby. Al-farabi memaknai filsafat sebagai ilmu yang mengkaji tentang alam fisika sebagaimana keberadaannya. Ia juga mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah untuk mengetahui Tuhan sebagai Dzat yang Esa dan tidak digerakkan dan Tuhan merupakan sebab utama bagi segala sesuatu. Filsafat al-Farabi sedikit banyak dipengaruhi oleh Arestoteles yang mana ia juga mengatakan bahwa adanya Tuhan adalah yang menggerakkan dan tidak digerakan, dalam hal ini filsafat al-Farabi lebih ditekankan pada disiplin ilmu filsafat (analisis filsafat). Filosof ketiga dari filosof masa pertengahan adalah Ibnu Shina, yaitu sekitar tahun 370H, ia terkenal dengan sebutan "al-syeikh al-raîs". Ibnu Sina memaknai filsafat sebagai kreativitas pemikiran yang denganya manusia memperoleh berbagai pengetahun tentang dirinya. Sehingga dengan pengetahuan dirinya tersebut manusia bisa menentukan segala amal perbuatan yang seharusnya ia lakukan untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang mulia, logis sesuai dengan alam fisika dan menyiapkan diri untuk meraih kebahagian di akhirat sesuai dengan batas kemampuan manusia. Dengan pengertian tersebut, maka Ibnu Sina adalah seorang filosof yang berusaha menyatukan antara analisa filsafat dan aplikasinya.
c.       Manfaat dari Filsafat Islam
Penelaahan filsafat yang efektif, sekali lagi, bersifat,mendalam,dan kritis akan memberi manfaat di antaranya:
1.      Pengkajian fisafat dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan nilai-nilai dasar seseorang, yang pada gilirannyadapat mempengaruhi arah kehidupan yang lebih baik.
2.      Pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan,toleransi terhadap pandangan – pandangan yang berbeda, serta kemandirian intelektual.
3.      Kebebasan intelektual dan sikap – sikap lainnya yang berkaitan,  akan kita peroleh dengan mengkaji persoalan – persoalan secara mendalam.
4.      Adalah penilaian kritis. Tujuan berfilsafat bukan sekedar meninjau berbagai macam teori, tetapi juga menilainya secara kritis. Sehingga, sikap kritis akan senantiasa kita peroleh.
Namun, tidak ada jaminan bahwa pengkajian filsafat pasti akan menghasilkan apasaja yang sudah disebutkan diatas. Tentu ada hal – ahal yang lain yang juga dapat mengembangkan toleransi, kemandirian intelektual ataupun perubahan nilai dan keyakinan dasar seseorang.[7]

D.    Kesimpulan
Filsafat Islam merupakan ilmu yang terpengaruh dengan filsafat Yunani. Ulama berbeda pendapat mengenai ilmu ini ada yang menerima seperti cendekiawan yang tumbuh di masa al-Mansyur dan al-Makmun karena mereka beranggapan bahwa filsafat yang di terjemahkan berkisar pada ketuhanan, etika dan ilmu jiwa yang ada hubungannya dengan agama terutama filsafat ketuhanan.
Pendapat yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah hasil plagiat dari filsafat yunani adalah salah, sebab pendapat itu hanya melihat dari segi aktifitas filosof yunani dalam bergumul dengan fisafat yunani. Bahkan mereka tidak memandang dari sudut ajaran yang ada dalam Islam dan pemikiran – pemikirannya.
Dengan mempelajari filsafat Islam kita dapat memperoleh manfaat di antaranya:
a)      Pengkajian fisafat dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan nilai-nilai dasar seseorang, yang pada gilirannyadapat mempengaruhi arah kehidupan yang lebih baik.
b)      Pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan,toleransi terhadap pandangan – pandangan yang berbeda, serta kemandirian intelektual.
c)      Kebebasan intelektual dan sikap – sikap lainnya yang berkaitan, akan kita peroleh dengan mengkaji persoalan – persoalan secara mendalam.

E.     Daftar Pustaka
Mustofa. Filsafat Islam. Pustaka Setia. Bandung: 2009.
Majid Fakhry. Sejarah Filsafat Islam. Pustaka Jaya. Jakarta:1997.
Poerwantana. Seluk Beluk Filsafat Islam. PT Remaja Rosdakarya. Bandung: 1994.
Seyyed Hossein Nasr. 3 Madzhab Utama Filsafat Islam. IRCiSoD. Yogyakarta: 2006.




[1] Poerwantana. Seluk Beluk Filsafat Islam. PT Remaja Rosdakarya. Bandung: 1994. Hal 61.
[2] A. Mustofa. Filsafat Islam. Pustaka Setia. Bandung: 2009. Hal. 20.
[3] Seyyed Hossein Nasr. 3 Madzhab Utama Filsafat Islam. IRCiSoD. Yogyakarta: 2006. Hal. 18.
[4] Ibid. hal. 29.
[5] Majid Fakhry. Sejarah Filsafat Islam. Pustaka Jaya. Jakarta:1997. Hal 15.